LATAR BELAKANG :
Indonesia adalah negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan sektor  pertanian memiliki peran penting dalam usaha menyejahterakan masyarakat. Pada dasarnya, Revitalisasi di bidang sektor pertanian yaitu dengan menempatkan kembali arti pentingnya sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di perdesaan maupun perkotaan. Menurut Smith et al., 1996; dan FAO, 1999, menjelaskan bahwa Pertanian perkotaan sendiri memiliki definisi sebagai 'aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan di dalam kota (intra-urban) dan pinggiran kota (peri-urban) dengan tujuan untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non-pangan, dengan cara memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia, material, produk dan jasa di daerah perkotaan.
Lembaga  internasional (FAO, 2003) tersebut memposisikan  pertanian  perkotaan antara lain sebagai:Â
- Salah satu sumber pasokan sistem pangan dan opsi ketahanan pangan rumah tangga perkotaan;
- Salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka dan limbah perkotaan; dan
- Salah satu sumber pendapatan dan kesempatan kerja penduduk perkotaan. Karena itu, pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek yang baik untuk pengembangan usaha tani berbasis agribisnis dan berwawasan lingkungan.Â
Menurut Irawan tahun 2005, pada dasarnya konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2010, potensi sumberdaya lahan, ruang dan sumberdaya manusia di DKI Jakarta mempunyai peluang untuk dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai lahan/ruang usaha tani intensif atau moderen. Kegiatan masyarakat tani perkotaan juga mendukung pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah DKI Jakarta.Â
Dalam upaya untuk mendukung perencanaan dan implementasi pembangunan yang tepat, khususnya pengembangan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) di wilayah DKI Jakarta, data mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial ekonomi, penerapan teknologi dan kebijakan wilayah, sangat diperlukan. Guna pengembangan pertanian secara tepat atau sesuai dengan daya dukung sumberdaya lahan/ruang aktual, jenis usaha tani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan ruang yang ada sangat penting diketahui.Â
Permasalahan pertanian di perkotaan, khususnya DKI Jakarta yaitu dari aspek ekonomi adalah bahwa konversi lahan sangat sulit dihindari, antara lain karena apabila dibandingkan dengan nilai tanah/lahan hasil kegiatan sektor-sektor lain, nilai tanah/lahan dari hasil kegiatan sektor pertanian memiliki nilai yang sangat rendah. Menurut (Nasoetion dan Winoto, 1996) hal tersebut tercermin pada rasio land-rent lahan pertanian adalah 1 : 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan.Â
Memperhatikan dari kondisi pertanian perkotaan tersebut di atas, pengkajian terhadap penelitian ini bertujuan untuk:
- Menganalisis tingkat keberlanjutan pertanian perkotaan, khususnya di wilayah DKI Jakarta;
- Menganalisis faktor-faktor kunci penentu keberlanjutan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta; dan
- Menyusun skenario dan opsi kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta.
TINJAUAN TEORI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KOTA BERKELANJUTAN :
- Pertanian Perkotaan
- Pertanian perkotaan, dalam bahasa Inggris memiliki beberapa pemahaman, dapat disebut sebagai Urban farming maupun Urban Agriculture. Jika dalam bahasa Indonesia, pertanian perkotaan berasal dari kata tani, dalam kamus bahasa Indonesia, tani adalah mata pencaharian dalam bentuk bercocok tanam, sedangkan pertanian adalah perihal bertani (mengusahakan tanah dengan tanam menanam). Secara singkat pertanian perkotaan adalah kegiatan pertanian yang dilakukan di kota. Namun pertanian perkotaan lebih dari sekedar kegiatan pertanian di kota.
- Menurut Baikley et al. (2000) dalam from brownfields to greenfields producing food in North American cities, yang dimaksud dengan pertanian perkotaan adalah penumbuhan (pembuatan), pemrosesan dan distribusi makanan dan produk lainnya melalui budidaya tanaman intensif dan peternakan di sekitar kota. Dalam pengertian tersebut, disebutkan bahwa pertanian perkotaan tidak hanya dalam dimensi kegiatan pertanian tanaman hortikultura saja, namun juga pada kegiatan peternakan.
- Menurut Mazeereuw (2005), pertanian didalam kota mempengaruhi aspek ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan kota. Dengan demikian akan ada manfaat meningkatnya kesejahteraan, keadilan, kebersamaan, kenyamanan, kualitas kehidupan dan kelestarian lingkungan hidup.
- Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan di dalam kota (intra-urban) dan pinggiran kota (peri-urban) untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia, material, produk dan jasa di daerah perkotaan (Smith et al., 1996; dan FAO, 1999).
- Lembaga Internasional FAO (2003) memposisikan pertanian perkotaan sebagai; (1) salah satu sumber pasokan sistem pangan dan opsi ketahanan pangan rumah tangga perkotaan; (2) salah satu kegiatan produktif untuk memanfaatkan ruang terbuka dan limbah perkotaan; dan (3) salah satu sumber pendapatan dan kesempatan kerja penduduk perkotaan. Karena itu, pertanian perkotaan mempunyai peluang dan prospek yang baik untuk pengembangan usahatani berbasis agribisnis dan berwawasaan lingkungan.
- Menurut CAST (Counsil for Agriculture Scince and Technology) (2003), yang dimaksud dengan pertanian perkotaan adalah sistem yang kompleks yang meliputi spektrum kepentingan, dari produksi, pengolahan, pemasaran, distribusi dan konsumsi. Untuk manfaat lainnya dan jasa yang kurang diakui misalnya untuk rekreasi dan bersantai, kesehatan individu, kesehatan masyarakat, pemandangan yang indah serta pemulihan lingkungan. Kaethler (2006), dalam Growing Space: The Potential for Urban Agriculture in the City of Vancouver, membagi kegiatan pertanian kota menjadi dua jenis, yaitu: (1) pertanian kota skala kecil, yakni kegiatan pertanian perkotaan yang memiliki luas 15 kurang dari 1.000 m2 , (2) pertanian perkotaan skala besar yakni kegiatan pertanian kota yang memiliki luas lebih dari 1.000 m2 atau 10 are.
- Fenomena pertanian perkotaan dengan ciri luasan lahan yang terbatas akan tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia. Gejala tersebut ditunjukkan oleh kecepatan rata-rata pertumbuhan petani gurem di Indonesia 2,6 % per tahun dan di Jawa 2,4% per tahun (BPS, 2004). Di Wilayah perkotaan atau di perbatasan pemekaran kota, seperti di Jabotabek, kegiatan usahatani lahan sempit mampu memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelangsungan kehidupan petani (Siregar dkk., 2000). Meskipun Negara dalam kondisi krisis, tetapi petani dengan lahan sempit dan di pinggir perkotaan tersebut tetap berusahatani (umumnya komoditas sayuran), mampu menjaring konsumen di perkotaan, memiliki pasar yang relatif kontinyu, serta memperoleh penghasilan kontinyu.
- Dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, langkah yang dapat diterapkan oleh kota adalah dengan mengaplikasikan Food Oriented Development (FOD). Selama ini, pembangunan kota yang terjadi, pada umumnya belum mempertimbangkan aspek ketahanan pangan bagi kota itu sendiri. FOD merupakan konsep yang mencoba mempertimbangkan aspek ketahanan pangan dalam pembangunan kota. Pertimbangan mengenai ketahanan pangan ini diharapkan dapat mendukung pembangunan sektoral perkotaan yang berujung pada hasil pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan pertanian kota termasuk dalam bagian dari FOD, karena kegiatan pertanian kota merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di kawasan perkotaan dengan tujuan untuk mengatasi persoalan pangan yang ada di kota tersebut. 16 Kegiatan pertanian kota dapat mendorong kota tersebut semakin mandiri dalam penyediaan pangannya.
- Selain tidak membutuhkan lahan banyak, tetapi juga hasil pertaniannya cukup diminati masyarakat.Tantangan yang dihadapi untuk pengembangan pertanian di wilayah perkotaan antara lain keterbatasan lahan, keterbatasan pengetahuan dan teknologi, keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan media tanam. Hal ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat besar, karena kita tahu bahwa masyarakat kota memerlukan pangan yang besar, bagaimana menangani hal ini sementara lahan yang ada diperkotaan sangat sempit, begitu juga lahan yang dimiliki oleh setiap individu yang ada diperkotaan dapat dipastikan sempit juga, kemungkinan yang bisa dioptimalkan yakni lahan pekarangan. Lahan pekarangan memiliki fungsi multiguna, karena dari lahan yang relatif sempit ini, bisa menghasilkan bahan pangan seperti umbi-umbian, sayuran, buah-buahan; bahan tanaman rempah dan obat, bahan kerajinan tangan; serta bahan pangan hewani yang berasal dari unggas, ternak kecil maupun ikan. Manfaat yang akan diperoleh dari pengelolaan pekarangan antara lain dapat : memenuhi kebutuhan konsumsi dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran, dan juga dapat memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga (Mustopa, 2011).
- Aktivitas pertanian perkotaan menurut Mogout (2000) dan diperbaharui oleh Smit et al (2001) berhubungan dengan tujuan, aktivitas ekonomi, lokasi, letak, stakeholder, sistem produksi, ukuran, dan produk, dapat dilihat pada Gambar
- Gambar Kerangka konsep aktivitas urban farming menurut Mougeot (2000) dan Smit et al ( 2001)
- Â
- Menurut Enciety (2011), pertanian perkotaan adalah suatu aktivitas pertanian di dalam atau sekitar perkotaan yang melibatkan keterampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan makanan. Definisi pertanian perkotaan sendiri menurut Balkey M dalam www.berkebun-yuuk.blogspot.com (2011) adalah rantai industri yang memproduksi, memproses dan menjual makanan dan energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen kota. Semua kegiatan dilakukan dengan metoda using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan.
- Menurut Wikipedia the free encyclopedia, pertanian perkotaan adalah praktek pertanian (meliputi kegiatan tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan) di dalam atau di pinggiran kota yang dilakukan di lahan pekarangan, balkon, atau atap- atap bangunan, pinggiran jalan umum, atau tepi sungai dengan tujuan untuk menambah pendapatan atau menghasilkan bahan pangan.
- Sedangkan menurut UNDP (1996) pertanian perkotaan memiliki pengertian, satu kesatuan aktivitas produksi, proses, dan pemasaran makanan dan produk lain, di air dan di daratan yang dilakukan di dalam kota dan di pinggiran kota, menerapkan metode-metode produksi yang intensif, dan daur ulang (reused) sumber alam dan sisa sampah kota, untuk menghasilkan keaneka ragaman peternakan dan tanaman pangan.
- Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pertanian perkotaan mengandung arti suatu aktivitas pertanian yang dapat berupa kegiatan bertani, beternak, perikanan, kehutanan, yang berlokasi di dalam kota atau dipinggiran suatu kota dengan melakukan proses produksi (menghasilkan), pengolahan, dan menjual serta mendistribusikan berbagai macam hasil produk makanan dan non makanan dengan menggunakan sumber daya serta bertujuan untuk menyediakan dan memenuhi konsumsi masyarakat yang tinggal di suatu kota.
- Pertanian perkotaan sebagai suatu konsep yang sering disebut usaha pertanian perkotaan yaitu sebagai peri urban agriculture adalah aktifitas/kegiatan yang dilakukan di dalam kota dan pinggiran kota untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan dengan menggunakan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa yang diperoleh dari dalam dan daerah urban.
- Kebijakan Pengembangan Pertanian Kota Berkelanjutan
Terjadinya perubahan penggunaan lahan di wilayah pinggiran kota dapat disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah. Semakin tinggi tingkat kemiskinan pada suatu wilayah, khususnya pedesaan maupun wilayah di pinggiran kota maka semakin besar konversi lahan pertanian. Selain aspek sosial dan ekonomi, aspek peraturan atau Undang-Undang yang mengatur tentang keberadaan dan keberlanjutan lahan-lahan pertanian saat ini juga tidak mampu membendung terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Seperti yang termuat dalam UU Nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, yang belum bisa dilaksanakan secara maksimal karena tidak diiringi dengan Peraturan Pemerintah daerah. Meningkatnya lahan terbangun terutama lahan untuk permukiman berdampak terhadap keberadaan lahan-lahan pertanian, dimana lahan-lahan pertanian telah banyak yang berubah fungsi menjadi lahan-lahan permukiman, yang akan berdampak pada berkurangnya kawasan resapan air.
Menurut Sostenis. S (2012), di dalam merumuskan kebijakan pengembangan pertanian perkotaan perlu memperhatikan beberapa faktor penentu, yaitu: (1) Keberadaan pekarangan; (2) Pengembangan tanaman produktif dengan penerapan teknologi ramah lingkungan dengan peningkatan populasi tanaman pangan dan nonpangan; (3) Peningkatan pembinaan petani oleh Pembina teknis instansi terkait sehingga menjadi lebih efektif; (4) Pemberian insentif pelaku usaha tani dan pembebasan pajak lahan pertanian.
Menurut Cabannes (2006) dalam Dubbeling et al (2010), secara garis besar ada tiga perspektif kebijakan utama bagi pengembangan pertanian kota yaitu (1) perspektif sosial sebagai bagian dari strategi penanganan rumah tangga berpenghasilan rendah dengan fokus meningkatkan ketahanan pangan melalui produksi pangan dan tanaman obat untuk konsumsi rumah tangga, (2) perspektif ekonomi dengan fokus peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja dan (3) perspektif ekologi dengan fokus peran pertanian kota dalam manajemen lingkungan hidup perkotaan. Pembedaan terhadap tiga perspektif kebijakan utama sangat bermanfaat dalam merancang strategi bagi pengembangan pertanian kota secara berkelanjutan (Dubbeling et al 2010).
Menurut Setiawan dan Rahmi (2014), kegiatan pertanian perkotaan, terutama akses keuangan, keterampilan dan pengetahuan, kurang mendapat dukungan dari pemerintah, dan tidak adanya bantuan bagi petani perkotaan. Manfaat dari pertanian perkotaan tidak ada, karena tidak adanya, perencanaan dan kebijakan dari pemerintah. Ini menunjukkan bahwa kebijakan harus dikembangkan untuk membantu pertanian perkotaan agar dapat secara optimal berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan, untuk menciptakan kesempatan kerja, dan untuk mendukung keberlanjutan perkotaan. Kebijakan tersebut dapat mencakup: perencanaan penggunaan lahan, akses kredit, pelatihan bagi petani perkotaan, dan membangun jaringan di kalangan petani perkotaan.
PEMBAHASAN CRITICAL REVIEW :
DKI Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia dengan luas wilayah 661,26 km2. Terletak antara 60, 12' lintang selatan dan 1060, 48' bujur timur serta 7 meter diatas permukaan laut. Batas wilayah DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
- Sebelah selatan berbatasan dengan : Sawangan dan Kota Depok
- Sebelah barat berbatasan dengan  : Kota Tangerang
- Sebelah utara berbatasan dengan  : Laut Jawa
- Sebelah timur berbatasan dengan : Kota Bekasi
Provinsi DKI Jakarta terdiri dari lima kota yaitu; Jakarta Utara, Jakarta
Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan satu Kabupaten yaitu
Kabupaten Kepulauan Seribu.
Gambar Peta Administrasi Provinsi DKI Jakarta
Revitalisasi sektor pertanian pada dasarnya adalah menempatkan kembali arti pentingnya pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di perdesaan maupun perkotaan. Melihat kondisi pertanian di daerah perkotaan, khususnya DKI Jakarta, dan hubungannya dengan berbagai masalah lingkungan, perlu dirancang dan dirumuskan kebijakan yang komprehensif untuk pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan.
Dalam status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan ada berbagai sifat biasanya disebut dengan multi-dimensi, antara lain yaitu, ekonomi, ekologi, kelembagaan, sosial dan teknologi. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh para stakeholders dalam upaya kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dihasilkan pembobotan dari masing-masing dimensi yang hasilnya menunjukkan bahwa indeks status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta adalah 48,70%. Perolehan tersebut dianggap pengembangan pertaniannya kurang berkelanjutan.
Sedangkan dalam penentuan faktor keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan dilakukan dengan cara menggunakan analisis prospektif terhadap 21 faktor pengungkit keberlanjutan dan 9 faktor dominan kebutuhan stakeholders. Perubahan terhadap faktor pengungkit ini akan berpengaruh sensitif terhadap perubahan indeks keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh para stakeholder faktor keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta terdapat 6 (enam) faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta antara lain yaitu :
- Luas pekarangan;
- Kondisi yang terdapat di wilayah DKI Jakarta dimana rata-rata luas pekarangan kurang dari 10% luas kavling rumah, maka diperlukan adanya kebijakan perluasan pekarangan untuk tujuan RTH produktif yang berisikan komoditas pertanian.
- Perluasan lahan/ruang usaha tani
- Di wilayah DKI Jakarta masih terdapat lahan basah/sawah dan tegalan di dalam kategori lahan sempit atau terbatas untuk pengembangan pertanian, karena hal tersebut maka diperlukan kebijakan khusus tentang penggunaan atau pemanfaatannya atau mengoptimalkan daya hasil usaha tani melalui penataan ruang.
- Pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan
- Penerapan model kawasan rumah pangan lestari (KRPL) dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan dan daya hasil pekarangan dengan komoditas pertanian pangan  dengan penerapan teknologi berwawasan lingkungan.
- Pemberian insentif/kompensasi pertanian,
- Penyuluhan dan kelembagaan pertanian
- Diperlukan upaya untuk memperkuat keberadaan kelembagaan tani yaitu kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), KTNA dan lembaga keuangan sebagai sumber modal usaha petani perkotaan.
- Kerjasama antar stakeholders
- Kondisi usaha tani di wilayah DKI Jakarta pada lahan/ruang terbatas, baik di pekarangan maupun lahan lainnya, untuk tanaman RTH produktif kategori kurang menguntungkan, karena hal tersebut pula diperlukan suatu kebijakan pemberian insentif/kompensasi saprodi dan pajak tanah pertanian di wilayah perkotaan.
Sementara dalam kebijakan pengembangan pertanian perkotaan didasarkan atas antisipasi keadaan yang mungkin akan terjadi di masa depan, wilayah DKI Jakarta antara lain :
- pada kondisi eksistingnya memiliki tingkat keberlanjutan dengan status kurang keberlajutan,
- pada skenario I yaitu pesimis memiliki tingkat keberlanjutan dengan status kurang keberlanjutan, yang artinya perbaikan pada kondisi sesuai dengan kemampuan apa adanya.
- pada skenario II yaitu moderat memiliki tingkat keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, yang artinya perbaikan kondisi sedang
- pada skenario III yaitu optimis memiliki tingkat keberlanjutan dengan status baik berkelanjutan, yang artinya intervensi atau perbaikan pada kondisi maximal
Dari ke-4 (empat) skenario tersebut, skenario optimis dapat meningkatkan indeks keberlanjutan sehingga menjadikan kondisi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dalam keadaan baik atau berkelanjutan.
Pertanian perkotaan merupakan hasil interaksi dari faktor luas pekarangan, pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, perluasan lahan/ruang usaha tani, kerjasama antar stakeholders, dan pemberian insentif/ kompensasi. Kondisi wilayah perkotaan sudah merupakan agroecosystem tersendiri yang berbeda secara nyata dari pertanian di perdesaan. Â Instrumen kebijakan telah menjadi landasan hukum untuk peningkatan pendapatan petani secara umum, baik di perdesaan maupun di perkotaan, namun dalam implementasinya masih kurang efektif.
Berdasarkan hasil focus group discussion (FGD) dan wawancara mendalam yang dilakukan oleh para pakar/stakeholders tentang beberapa faktor-faktor penentu dan implementasi skenario kebijakan serta kebijakan yang sudah ada, telah diperoleh rumusan arah kebijakan yang dapat diimplementasikan di wilayah DKI Jakarta. Dari hasil pertimbangan tersebut, pemerintah perlu segera menetapkan lahan/ruang pertanian pangan berkelanjutan di perkotaan sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009. Sebagai langkah awal, rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi DKI Jakarta perlu ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda) dan diimplementasikan secara konsisten oleh penentu kebijakan.Â
Kawasan peruntukan pertanian perlu ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan non- pangan berkelanjutan dengan mematuhi ketentuan pelarangan alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian sesuai dengan peraturan zonasi untuk kawasan budidaya pertanian di perkotaan. Berdasarkan hal tersebut, perlu regulasi mengenai kebijakan khusus di dalam bentuk undang-undang tentang pertanian perkotaan. Aturan ini dapat menjadi payung hukum pembangunan pertanian perkotaan di Indonesia umumnya dan wilayah DKI Jakarta khususnya.
KESIMPULAN/REKOMENDASI :
Indonesia adalah negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan sektor  pertanian memiliki peran penting dalam usaha menyejahterakan masyarakat. Pertanian di wilayah perkotaan mempunyai peranan penting bagi masyarakat di wilayah tersebut. Revitalisasi sektor pertanian pada dasarnya adalah menempatkan kembali arti pentingnya pertanian secara proporsional dan kontekstual, baik di perdesaan maupun perkotaan. Melihat kondisi pertanian di daerah perkotaan, khususnya DKI Jakarta, dan hubungannya dengan berbagai masalah lingkungan, perlu dirancang dan dirumuskan kebijakan yang komprehensif untuk pengembangan pertanian perkotaan berkelanjutan.
Dalam upaya untuk mendukung perencanaan dan implementasi pembangunan yang tepat, khususnya pengembangan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) di wilayah DKI Jakarta, data mengenai biofisik, penggunaan lahan dan ruang, sosial ekonomi, penerapan teknologi dan kebijakan wilayah, sangat diperlukan.
- Dari hasil analisis yang dilakukan oleh para stakeholders dalam upaya kebijakan pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dihasilkan pembobotan dari masing-masing dimensi yang hasilnya menunjukkan bahwa indeks status keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta adalah 48,70%. Perolehan tersebut dianggap pengembangan pertaniannya kurang berkelanjutan.
- Dari hasil analisis yang dilakukan oleh para stakeholder faktor keberlanjutan pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta terdapat 6 (enam) faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kinerja sistem pengembangan pertanian perkotaan di DKI Jakarta antara lain luas pekarangan, perluasan lahan/ruang usaha tani, pengembangan komoditas dan teknologi pertanian ramah lingkungan, pemberian insentif/kompensasi pertanian, penyuluhan dan kelembagaan pertanian, dan kerjasama antar stakeholders
- Sementara dalam kebijakan pengembangan pertanian perkotaan didasarkan atas antisipasi keadaan yang mungkin akan terjadi di masa depan, wilayah DKI Jakarta, dari ke-4 (empat) skenario tersebut, skenario optimis dapat meningkatkan indeks keberlanjutan sehingga menjadikan kondisi pengembangan pertanian perkotaan di wilayah DKI Jakarta dalam keadaan baik atau berkelanjutan.
- Dari hasil pertimbangan tersebut, pemerintah perlu segera menetapkan lahan/ruang pertanian pangan berkelanjutan di perkotaan sesuai dengan amanat UU No. 41 Tahun 2009. Sebagai langkah awal, rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi DKI Jakarta perlu ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (Perda) dan diimplementasikan secara konsisten oleh penentu kebijakan.Â
SUMBER REFERENSI :
Santun R.P. Sitorus, S Nurisyah, B Pramudya. 2012. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KOTA BERKELANJUTAN: STUDI KASUS DI DKI JAKARTA . Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 3, September 2012 : 257-267
Dikutip dari :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H