Sebuah pertanyaan yang cukup menyentak saya. Tete begitu jujur dan benar-benar menghargai saya dan teman-teman saya yang kebetulan sedang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata di sana mayoritas beragama Islam (mengingat agama Islam melarang penganutnya untuk mengkonsumsi babi). Sekali lagi, sebuah contoh pemimpin yang bisa kita tiru di dalam diri Tete.
***
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari dua cerita singkat diatas? Satu yang pasti menurut saya, toleransi. Ilmu toleransi mungkin kita pelajari di bangku sekolah dasar dulu, namun Tete yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali, lebih mengerti daripada kita. Tete berasal dari agama Kristen Protestan, agama mayoritas dari suku Marind. Bagaimana mungkin seorang Tete yang bahkan tidak pernah keluar dari tanah Sota seumur hidupnya, memliki jiwa kepemimpinan yang sangat arif dan jiwa toleransi yang amat besar?
Menjadi ironi terbesar bagi saya, ketika saya bahkan seakan “diajari” bagaimana seharusnya bersikap kepada sesama, baik itu dari golongan,ras, suku, dan agama yang sama dan berbeda. Pelajaran yang bahkan harus saya dapat di daerah paling ujung Indonesia. Pelajaran yang didapat dari seorang kepala adat Papua, yang hidup sangat sederhana, yang bahkan menggunakan sabun colek sebagai sabun mandi dan merasakan ketimpangan oleh pemerintah lokal setempat yang lebih membela masyarakat transmigran. Namun, beliau masih memilih negara yang melahirkannya, Indonesia. Beliau lebih memilih untuk mengajak masyarakatnya maju dengan mengembangkan kebudayaan lokal, dan mengajarkan pentingnya toleransi baik bagi warga suku setempat maupun pendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H