Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal daripada harga beras di pasar global. Bahkan saat ini harga beras dalam negeri konsisten tertinggi di kawasan ASEAN. (Kompas.com 20/9/24).
Tingginya harga beras di Indonesia menjadi sebuah ironi karena sebagai negeri agraris yang "gemah ripah loh jinawi" (negeri subur dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah) mestinya beras sebagai sumber makanan pokok bisa diperoleh seluruh sudut negeri ini oleh semua kalangan masyarakat dengan harga terjangkau. Realitanya harga beras terus melambung tinggi dan lebih parah lagi beberapa kali keberadaan beras bahkan langka di negeri ini.
Proses Produksi Tinggi.
Kenaikan harga beras tidak terlepas dari kenaikan biaya produksi. Â Karena selain menutup biaya tanam sampai panen, petani juga menghitung keuntungan yang akan didapatkan. Petani mengalami dilema, satu sisi harus merogoh kocek dalam untuk mendapatkan pupuk yang mahal, membayar biaya buruh pekerja, ditambah rantai distribusi dari produsen ke konsumen cukup panjang. Petani menjual beras ke tengkulak, dari tengkulak dijual ke distributor, lalu dijual ke agen hingga sampai konsumen dengan harga lebih tinggi. Rantai distribusi yang panjang sangat merugikan petani sebagai tangan pertama produsen beras.
Di sisi lain, praktik tengkulak beras masih marak terjadi. Mereka membeli gabah dengan harga rendah sebelum panen. Para petani yang terjebak dengan praktik ini tidak bisa berbuat banyak. Mereka akan kalah dengan para tengkulak yang kerap memainkan harga.
Pada akhirnya ia hanya menerima keuntungan yg menipis, tak jarang hanya memutar modal pokok saja. Pada akhirnya para petani jauh dari kata sejahtera.
Berdasarkan Survei Terpadu Pertanian 2021, kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata, bahkan pendapatannya kurang dari 1 dolar AS per hari atau senilai Rp15.207 dan setahun di bawah 341 dolar AS atau Rp5 juta. (Antara.com, 20/9/24).
Karena petani selalu merugi dan jika pun tidak rugi itupun hanya untung yang tipis sehingga tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup yang terus mengalami kenaikan biaya.
Untuk bertahan hidup para petani banyak yang memilih menyewakan atau menjual tanah sawahnya karena menganggap bertani bukan lagi profesi yang menguntungkan.
Jika pada 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih 11,38 juta hektare, pada 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare, turun sebanyak 10,28% dalam enam tahun terakhir. (MuslimahNewsDaily, 25/9/24)
Demi tetap bisa bertahan hidup petani hanya punya satu pilihan yaitu menjual lahan sawahnya kepada pemodal atau menyewakannya daripada harus menanggung rugi akibat biaya produksi yang besar. Sementara kebanyakan para pemodal tidak memanfaatkannya untuk memproduksi pangan akan tetapi untuk pembangunan properti dan sebagainya.