Mohon tunggu...
Diah Fitri Patriani
Diah Fitri Patriani Mohon Tunggu... Guru - Muslimah Pemerhati Umat

Muslimah Pemerhati Umat di kota Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Tinggi, Rakyat Gigit Jari

1 Agustus 2024   17:10 Diperbarui: 1 Agustus 2024   17:10 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Indozone diolah oleh Diah

Ketika disuatu negeri pungutan pajak terus naik tak terkendali dengan  beragam rupa kategori.  Sementara disisi lain akibat krisis keuangan global satu persatu bertumbangan para pelaku industri dan ritel di dalam negeri, tsunami PHK tak dapat terhindari. Para pejabatnya terjebak berbagai tindak korupsi.  Alih alih bersimpati mereka justru berbangga diri  karena sumber pendapatan dari memalaki rakyatnya terus bertambah memenuhi pundi-pundi. Bahkan untuk urusan memungut pajak para pejabat bekerja begitu sepenuh hati. Rakyat cuman bisa gigit jari. Jika itu sudah terjadi di sebuah negeri pertanda sistem yang berlaku telah mati.

Dirilis dari laman Liputan6, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan terkait perkembangan penerimaan negara yang setiap masa terus membaik, hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya.

"Saya senang mendengar tadi disampaikan oleh Pak Suryo bahwa Direkturat Jenderal Pajak terus melakukan perbaikan, penguatan yang berkelanjutan. Setiap masa selalu ada inisiatif untuk memperbaiki diri," ujarnya.

Menkeu merinci, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Bahkan, untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun.

Rakyat Gigit Jari

Apakah benar pajak yang dipungut oleh pemerintah akan dikembalikan pada rakyat.
Fakta membuktikan dana-dana pajak tersebut diselewengkan oleh para oknum pejabat. Kasus demi kasus bergulir, dari Gayus Tambunan, Rafael Alun sampai pergerakan dana janggal di Kemenkeu mencapai 300 triliun lebih menjadi sorotan publik.

Hukum pajak terhadap rakyat jauh lebih ketat ketimbang para pejabat yang menyelewengkan pajak. Para oknum pejabat hanya terkena sanksi administrasi dan sanksi pidana denda. Sanksi penjara menjadi pilihan terakhir jika oknum pejabat tidak dapat menyelesaikan sanksi administrasinya.

Fakta lain persoalan pembangunan yang tidak merata antara pusat dan daerah, perbaikan jembatan putus, jalan rusak, sekolah roboh masih menjadi persoalan sampai kini. Sementara di sisi lain pembangunan jalan tol secara masif dilakukan dengan menggandeng para investor. Alih-alih bisa menikmati pembangunan dari pajak sebagi sumber pendapatan utama yang ada rakyat malah gigit jari.

Sistemnya Telah Mati


Apa yang dibanggakan Menkeu dari peningkatan pemasukan pajak sejatinya tak lebih dari peningkatan pungutan atas rakyat alias hasil pemalakan. Memalak rakyat mestinya menjadi sebuah keprihatinan bukan kebanggaan.

Hal ini lumrah karena dalam sistem kapitalis, pajak adalah sumber terbesar pendapatan negara untuk membiayai Pembangunan.  rakyat justru mengalami pemerasan untuk membayar pajak. Setiap hal yang ada hubungannya dengan uang, langsung dikenai pajak. Itu dilakukan untuk mengisi APBN.

Besarnya pungutan pajak atas rakyat sungguh merupakan bentuk kedzaliman. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat. Negara hanya sebagai fasilitator dan regulator dalam menentukan tata Kelola urusan negara

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan SDA. Sayangnya, Kekayaan alam tersebut diserahkan pada investor asing dan aseng serta diprivatisasi, tidak dikelola oleh negara. Negara hanya mengais serpihan pemasukan SDA itu hanya dari besaran pajak yang dibayarkan.  Para kapital tentu saja yang paling diuntungkan.

Pajak Di dalam Islam

Dalam sistem Islam, Selain dari pengelolaan SDA sebagai kepemilikan umum, Islam juga mengatur pemasukan dari  kharaj, fa'i sebagai kepemilikan negara. Hal ini sejalan dengan sistem kepemilikan yang ditetapkan oleh Islam dan pengelolaannya sesuai dengan sistem ekonomi islam.

Pajak hanya akan dipungut ketika negara mengalami kekosongan kas. Itu pun hanya untuk kaum muslim yang kaya. Bagi kaum muslim selainnya tidak dikenakan. Dan untuknonmuslim  tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak.Sistem keuangan seperti ini hanya ada pada negara yang menjadikan hukum syara' sebagai landasan aturan untuk mensolusi berbagai problematika umat. Akan tetapi mustahil negara demokrasi kapitalisme menerapkan hukum syara'. Karena hanya negara berbentuk khilafahlah yang dapat menerapkan sistem keuangan Islam secara integral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun