Sebenarnya tulisan saya ini terinspirasi setelah saya membaca sebuah tulisan yang berjudul “Perusahaan+BUMN Wajib JKN Pada 1/1/2015, Rasionalkah?” dimuat pada Kompasiana tanggal 14 Oktober 2014, yang ditulis oleh Bapak DR.Yaslis Ilyas, DRG, MPH dan kebetulan beliau adalah dosen di kampus tempat saya menuntut ilmu sekarang.
Membaca judulnya membuat saya berfikir “wew...apa bisa Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) milik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah bersaing dengan fasyankes milik swasta?”. Itulah pertanyaan pertama yang ada di benak saya. Bukan tanpa sebab saya berfikir seperti itu. Alasannya sederhana, di era JKN ini setiap fasyankes ribut-ribut tentang pembagian kapitasi. Tapi apakah dengan nilai kapitasi yang besar, pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan (contoh: dokter, dokter gigi, bidan, perawat) dan juga tenaga non kesehatan (contoh : bagian administrasi) sudah maksimal? Atau justru seadanya? Mengingat mindset bahwa pasien peserta BPJS adalah pasien gratis. Ya memang, kalau kita melihat biaya belanja kesehatan perorangan tidak terlalu besar ditambah lagi embel-embel tarif INACBG’s yang menjadi patokan tarif pasien peserta BPJS.Teringat sebuah tulisan di laman salah satu sosmed saya yang isinya tentang tarif INACB’s. Salah satu poin penting tentang masalah pentarifan ini adalah rendahnya tarif untuk beberapa kasus penyakit/pengobatan (misalnya tarif untuk kasus circumsisi lebih tinggi daripada tarif untuk kasus SC) mengharuskan dokter untuk melakukan penghematan disegala bidang yang tentu saja hal ini dapat berpotensi menyebabkan turunnya standar pelayanan dan pada akhirnya pasienlah yang dirugikan. Cerita diatas baru sekelumit persoalan yang dihadapi BPJS dan Kemenkes sebagai regulator dalam menerapkan JKN. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kualitas SDM kesehatan itu sendiri. Dengan banyaknya tenaga kesehatan dan non kesehatan yang bekerja di fasyankes, perlu juga dipertanyakan kualitas dan kinerja tenaga kesehatan dan non kesehatan tersebut. Data yang didapat dari Bank Data SDM Kesehatan yang di publish di website Kementerian Kesehatan RI Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, jumlah SDM Kesehatan adalah sebagai berikut :
Rekapitulasi SDM Kesehatan yang Didayagunakan Pada Fasyankes di Indonesia
(sumber : http://www.bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/)
No
Jenis SDM Kesehatan
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
1
Dokter Spesialis
8.403
16.574
27.333
36.756
38.866
2
Dokter Umum
25.333
33.172
37.364
41.841
42.265
3
Dokter Gigi
8.731
10.575
11.826
11.857
13.092
4
Perawat
169.797
230.280
235.496
288.405
295.508
5
Bidan
96.551
120.924
126.276
137.110
136.606
6
Kefarmasian
18.022
25.439
31.223
40.181
46.336
7
Tenaga Kesehatan Lainnya
64.908
99.631
97.904
125.494
125.349
8
Tenaga Non Nakes
109.307
124.694
139.812
195.454
193.875
TOTAL
501.052
661.289
707.234
877.098
891.897
Merujuk dari data diatas, terdapat penambahan SDM Kesehatan dari tahun ke tahunnya. Pertanyaannya, apakah penambahan SDM Kesehatan ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan?
Tingkatkan Kinerja
1/1/2015 bisa jadi merupakan tanggal keramat bagi pihak swasta yang diwajibkan ikut JKN maupun pihak pemerintah yang menyediakan pelayanan kesehatan. Sudah saatnya untuk merubah pola pikir SDM-SDM Kesehatan yang terjun langsung dengan memberikan pelayanan kesehatan. Pola pikir yang harus dirubah, yang saya maksudkan disini adalah : selama ini kita berfikir bahwa sebagai fasyankes milik pemerintah kita adalah “raja”. Suka tidak suka, puas tidak puas, pasien akan tetap datang ke fasyankes pemerintah untuk mencari pertolongan/pengobatan karena biayanya yang sangat murah dibandingkan dengan fasyankes milik swasta. Tapi tunggu dulu kalau peserta BPJS adalah karyawan BUMN yang notabene sudah terbiasa dengan “perlakuan swasta”. Menjadi kritis terhadap suatu pelayanan yang kurang memuaskan sudah menjadi ciri karyawan-karyawan BUMN ini. Tidak dipungkiri apabila dibandingkan dengan fasyankes milik swasta, fasyankes milik pemerintah dari sisi etos kerja, SDM nya masih banyak kekurangan. Tidak semua memang, masih banyak SDM-SDM Kesehatan baik nakes maupun non nakes yang bekerja dengan hati, melayani tanpa pamrih, tapi tidak dapat dipungkiri sebagian besar masih memiliki etos kerja yang rendah. Jargon “datang telat pulang cepat” bagi Pegawai Negeri Sipil sudah sangat dihapal masyarakat. Belum lagi pelayanan yang jutek dan tidak ramah. Padahal SDM-SDM Kesehatan yang bersentuhan langsung dengan para pasien adalah “wajah” dari pelayanan kesehatan kita. Terutama untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas, dokter keluarga dan klinik. Diberlakukannya sistem rujukan berjenjang dan program rujuk balik menjadikan fasilitas kesehatan tingkat pertama ini pilar paling depan dalam pelayanan kesehatan.
Untuk itulah setiap pegawai yang bekerja di fasyankes milik pemerintah baik Puskesmas maupun Rumah Sakit, sedianya kita harus terus meningkatkan kinerja individu agar dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam hal pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat jangan hanya dianggap sebagai rutinitas dari pekerjaan saja. Apalagi dengan bertambahnya SDM-SDM Kesehatan setiap tahunnya haruslah dibarengi dengan meningkatnya pengetahuan dan kemampuan setiap individu demi peningkatan pelayanan, sehingga fasyankes milik pemerintah mampu bersaing dengan fasyankes swasta. Mudah-mudahan dengan kepemimpinan Presiden yang baru yang oleh majalah Time disebutkan sebagai “New Hope” ada harapan baru juga bagi kita untuk menghasilkan suatu kinerja yang baik dimana hasil akhirnya adalah sebuah bentuk pelayanan prima kepada pasien/konsumen. Untuk itu : AYO KERJA..KERJA..KERJA!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H