Mohon tunggu...
Sudirta Lasabuda
Sudirta Lasabuda Mohon Tunggu... -

Dan hanya jika kau peka, maka akan sering kau sadari bahwa saya selalu ada disaat kau, kalian dan mereka serta manusia manusia lainnya sedang merasa tak mengenal saya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kotamobagu Sudah Tak Santai, Ayo ke Boltim dan Silahkan Fall In Love

9 Juli 2016   20:53 Diperbarui: 9 Juli 2016   21:00 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

TAK ADA yang lebih banal dan menyakitkan, kecuali melarang orang yang sedang jatuh cinta. Begitupun menangkap mereka yang tengah memadu kasih. Terlebih lagi alasan pelarangan berbuntut penangkapan itu, dilandaskan pada logika menjaga ketertiban umum, ketentraman masyarakat, dan sarana pembinaan kehidupan remaja yang dianggap menderita penyakit sosial. Ehem..!!

Sebagai sebuah kota kecil yang belum berumur 10 tahun, Kotamobagu yang pusat keramaiannya cuma ibarat jalan ingus seorang bocah kesepian—itupun jika pertokoan dari Roberta hingga Paris belum menutup pintu—maka suramlah kota ini dan benar-benar kehilangan nuansa, tanpa ada tanda-tanda kehidupan, diperparah dengan disapu-bersihnya semua ruang publik (bahkan private) oleh bulan-bulanan razia aparat, yang secara gegap-gempita penuh dukungan, sukses memberantas semua yang dianggap sebagai penyakit masyarakat.

Jika ada yang mau membantah, maka saya yang memang bukan remaja Kotamobagu, hendak bertanya pada kalian; tongkrongan (ruang publik) mana lagi tersisa di Kotamobagu yang luput dari ancaman jaring razia?

Sudahlah untuk beromantisme kembali ke jaman gegap-gempitanya kejayaan Lapangan Kotamobagu yang setiap malamnya menjadi tujuan favorit banyak kalangan. Lapangan itu kini sepi, bahkan seekor nyamuk pun akan berpikir panjang untuk sekadar nangkring di sana, berharap ada daging dan darah-darah segar kawula muda kota bisa disedot.

Lupakan juga Taman Kota depan Roberta yang tinggal menyisakan horor dan paranoid terhadap mobil karanjang. Untuk ke Lapangan Mogolaing pun, adalah perkara menyesakkan dada. Sama tak mungkinnya Anda nongkrong di Taman Kota di Eks-Stadion Gelora Ambang, yang entah siapa arsiteknya; betapa mungkin sudah merasa cerdas dan layak dipuji karena telah membangun Taman Kota di sudut stadion terlantar, yang cuma ada punsiana di sana menanti; gelap, penuh gendukan belukar, dan angker.

Tak usah pula merasa aman chek-in di hotel kelas melati. Kecuali tidak merasa takut dan malu bakal diangkut ke mobil karanjang untuk kemudian dibina setelah membuat surat pernyataan.

Dan soal ranah private seperti kos yang benar-benar merupakan ranah pribadi??

Hello… jangan mimpi di siang bolong. Di kota kecil ini, orang-orang seolah sudah kehilangan nalar sehingga tak bisa menegaskan batas; mana ranah private, mana ranah publik. Apalagi banyak warganya yang dianggap mengidap sebuah penyakit. Namanya PEKAT alias penyakit masyarakat.

Tapi, apa yang sebenarnya membuat saya remaja Boltim gusar terhadap kehidupan kawan-kawan remaja di Kotamobagu?

Setelah semua tongkrongan berhasil disapu-bersih, barusan saya mendapat brodkes berisi berita dari sebuah portal news yang esksis di Kotamobagu. Isinya sungguh naujubillah. Ada instruksi baru yang dikeluarkan pamarentah untuk 300 Hansip di Kotamobagu.

Apa instruksi itu? Adalah pemberlakuan jam malam, dan siapapun remaja yang asik pacaran pada malam hari, siap-siap ditangkap Hansip untuk kemudian digelandang ke kantor, dan seperti biasa; moral pelaku pacaran itu akan dibina oleh sang penegak ketertiban umum, dan penegak moral manusia. Hansip bro, Hansip lah yang akan membina moralmu.

Ah, beruntunglah saya tidak hidup di Kotamobagu. Peristiwa demi peristiwa yang saya ikuti belakangan ini, makin membuka mata hati saya bahwa, Boltim dan Kotamobagu memang berbeda. Mulanya saya berpikir, menjadi orang Kotamobagu akan lebih mengembirakan ketimbang menjadi orang nun jauh di Ujung Timur Mongondow. Ternyata saya salah. Sehingga betapa bersyukurnya saya menjadi anak Boltim yang santai dan selalu memiliki kebebasan berleha-leha di pesisir pantai Baret, pantai Togid, Tutuyan, Tombolikat, dan sepenggal surga di Pulau Nenas sampai dengan hari ini.

Jika di Boltim, pamarentahnya menjamin kemerdekaan tiap pasangan muda-mudi memadu kasih dan jalinan asmara, termasuk kebebasan memilih secara bebas tempat ngedate (tentu bukan di ranah peribadatan), maka betapa hilangnya kebebasan itu nanti bagi pasangan muda-mudi di sebuah kota kecil bernama Kotamobagu. Sebuah kota kecil yang pembangunannya dilandaskan pada Kota Jasa, Kota Pintar, dan Kota Bersih sebagaimana semboyan dalam bahasa Mongondow; Lipu Modarit Lipu Mosehat.

Segenting apapun alasan dan logika yang dipakai tekait pemberlakuan jam malam dan penangkapan (oleh Hansip) terhadap pasangan muda-mudi yang tengah pacaran ini, bagi saya ini adalah bencana asmara yang akan berdampak sistemik dalam kehidupan percintaan, dan ruang gerak remaja yang semakin terpinggirkan.

Bayangkan, setelah Tim Kura-Kura Ninja, Tim Maleo, dan kini Tim 300 Hansip yang di siagakan 1 x 24 jam, bertugas menangkap remaja berpacaran di tempat umum, maka pengekangan apalagi yang akan diterapkan selanjutnya?.

Kenapa kota kecil yang diusung sebagai Kota Jasa, kemudian Smart City, dan Lipu Modarit Lipu Mosehat, tiba – tiba menyediakan 300 Hansip untuk menangkap pasangan berpacaran di malam hari?? Sungguh, saya bahkan nyaris bertanya pada Simsimi ketika sekonyong-konyong kehilangan nalar dan akal sehat setelah mengetahui kabar berita ini.

Maka dari itu, sekadar sumbang saran, bagi kaum jomblo yang sedang on fire mencari pasangan hidup, pun bagi yang sudah berpasang-pasangan dan sedang dilanda asmara, segeralah berkemas tinggalkan Kotamobagu dan Ayo ke Boltim. Apalagi yang perlu dibanggakan menjadi orang kota, ketika ruang gerak kalian semakin termarjinalkan, dan merasa terus tertindas oleh aturan ini-itu.

Kenapa harus ke Boltim? Sekalipun urusannya hanya untuk pacaran?

Ini yang harus kalian ketahui sebagai para pejuang asmara bahwa, pacaran adalah hal utama di usia hemok-hemok subur begini, dan merupakan hak semua orang, dan tak ada satu kekuasaan pun yang berhak melarangnya, tak terkecuali ki zebe no rongang. Sebab para pejuang tahu bahwa backstreet adalah sebuah relasi nonmainstream di bidang asmara. Dan yang mainstream adalah relasi yang alangkah datar-datar saja tanpa tantangan.

Kenapa Boltim? Sebab sampai hari ini Boltim menjamin kemerdekaan setiap orang berpacaran, baik siang maupun malam hari. Saya tidak perlu merilis lokasi-lokasi yang asik buat kalian pacaran. Nantilah kalian bisa merasakannya langsung setelah datang.  Sebab (Ekheeem) saya adalah salah satu pemandu ketimbang menjadi barisan pelarang berpangkat pengekang.

Maka rajutlah hubungan kalian yang sudah terkoyak oleh razia. Kumpul kembali benih dan remah-remah asmara yang paranoid dan kocar-kacir terjaring pukat aparat penegak moral.

Jika Paris dan menara Eifel terlampau jauh, maka Boltim adalah jawaban. Bukan semata karena di sini ada Gunung Ambang, Danau Mooat, Pantai Baret, Pantai Togid, Tutuyan, Tanjung Woka, The Ocean, Tanjung Kotabunan, dan penggalan surga seperti Bombuyanoi Island. Tetapi karena Kotamobagu sudah tak santai lagi seperti dulu. Maka, wahai kakaw-kak and dedew-dedew, Ayo ke Boltim dan silahkan Fall In Love.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun