Tahun 2020 adalah tahun tersulit yang pernah dihadapi Indonesia bahkan dunia, ketidakpastian di berbagai sektor terus menghantui masyarakat dunia. Penyebabnya karena menyebarnya virus corona atau Novel Coronavirus (Covid-19) di berbagai belahan bumi. Virus corona pertama kali muncul di Wuhan, China pada tahun 2019 sudah menginfeksi lebih dari 83 juta jiwa di seluruh dunia selama kurun waktu satu tahun. Akibat dari adanya virus tersebut terdapat pembatasan jarak, peliburan kantor dan sekolah, pembatasan jam malam, bahkan pelarangan masuk negara diterapkan sebagai bentuk antisipasi agar tidak meningkatnya virus ini. Aturan-aturan baru ini tentunya membuat panik masyarakat dan menimbulkan gelombang kekhawatiran yang berlebih
Sektor ekonomi, wisata, manufaktur, transportasi, sosial dan pangan merupakan salah satu sektor dari berbagai sektor yang terkena dampak pandemi ini. Sektor ekonomi dan wisata misalnya menjadi sektor yang mengalami kerugian cukup besar. Di sektor ekonomi banyak pelaku usaha yang mengalami kerugian bahkan hampir diambang kebangkrutan dikarenakan masyarakat lebih memilih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Tidak hanya pedagang, perusahaan besarpun terkena dampaknya. Daya beli masyarakat yang terus menurun, terbatasnya perolehan bahan baku, biaya produksi yang sama ditambah dengan biaya tenaga kerja yang besar. Membuat beberapa perusahaan tercekik. Sehingga berakibat pada pemotongan gaji, perumahan karyawan, pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga perhentian operasi secara permanen. Melansir dari berbagai sumber terdapat 5 (Lima) perusahaan yang terdampak Covid-19 di Indonesia antara lain :
1. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbl (Ramayana)
Perusahaan dengan kode saham RALS ini telah menutup sementara 13 gerainya pada bulan Maret 2020 seiring dengan terjadinya penurunan omset yang diperoleh perusahaan. Penurunan yang tak kunjung membaik ini membuat perusahaan ritel tersebut melakukan PHK terhadap sejumlah karyawanya. Ramayana City Plaza, Depok misalnya telah menutup operasionalnya sejak senin (6/4) dan sebanyak 87 karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
2. NPC Internasional
Perusahaan pewaralaba restoran terbesar di Amerika Serikat yang menjadi pemegang hak dari 1.200 gerai Pizza Hut dan 400 restoran Wendy's di seluruh Amerika Serikat telah mengajukan pailit dikarenakan terlilit utang sebesar US$1 miliar yang merupakan imbas dari diberlakukannya lockdown di berbagai wilayah.
3. Muji
Perusahaan ritel asal Jepang yang menyediakan berbagai macam perlengkapan rumah tangga dan barang konsumsi juga mengajukan pailit pada 9 Juli dikarenakan terlilit utang sebesar US$50 juta hingga US$100 juta. Perusahaan ini akhirnya memutuskan untuk lebih berfokus pada pasar regional dan e-commerce.
4. PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST)
Perusahaan pengelola restoran cepat saji KFC memutuskan untuk menutup sementara 33 gerainya yang berada di bandara dan stasiun serta merumahkan karyawannya. Penutupan ini dilakukan lantaran pemilik properti menutup sementara tempatnya. Penjualan KFC juga mengalami penurunan hingga 30-35 persen akibat adanya pembatasan untuk dine in di restoran.
5. PT Matahari Putra Prima Tbk (Matahari)
Selama pandemi perusahaan ritel dengan kode saham LPPF ini hanya mampu meraup pendapatan bersih sebesar Rp 3,3 triliun terjadi penurunan sebesar 57, 5 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Kerugian yang ditanggung dari bulan Januari hingga September mencapai Rp617 miliar, selain menderita kerugian perusahaan juga memutuskan untuk menutup sebanyak 7 gerai yang dianggap memiliki kinerja yang kurang baik dan manajemen berencana akan menutup kembali 3 gerai hingga akhir tahun ini.
Tidak berbeda dengan sektor ekonomi, sektor wisata yang menjadi sektor unggulan Indonesia juga terkena dampak dari diberlakukannya lockdown. Seperti yang dicatat oleh Badan Pusat Statistika (BPS) bahwa terjadi penurunan wisatawan mancanegara (wisman) selama Januari hingga Agustus sebanyak 3,41 juta kunjungan atau turun sebesar 68,17 persen dibandingkan jumlah kunjungan pada periode yang sama di tahun 2019 yang berjumlah 10,71 juta kunjungan. Selain itu berdasarkan tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang di Indonesia di bulan Agustus mencapai rata-rata 32,93 persen turun 21,21 poin dibandingkan tahun lalu.
Pengangguran bertambah, sulitnya mencari pekerjaan, pendapatan berkurang, barang-barang kebutuhan dirasa memiliki harga yang mahal, serta bertambahnya biaya-biaya tidak terduga (kesehatan, internet dan lainnya) menjadi faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi keputusan masyarakat dalam membelanjakan uangnya. Kementerian Keuangan mencatat selama tahun 2020 pada kuartal I pertumbuhan ekonomi Indonesia menyentuh 2,97 % (YoY), kuartal II sebesar -5,32% (YoY) dan di kuartal III sebesar -3,49% (YoY) sedangkan konsumsi rumah tangga di kuartal I tumbuh sebesar 2,84%, kuartal II -5,52% dan di kuartal III tumbuh sebesar -4,04%. Mengutip dari merdeka.com peneliti indef, Bhima Yudhistira menjelaskan konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif menunjukkan bahwa kondisi masyarakat khususnya di kalangan menengah ke atas, masih belum percaya terhadap pemerintah dalam penanganan pandemi meliputi kekhawatiran untuk belanja di luar rumah sehingga mereka lebih banyak mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset yang lebih aman.
Bank DBS Indonesia pada pertengahan Juni melakukan survei secara daring pada 500 responden yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa termasuk Jakarta dan sebagian kecil luar Pulau Jawa, hasilnya konsumsi rumah tangga selama pandemi mengalami penurunan karena konsumen yang cenderung menahan belanja selama enam bulan kedepan.
“Pendapatan mereka sebagian besar ditabung dan diinvestasikan daripada dihabiskan untuk belanja barang-barang ataupun beraktivitas” dalam riset Bank DBS Indonesia yang bertajuk “Indonesia Consumption Basket” Gambar di bawah ini adalah presentase dari hasil survei yang dilakukan oleh Bank DBS Indonesia.
Dikutip dari :Bareksa.com
Sumber : Riset Bank DBS Indonesia
Ini berarti selama pandemi berlangsung, masyarakat menunjukkan minat yang besar dalam berinvestasi dan menabung, karena khawatir akan keberlangsungan hidup mereka selama pandemi serta timbulnya kesadaran bahwa menabung dan berinvestasi sangat penting untuk dilakukan sebagai dana darurat jika kedepannya terjadi kondisi yang sama seperti saat ini. Masyarakat menengah ke atas yang penghasilannya tidak terdampak akan pandemi berbondong-bondong menaruh uangnya dalam bentuk tabungan, emas ataupun dalam surat berharga lainnya.
Pernyataan di atas diperkuat oleh pemaparan dari Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Hasan Fazwi dalam pemaparannya bahwa di tahun 2020 sebagai tahun kebangkitan investor ritel dalam negeri di Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat penambahan investor atau SID baru di Pasar Modal Indonesia baik itu berupa saham, obligasi, reksa dana dan investor instrumen investasi pasar modal lainnya, yang mencetak rekor pertumbuhan 48,82 persen atau 3.967.284 SID per 10 Desember 2020.
Selain itu Bursa Efek Indonesia (BEI) juga mencatat adanya momentum dominasi kepemilikan investor domestik dengan jumlah kepemilikan tertinggi sepanjang sejarah Pasar Modal Indonesia sebesar Rp3.491 triliun yang terdiri dari jumlah kepemilikan saham yang tercatat di BEI 50,44 persen dimiliki oleh investor domestik dan 49,56 persen dimiliki oleh investor asing.
Investasi logam mulia juga semakin diminati, seperti yang dijelaskan oleh Direktur Utama PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) Sandra Sunanto bahwa selama pandemi terdapat lonjakan untuk permintaan logam mulia karena harganya cukup meningkat. Ia juga menambahkan bahwa selama pandemi ini masyarakat sudah mulai teredukasi untuk berinvestasi sehingga di masa sulit sekalipun masyarakat berusaha untuk tetap saving, salah satu investasi yang dirasa aman oleh masyarakat adalah dengan berinvestasi emas dan logam mulia.
Peningkatan investasi dan menabung pada surat berharga, emas dan logam mulia tentunya harus diapresiasi. Keikutsertaan investor domestik dalam kegiatan ekonomi memiliki efek jangka panjang dibandingkan dengan investor asing yang hanya memiliki efek jangka menengah dalam membantu pertumbuhan ekonomi. Harapannya minat masyarakat Indonesia akan menabung dan berinvestasi akan terus bertahan atau mengalami peningkatan walaupun nanti pandemi sudah berakhir.
Di satu sisi saving dan investasi menjadi opsi yang harus terus dipertahankan namun di satu sisi jika tidak diimbangi dengan konsumsi tentunya menurunkan daya beli sehingga harus adanya balance antara menabung dan konsumsi terutama untuk masyarakat menengah ke atas yang pendapatannya tidak terdampak pandemi. Kecenderungan masyarakat yang mengalihkan porsi uangnya untuk investasi dan menabung daripada konsumsi tentunya harus di antisipasi oleh pemerintah. Di tahun 2020 ini pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan belanja negara dengan sasaran masyarakat yang berpendapatan tidak terkena pandemi untuk melakukan konsumsi.
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) memiliki program untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah, konsumsi pemerintah sendiri menyumbang 8,67 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), program tersebut adalah pencairan gaji ke-13 serta pemberian pulsa untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) sedangkan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat yaitu dengan memodifikasi belanja perlindungan sosial dengan menaikkan besaran manfaat, menambah frekusensi penyaluran dan periode penyaluran. Kebijakan fiskal ini walaupun belum menyelesaikan persoalan ekonomi namun secara tidak langsung membantu meningkatkan daya beli masyarakat hal ini dapat dilihat dari peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih baik di kuartal ke 3 walaupun angkanya masih negatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H