Mohon tunggu...
Sudirta Lasabuda
Sudirta Lasabuda Mohon Tunggu... -

Dan hanya jika kau peka, maka akan sering kau sadari bahwa saya selalu ada disaat kau, kalian dan mereka serta manusia manusia lainnya sedang merasa tak mengenal saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan yang Membebaskan

2 Juli 2016   20:54 Diperbarui: 2 Juli 2016   21:00 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TENTU saya bukan seorang pendidik, dan tidak pula ahli dalam mendidik. Namun begitu, saya selalu sepakat bahwa, apa yang disebut dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Dan kita mesti sepakat pula bahwa pendidikan sangat diperlukan semua orang. Sebagaimana kaum jomblo membutuhkan pasangan.

Semua manusia, tak terkecuali kaum jomblo dan mereka yang sedang patah hati, tentu pernah mengalami dan menjalani apa yang disebut pendidikan. Entah ia sebagai pendidik maupun yang di didik seorang pendidik. Ironisnya, dewasa ini, orang seringkali melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Ibarat pasangan yang selalu lupa hal-hal kecil semacam; “Sayang sudah makan belum? Ayok aku traktir makan siang..”.

Maka sudah sepatutnya bahwa setiap orang, khususnya lagi yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan, senantiasa merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikan di tengah-tengah tindakan dan aksi, dalam dunia yang digelutinya serta melakukan tindakan dan aksi sebagai buah refleksinya. Seperti seorang pacar yang tak hanya manis dibibir tetapi pahit ditindakan.

Kita tahu bersama bahwa ada banyak definisi pendidikan, meski tak lebih banyak dari kaum jomblo yang tiap episode drama korea, selalu bertambah secara massal. Sehingga banyak pula pihak yang merasa perlu memberikan definisi.

Agar nampak seperti orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan, atau larut di antara tumpukan buku, maka saya hendak menukilkan di sini bahwa, pendidikan menurut pengertian bangsa Yunani, adalah pedagogik yang berarti ilmu menuntun anak. Sementara bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare dimana mengandung makna mengeluarkan dan menuntun serta merealisasikan potensi anak yang dibawa sejak ia dilahirkan di dunia. Sedangkan bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung, yang tidak jauh berbeda maknanya dengan educare yakni : membangkitkan atau mengaktifkan kekuatan/potensi terpendam seorang anak. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik). Dimana mengandung makna, memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pada umumnya, pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara didik.

Ki Hajar Dewantara mengemukakan arti dari pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Maka secara singkat, berdasarkan etimologi dan analisis diatas, pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan dimana ia tinggal.

Perlu diingat bahwa pendidikan merupakan proses yang terus menerus, dan tidak berhenti. Seperti seorang pacar yang terus menerus memberi cinta dan kasih sayang kepada pasangannya. Di dalam prosesnya, keluhuran martabat makhluk yang bernama manusia dipegang erat sebab manusia (mereka yang terlibat dalam pendidikan) adalah “subyek” dari pendidikan itu sendiri. Jika memperhatikan manusia itu sebagai subyek, dan pendidikan meletakkan manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah Otonomi Pribadi.

Artinya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yakni manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.

Lantas, apakah hasil pendidikan itu? Tentu saja menghasilkan perubahan pada subyek – subyek pendidikan itu sendiri. Bahasa sederhananya, perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tapi, jelas tidak hanya sedemikian sempit perubahan – perubahan yang akan terjadi. Bukankah perubahan – perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga?

Melalui pendidikan, manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak dapat terpisahkan dengan alam, lingkungan, dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan dapat mengarahkan manusia menjadi pribadi yang sadar diri dan sadar lingkungan. Berangkat dari kesadaran itu, sehingga manusia mampu memperbaharui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun