Mohon tunggu...
Diah Siregar
Diah Siregar Mohon Tunggu... -

hanya seorang dengan kepribadian biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memilih, Maka Ada

9 Februari 2011   03:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karena Hidup adalah pilihan

Mata gadis berjilbab besar dengan tinggi sekitar 150 cm itu terlihat berkaca-kaca saat menuturkan kisahnya.

"Abah tak setuju Eni kuliah di jurusan keguruan kak. Menurut beliau, Administrasi Perkantoran D III USU adalah jurusan yang tepat untuk Eni" ujarnya dengan dengan Kristal bening yang menggantung di sudut matanya.

Diakuinya, abahnya bukan tanpa alasan menyuruhnya masuk jurusan tersebut. Melainkan karena abahnya ingin anaknya kelak menjadi orang kantoran seperti dirinya yang tak perlu berlelah-lelah kerja. Eni memahami hal itu. Awalnya ia mencoba berdamai diri demi menyenangkan orang tuanya. Maka selepas SMA ia mendaftar di Administrasi Perkantoran USU. Namun sejak itu batinnya selalu tak tenang. Ia merasa bahwa ini bukan pilihannya. Mengabdikan diri pada masyarakat adalah cita-citanya sejak dulu, bukan menjadi seperti yang diinginkan kedua orang tuanya.

Ketika hendak mendaftar ulang di USU dirinya mendengar kalau program Ektensi Unimed masih membuka pendaftaran. Jiwanya pun berontak. Keinginan untuk memilih kuliah sesuai dengan pilihannnya terus mengganggunya. Akhirnya ia memutuskan mendaftar di Unimed melalui jalur ekstensi. Disaat sebagian hatinya bersorak gembira karena lulus di Unimed, sebagian hatinya lagi menangis miris karena harus menerima kenyataan dan konsekuensi yang berat dari apa yang telah ia pilih : disisihkan oleh keluarganya sendiri dan dianggap anak tak tahu diri karena tak menuruti keinginan orang tuanya, terutama abahnya.

Mahasiswa semester empat jurusan pendidikan bahasa Indonesia ini sudah dua tahun kuliah dengan biaya sendiri dari hasil kerjanya menjadi tentor di salah satu bimbingan belajar di Medan. ketika lebaran ia tak pulang ke rumah, melainkan ke rumah saudaranya yang masih sedaerah dengan rumah tempat orang tuanya tinggal. Jika ada kesempatan, dengan diam-diam ia datang kerumahnya dan sungkem ke ibunya dengan harapan ada pintu maaf dari ayahnya. Tapi tampaknya ia harus lebih bersabar lagi untuk hal itu.

"Abah sangat marah kak. Bahkan sampai sekarang abah belum mau bicara sama Eni. Tapi sudahlah, ini adalah konsekwensi yang harus Eni jalani. Eni yakin, suatu saat abah akan memaafkan Eni karna niat Eni benar-benar tulus ingin menjadi orang bermanfaat bagi orang lain. Dan menurut Eni, menjadi guru adalah pilihan yang tepat" gadis itu berkata bijak.

Adakah yang salah dengan pilihan Eni? Jika kita memandang dari sudut pandang kepatuhannya kepada orang tua, kita akan berpikiran sama dengan orang tuanya. Namun jika kita lihat sebagai orang yang berani mengambil keputusan, Eni adalah golongan orang-orang yang berani memperjuangkan kemerdekaan pilihannya.

Lain Eni lain lagi Suparman. Keputusannya untuk kuliah mengundang ejekan dari temannya. Menurut mereka, meskipun ia kuliah tak akan mengubah jalan hidupnya yang memang sangat kekurangan itu.

"Meskipun kau kuliah, tetap saja akhirnya kau menjadi orang kampung yang miskin" begitu teman-teman mengejeknya. Diejek seperti itu tak mengendurkan semangat Suparman untuk kuliah, justru membuatnya bertambah semangat. Ia nekat kuliah dari hasil tabungannya. Tabungan yang ia kumpulkan selama dua tahun bekerja di bidang reklame dan percetakan.

Saat mengambil studi khususpun ia tak lepas masalah dan cemoohan orang-orang disekitarnya karena pilihan ia ambil. Awalnya ia mengambil studi khusus Seni Lukis. Setahun dijalani ia merasa tak sejalan dengan apa yang telah ia pilih. Akhirnya disaat mahasiswa lain berlomba-lomba untuk cepat lulus kuliah dengan alasan keuangan ia yang juga memiliki keterbatasan biaya malah memutuskan mengambil studi khusus lagi dan harus mengulang dari awal. Fotographi sempat menjadi pilihannya. Namun tak berapa lama ia membatalkannya lagi dan mengambil studi khusus Komputer. Tak hanya sesama mahasiswa yang mencemohnya. Dosen pun ikut berkomentar yang sangat membekas dihatinya. Pasalnya ia tak mengerti sama sekali komputer dan nekat mengambil studi khusus tersebut.

"Jadikanlah kelemahanmu sebagai kelebihanmu di hari depan. Kata-kata itu yang membuatku tetep kukuh meski banyak orang menyepelekanku" ungkapnya.

Hasilnya, ia lulus dengan predikat cumlaude dan sekarang sudah memiliki lima cabang dari usaha yang berhubungan erat dengan komputer, percetakan. Terbukti, keputusannya memilih kuliah adalah salah satu keputusan tepat yang pernah ia buat.

Vida adalah contoh lain pribadi merdeka. Keputusannya berpisah dengan suaminya mendapat tanggapan negativ dari keluarganya. Bahkan dari anak-anaknya.

"Anak-anak saya memilih tinggal bersama mantan suami saya. Mereka menganggap saya tak memikirkan mereka karena memutuskan berpisah dari suami saya. Padahal justru karena saya benar-benar tak tahan dengan perlakuan suami saya"

Vida menuturkan kalau suaminya teramat posesif padanya. Saking posesifnya ia berusaha menciftakan citra buruk tentang dirinya kepada keluarganya. Tujuannya agar orang-orang di sekitarnya tak menyukainya dan terus bergantung pada suaminya. Tak tahan hidup dikekang, ia mengambil keputusan yang tak pernah terbersit dalam pikirannya kala muda. Bercerai dan disisihkan dari keluarga besar dan anak-anaknya. Kini hari-hari ia habiskan dengan delapan orang anak kos yang tinggal di rumahnya. Saat hari besar tiba seperti lebaran dan idul adha ia tak pernah di rumah, tidak juga ke rumah keluarganya. Ia pergi kemana ia mau dan menikmati kebebasannya tanpa merasa menyesal dengan keputusannya. Ia yakin, suatu saat anak-anaknya paham dengan apa yang sudah ia pilih.

Memilih! Memilih atau mengambil suatu keputusan seringkali membuat seseorang pusing tuju keliling. Berbagai pertimbangan dari mulai tingkat urgensitas hal yang akan dipilih sampai konsekwensi dari pilihan tersebut tak jarang menguras pikiran kita. Apalagi jika pilihan yang harus kita pilih sama-sama penting menurut kita. Alhasil kita berada dalam suatu kondisi yang sering kita sebut dengan dilematis.

Terkadang, kita harus mengabaikan sesuatu yang sebenarnya ingin kita pilih dengan berbagai pertimbangan. Tak banyak orang yang berani memilih sesuai dengan keinginannya. Pilihan yang menunjukkan akan menjadi seperti apa kita nantinya. Pilihan yang menunjukkan bahwa kita ada karena pilihan tersebut.

Eni, Suparman dan Vida merupakan contoh orang-orang yang perlu diacungin jempol dalam hal memilih apa yang ingin mereka pilih. Mereka adalah orang-orang yang berani hidup dengan pilihannya tanpa harus terkekang dengan pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya tak perlu ada.Tak peduli apakah pilihan mereka mendapat dukungan atau tidak dari orang-orang yang mereka sayangi. Tak peduli seberat apapun konsekuensi yang harus mereka tanggung. Tak peduli apakah pilihan mereka benar atau pun salah. Sebab hidup memang semata-mata tak hanya tentang benar atau salah, tak hanya tentang hitam atau putih. Hidup adalah tentang memilih. Memilih, maka ada.

***

NB : Tulisan ini dimuat di buku kumpulan feature human interest Persma Kreatif Unimed.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun