Mohon tunggu...
Diah Ayu Santika Dewi
Diah Ayu Santika Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswi perguruan tinggi negeri yang ada di Provinsi Jawa Tengah, yakni Universitas Negeri Semarang (UNNES). Saya mengambil program studi Ekonomi Pembangunan di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNNES.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menelisik Lebih Lanjut Terkait Paham Kapitalisme

11 Desember 2024   19:51 Diperbarui: 11 Desember 2024   19:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Publikasi Data World Bank, 2024

Kapitalisme muncul dan dimulai atas dasar persaingan indivindu, tanggung jawab pribadi dalam perekonomian, dan kepemilikan swasta atas suatu alat produksi. Konsep kapitalisme diasumsikan dapat membentuk distribusi pendapatan dan distribusi aset yang komprehensif dan adil. Namun, sistem kapitalis ini justru membuat keingan seseorang menjadi tidak pada tempatnya, dalam artian terjadi persaingan yang kompetitif antar indinvindu dan bahkan tiap indivindu cenderung  untuk berlomba-lomba mendapatkan keuntungan yang maksimal. Yang mana orientasi dari setiap indivindu adalah bagaimana cara agar dapat meraup keuntungan yang semaksimal mungkin.

Persaingan kompetitif dan mindset untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal ini justru memberikan dampak dua sisi. Artinya memberikan dampak positif juga negatif. Dampak positif dari adanya persaingan kompetetif dan orientasi untuk mendapat keuntungan yang sebanyak-banyaknya menjadi suatu pacuan dan motivasi bagi tiap indivindu dalam bekerja. Namun dampak negatif dari adanya persaingan dan pemikiran ini justru menimbulkan kesenjangan ekonomi bagi negara penganut paham kapitalisme tersebut. Bagaimana tidak? Persaingan yang kompetitif tersebut menjadi penyebab timbulnya sikap indivindualism bagi indivindu, apalagi sistem ekonomi kapitalis diketahui sebagai sistem yang memberikan kebebasan bagi indivindu dengan adanya minim campur tangan dari pemerintah.

Seperti yang kita ketahui bahwasannya indeks gini merupakan indikator yang dapat mengukur kondisi ketimpangan di suatu wilayah. Grafik diatas merupakan grafik yang menggambarkan tingkat ketimpangan dari negara-negara yang menganut paham kapitalisme. Terlihat bahwa tingkat ketimpangan negara-negara tersebut yang digambarkan melalui indeks gini memperlihatkan angka yang tinggi, berdasarkan dari ukuran indeks gini. Angka indeks gini di negara-negara tersebut tergolong tinggi karena melebihi angka 0,5. Bila dipersenkan angka indeks gini diatas dapat dikategorikan sebagai tahap tinggi atau sangat timpang.

Perlu di highlight bahwa negara penganut kapitalisme dengan orientasi mendapatan keuntungan semaksimal mungkin dan minim campur tangan dari pemerintah, menunjukkan kondisi tidak serta merta mampu membuat negara tersebut memiliki tingkat pemerataan pendapatan di setiap wilayahnya. Justru dengan adanya paham kapitalisme ini menjadi penyebab tingginya tingkat ketimpangan antar wilayahnya. Kondisi ketimpangan ini bila berlanjut maupun meningkat, tentunya lambat laun akan memberikan dampak akhir yakni resesi. Mengapa demikian? Sebab, ketimpangan terjadi karena adanya faktor pemicu berupa pengangguran. Bila dilihat dari aspek ekonomi, pengangguran ini terjadi karena adanya penurunan aktivitas ekonomi akibat dari perusahaan ingin memaksimalkan laba dengan faktor produksi seminimal mungkin. Hal ini jika dikaitkan dengan paham kapitalisme yang berorientasi pada keunntungan yang tinggi tentunya selaras bukan? Bahwa paham kapitalisme dalam jangka panjang bisa saja menjadi penyebab adanya resesi pada suatu negara.

Lebih lanjut, doktrin sistem ekonomi kapitalisme menjadi pemicu adanya pengangguran yang tinggi bagi negara yang menganut paham tersebut. Sebab,  kondisi tersebut muncul karena adanya ketimpangan penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan. Artinya, untuk mempertahankan keuntungan mereka, biasanya suatu perusahaan di negara yang menganut paham kapitalis akan melepas pekerja untuk menghemat biaya. Selain itu, penggunaan teknologi baru di perusahaan juga menjadi penyebab munculnya pengangguran.

Dikutip dari https://www.cnbcindonesia.com pada 05 Agustus 2024 lalu, negara Amerika Serikat selaku negara penganut paham kapitalis mengalami kenaikan pengangguran yang mencapai hingga 4,3% pada Juli 2024. Kenaikan tersebut memicu kekhawatiran akan memburuknya kondisi pasar tenaga kerja yang berimbas pada kerentanan ekonomi terhadap resesi. Lebih lanjut pula, dalam artikel CNBC tersebut menjelaskan bahwa Laporan dari Departemen Tenaga Kerja pada akhir bulan Juli menunjukkan kenaikan tingkat pengangguran sebesar 4,1% dari bulan Juni.

Sebelum adanya kondisi kenaikan angka pengangguran tersebut, Amerika Serikat yang notabenenya sebagai negara maju sempat mengalami fenomena demonstrasi secara besar-besaran terkait keputusan  jam kerja dalam sehari. Dikutip dari https://www.kompas.tv pada 1 mei 2023 lalu bahwa, pada masa lalu para buruh Amerika Serikat harus bekerja dengan jam kerja yang panjang bahkan mencapai 10 hingga 16 jam per hari tanpa adanya uang lembur. Yang menjadi tonggak utama dalam sejarah sistem kerja 8 jam per hari adalah aksi demonstrasi di Chica pada tahun 1886. Para buruh di Amerika Serikat turut mengusung tuntunan menjadi 8 jam per hari dari yang semula jam kerja 10 hingga 12 jam per  hari. Akhir dari tuntutan tersebut bermuara pada dikabulkannya tuntutan para buruh meskipun awalnya mendapatkan perlawanan dari banyak pihak terkait termasuk pemerintah.

Fenomena-fenomena yang terjadi seperti diatas pada dasarnya terjadi karena adanya pemikiran pada sistem ekonomi kapitalis yang memiliki orientasi untuk memaksimalkan keuntungan tanpa memikirkan faktor-faktor produksi yang ada. Yang mana faktor produksi berupa labor (tenaga kerja) merupakan faktor atau bagian terpenting dari adanya suatu produksi di sebuah perusahaan. Saat ini, negara-negara kapitalis sebagai kategori negara maju sudah lebih dominan dalam menggunakan teknologi yang canggih untuk membantu proses produksi. Kondisi dimana merebaknya penggunaan teknologi tersebut pada akhirnya juga menjadi pemicu adanya fenomena tumbuhnya angka pengangguran.

Bila ditinjau lebih lanjut, tidak ada yang salah dengan sistem ekonomi kapitalis. Ada atau tidaknya paham kapitalis pada dasarnya setiap perusahaan maupun indivindu selalu berorientasi pada keuntungan yang maksimal dengan modal seminimal mungkin dan sedikit campur tangan dari pemerintah. Namun, bentuk sistem ekonomi yang memberi kebebasan bagi setiap indivindu dalam segala aspek aktivitas ekonomi, tidak seta merta menjadikan masyarakat lebih makmur dan sejahtera.

Yang mana menurut Rahmawati (2021), terdapat kelemahan dari sistem ekonomi kapitalis ini yakni sebagai berikut:

  • Munculnya kesenjangan pendapatan antar indivindu, yang mana sarana-sarana produksi hanya terkumpul pada satu kelompok saja. Masyarakat akan lebih matrealistis sehinggu timbul pembagian ke dalam dua kelompok kalangan menjadi kalangan bawah dan kalangan atas.
  • Dapat menimbulkan krisis dan munculnya kriminalitas, karena adanya peningkatan angka pengangguran. Dalam hal ini, adanya peningkatan angka pengangguran disuatu wilayah dapat menjadi pemicu bagi indivindu menggunakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut Rahmawati menjelaskan bahwa, krisis ekonomi selalu berulang dan menimbulkan dampak bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial yang besar dimasyarakat dunia.
  • Meningkatnya praktik monopoli secara aplikatif. Artinya tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, regulasi-regulasi monopoli dan semi monopoli sering terjadi untuk mengeruk keuntungan, akibatnya pasar menjadi tidak kompetitif. Di negara-negara kapitalis sendiri berkembang suatu pandangan skeptis mengenai pasar bebas. Yang pada realitanya suatu pasar sulit  mencapai kondisi yang kompetitif. Bersamaan dengan ini, praktik monopoli dapat menciptakan ketidakadilan pendapatan.
  • Kebebasan tanpa batas dalam pekerjaan dan alokasi kekayaan. Kembali diulas lagi bahwa, doktrin kapitalis dengan orientasinya yang paling umum yakni untuk mencapai keuntungan semaksimal mungkin tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, membuat alokasi kekayaan menjadi tidak merata. Dalam hal ini, masyarakat golongan atas semakin sejahtera sementara masyarakat golongan bawah dapat menjadi tidak sejahtara atau semakin terlantar.

penulis: Diah Ayu Santika Dewi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun