Cantik, setiap orang punya definisi masing-masing untuk istilah ini. Biasanya cantik lebih dekat dengan kaum perempuan. Meski setiap orang punya standar kecantikannya masing-masing, namun faktor lingkungan juga ikut berperan di dalamnya.Â
Jika saat ini kita mengenal istilah cantik diibaratkan dengan tubuh yang jenjang, kulit putih, bulu mata yang lentik dan sederet standar lainnya. Masyarakat Mentawai juga punya standar kecantikan yang berbeda, lho.Â
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita kenalan dengan suku Mentawai. Kabupaten kepulauan Mentawai, merupakan salah satu daerah di Provinsi Sumatera Barat. Kepulauan Mentawai dikenal dengan kekayaan alam bahari yang sungguh indah.
 Menurut J.R. Logan(Coronoese, 1986: 2-3), orang Mentawai adalah orang yang berperawakan menarik, warna kulitnya coklat kekuning-kuningan, jarang ditemukan cacat fisik, sebab mereka hidup menurut keadaan sesungguhnya dari alam (hasil seleksi natural).Â
Seperti daerah lainnya di Indonesia, Mentawai juga punya beragam kearifan lokal dan budaya yang unik dan menarik. Salah satunya adalah 'tradisi gigi runcing'. Tradisi ini dilakukan oleh perempuan suku Mentawai yang sudah dewasa, dan bertujuan untuk kecantikan, lho. Dalam masyarakat Mentawai standar kecantikan seorang perempuan diukur dari telinganya yang panjang, tubuh yang dihiasi tati/tato dan giginya yang runcing.Â
Untuk memenuhi standar kecantikan ini para perempuan harus melewati proses kerik dan meruncingkan gigi dengan alat tradisional. Berbeda dengan peralatan modern, perempuan Mentawai yang akan mengikuti tradisi ini akan melakukan proses peruncingan menggunakan alat yang terbuat dari besi atau kayu yang sudah diasah.Â
Kalau kamu membayangkan akan ada obat bius untuk pereda sakit, jawabannya adalah tidak. Para perempuan yang melakukan proses peruncingan gigi harus menahan sakit karena tidak diberikan obat bius terlebih dahulu. Gigi yang selesai di runcingkan akan terlihat seperti bentuk segitiga.Â
Masyarakat Mentawai percaya bahwa gigi yang runcing menandakan perempuan yang dewasa serta dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian untuk kehidupan selanjutnya.Â
Tradisi gigi runcing ini jadi bentuk identitas sosial dan merupakan konsep diri yang bersumber dari keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial yang menganut nilai, norma dan ikatan emosional tertentu yang mampu menyatukan anggota-anggotanya (Tajfel, 1982:2).Â
Mengingat proses peruncingan gigi memerlukan pengorbanan, baik rasa sakit dan waktu yang dikeluarkan, perempuan yang menjalankan proses ini tentunya punya perasaan keterlibatan, rasa peduli dan bangga sebagai bagian dari suku Mentawai.Â
Namun saat ini tradisi gigi runcing  mulai ditinggalkan, dipengaruhi oleh faktor kebudayaan luar yang masuk, maupun keputusan pribadi untuk tidak mengubah bentuk gigi. Prosesnya yang sakit juga menjadi pertimbangan banyak perempuan untuk melakukan tradisi ini.Â
Tradisi gigi runcing  jadi tanda bahwa setiap suku  punya pandangannya masing-masing terkait kecantikan. Aku, kamu dan kita punya definisi kecantikannya yang harus dihargai. Sebagai manusia yang berbudaya, menghargai adalah salah satu cara terbaik hidup di bawah corak kebudayaan. Â
SumberÂ
Anis Munandar, d. (2022). Keragaman Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat suku Mentawai Di Kawasan Wisata Bahari Pulau Siberut. Menara Ilmu , 1-10.
Nur, M. (2019). Sikerei dalam Cerita Penelusuran Identitas Budaya Mentawai. Jurnal Masyarakat dan Budaya , 89-102.
Rubiati, A. R., & Putra, Y. Y. (2015). Konsep Diri Pada Masyarakat Mentawai yang Memakai Tato. Jurnal RAP UNP, 114-125.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H