Bukan opor, ketupat, nastar, apalagi angpau yang saya tunggu saat lebaran. Tapi saya menunggu, apakah kami sekeluarga bisa punya foto lebaran yang bagus! Hahaha..
Bercanda, sih. Karena saya memang menunggu foto yang bagus, tapi hanya sekadar menunggu tanpa usaha untuk mewujudkan punya foto-foto yang bagus saat lebaran. Kami tak pernah berusaha mengkhususkan waktu untuk berfoto bersama di hari raya, mengenakan pakaian hari raya yang bagus atau sarimbitan (seragam), dan sebagainya. Tak pernah.
Maka hasilnya juga sesuai dengan apa yang diusahakan. Foto-foto lebaran kami enggak ada yang benar-benar bagus dalam arti terkonsep, begitu. Dari pakaian yang tidak senada, ekspresi yang bermacam-macam, hingga posisi yang tidak tertata. Ya, seperti salah satu foto lebaran kami di atas itu. Haha.
Begitulah soal foto lebaran. Lalu apa yang saya rindukan atau yang spesial saat hari raya? Tak lain adalah perjalanan mudik bersama suami dan anak-anak, bersilaturahim ke sanak saudara, dan biasanya kami jalan-jalan tipis-tipis ke tempat wisata di sekitar kampung halaman.
Seperti itu juga yang kami lakukan pada lebaran Hari Raya Idulfitri 1444 H beberapa hari yang lalu. Hari ketiga lebaran, kami berangkat mudik ke Kediri dan Nganjuk (kampung halaman suami). Karena dua hari sebelumnya sudah agak capai sebab banyak saudara yang berkunjung ke rumah, jadi kami santai saja sejak pagi. Enggak buru-buru untuk melakukan perjalanan mudik. Sesampainya saja, lah. Begitu pikir kami.
Menikmati Kemacetan
Hingga akhirnya kami berangkat mudik sekitar pukul sembilan pagi. Begitu menyalakan mobil, suami juga langsung menyalakan radio dan Google Maps untuk mengetahui arus lalu lintas dari Sidoarjo (rumah kami) hingga Kediri dan Nganjuk. Macet atau enggak?
Dan ternyata, arus lalu lintas di hari itu macet sekali! Lalu suami juga menelepon adik dan saudara yang juga sedang mudik ke tujuan yang sama. Ternyata mereka sudah terjebak macet meskipun berangkatnya lebih pagi dari kami. Tapi sekali lagi, kami nyantai saja! Toh, perjalanan mudik kami tidak jauh. Dari Sidoarjo ke Kediri dan Ngajuk jika ditempuh dalam arus lalu lintas normal (lewat jalan biasa atau jalan tol) hanya butuh waktu sekitar 2 hingga 3 jam. Jika macet, mungkin akan memakan waktu sekitar lima jam?
Maka anak-anak kami beri tahu bahwa perjalanan mungkin akan lebih lama dari biasanya karena jalanan macet. Kami sudah membawa camilan dan air minum yang cukup , juga bantal untuk tidur jika perlu. Sementara itu karena jalur atas (jalan tol) maupun jalur bawah (jalan biasa) sama-sama macet, maka suami memutuskan untuk lewat jalur bawah saja. Tentu saja pertimbangannya kalau lewat jalur bawah kami bisa berhenti dan beristirahat lebih sering. Karena kami bawa anak-anak kecil bahkan bayi, yang biasanya perlu ke toilet atau sekadar mencari udara segar.
Bayangkan jika kami memilih lewat jalan tol, saat macet dan ingin beristirahat atau mampir ke toilet, kami harus bersabar menunggu rest area berikutnya. Belum lagi jalan tol lebih panas dari jalur bawah. Jalur bawah lebih banyak pepohonan di sepanjang jalan.Â
Ya, hari itu kami benar-benar mengalami kemacetan sejak beberapa kilometer saja dari rumah kami. Namun karena sudah siap sejak akan berangkat, kami pun tak mengeluh. Dan alhamdulillah anak-anak juga kooperatif. Mereka enggak rewel. Kami ajak mereka melihat-lihat jalanan yang macet, ngemil jajanan yang kami bawa, atau membahas apa saja. Jika capai, mereka memilih tidur atau sekadar memejamkan mata. Demikian juga si anak bayi 10 bulan, dia enggak rewel.
Saya pun menikmati kemacetan sambil berbagi info di akun media sosial saya. Yah, share apa yang dialami ke media sosial itu menyenangkan! Bisa sebagai informasi untuk orang lain, sekaligus melonggarkan pikiran.
Kami pun sempat mampir ke masjid untuk salat Dhuhur dan ke warung makan untuk makan siang. Istirahat sejenak sekaligus menyenangkan hati dan perut. Hehe.
Dan akhirnya, kami sampai di tujuan pertama yaitu di kota Kediri pada sekitar pukul 16.00. Wuahh.. perjalanan kami dari Sidoarjo ke Kediri memakan waktu tujuh jam! Lama sekali... hehehe.
Menginap di PenginapanÂ
Biasanya, setiap mudik kami menginap di rumah embah atau bulik. Kami disiapkan kamar untuk ditempati di sana. Namun tahun ini, kami merasa harus melakukan hal yang berbeda. Karena anak kami makin banyak (lima orang, hehe..), maka akan lebih nyaman jika kami menginap bukan di rumah saudara.
Dengan menginap di tempat lain, anak-anak kami yang lumayan berisik itu enggak akan mengganggu saudara, dan kami juga akan lebih nyaman melakukan aktivitas-aktivitas pribadi. Selain itu, istirahat kami juga akan lebih lama dan tenang karena enggak diselingi obrolan bersama saudara-saudara yang biasanya sampai larut malam.
Kami memilih penginapan sederhana di Kediri, yang sekadar cukup untuk beristirahat dengan nyaman. Yang penting kami bisa tidur nyenyak, enggak gerah, sehingga akan lebih fresh untuk melakukan aktivitas di hari berikutnya. Kami menginap dua malam di penginapan tersebut, dan alhamdulillah cukup puas dengan layanan di sana. Penginapan sederhana yang cocok sebagai terminal pemberhentian setelah bersilaturahmi ke rumah-rumah saudara.Â
Begitulah, sekelumit cerita lebaran saya tahun ini. Tentang foto lebaran, macet, dan soal menginap. Oh iya, kami juga sempat jalan-jalan pagi keliling kota Kediri sambil mencari sarapan, juga jalan-jalan ke tempat wisata murah meriah di Kediri. Lumayan lah untuk refreshing anak-anak. Hehe.
Menikmati lebaran dengan cara yang sederhana dan menikmati setiap momennya membuat kami bahagia. Tak apa foto lebaran gagal, tak apa bermacet-macet ria, tak apa menginap di penginapan sederhana, yang penting kami happy! Bagaimana cerita lebaran teman-teman? Cerita, yuk!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H