Pandangan nanar, sayu, kecapekan, ketakutan...jelas sekali terlihat di mata pengikut Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang rumahnya di bakar di Kab. Mempawah tepatnya di Motong Panjang. Jerih payah yang telah mereka lakukan selama ini untuk membangun sebuah kehidupan baru, hancur dalam sekian menit. Api telah melalap dan meluluhlantakkan rumah mereka. Kerumunan massa yang datang berbondong-bondong dengan segala praduga di otak mereka dan marah akhirnya diartikulasikan dengan membakar pemukiman masyarakat Gafatar. Selama ini mungkin masyarakat sekitar belum menyadari apa yang telah dilakukan oleh Gafatar. Masyarakat sebenarnya menginginkan proses pemindahan dan evakuasi Gafatar berjalan dengan lancar dan tanpa konflik, tetapi keadaan dilapangan penuh dengan dinamika, sehingga kejadian pembakaran adalah sebuah kejadian yang tak terduga.
Aparat untung dapat mengantisipasi kondisi ini, sehingga tidak terjadi korban jiwa diantara kedua pihak. Kita tidak boleh menyalahkan atas pembakaran yang terjadi, tetapi yang penting adalah bagaimana kejadian ini agar tidak terulang. Semua harus saling intropeksi diri. Menurut Din Syamsudin di Jakarta, 13 Januari 2016. "Gafatar membawa paham yang menyimpang dari agama-agama yang ada, khususnya Islam. Seperti tidak wajib salat, tidak wajib puasa, dan sebagainya. Tentu ini tidak bisa dibenarkan," (http://news.liputan6.com). Begitu pula dengan hasil wawancara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga sempat menanyakan soal ibadah yang dilakukan. Mayoritas mengaku beragama Islam namun tidak menjalankan salat, bahkan Udji juga mengatakan tidak ada yang salat di sana (detik.com). Tingkah laku yang menyimpang inilah yang membuat masyarakat menjustifikasi ajaran Gafatar ini sesat, atau tidak sesuai dengan Agama Islam, yang merupakan salah satu mayoritas agama di Indonesia.
Apabila di runut lebih awal, sebenarnya sudah sejak lama, organisasi Gafatar ini sudah dinyatakan tidak sesuai oleh Pemerintah. Tetapi organisasi ini menjadi lebih terkenal ketika seorang dokter bernama Rica Tri Handayani dan anaknya di Yogyakarta hilang sejak 30 Desember 2015. Orang jadi bertanya-tanya, seperti apakah organisasi ini, sehingga sampai mendegradasikan rasionalitas seorang dokter, yang identik dengan intelektualitas dan kematangan bertindak. Semakin lama dokter Rica tidak ditemukan, maka akan semakin penasaran rakyat Indonesia terhadap Gafatar. Rakyat berusaha mencari tahu tentang Gafatar dengan caranya, ada yang melalui koran, televisi, internet, dll. Tetapi akan sangat berbahaya apabila rakyat yang mendapat informasi dari gosip atau isu yang akurasi kebenarannya sangat dipertanyakan. Hal-hal yang diterima melalui gosip atau isu sangat mudah memantik kemarahan rakyat. Negara harus hadir untuk mengeliminasi berita-berita yang kurang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga kondusifitas masyarakat dapat terjaga.
Indonesia sangat beragam, baik suku, agama maupun ras . Apabila pemerintah dan kaum intelektual tidak dapat menjaga keberagaman ini maka akan dapat memunculkan konflik sosial yang cukup parah. Gafatar ini hanya salah satu keberagaman yang ada di bumi pertiwi, masih banyak keberagaman lain yang ada di bumi pertiwi. Kita harus cerdas mengelola keberagaman ini sehingga dapat mengurangi potensi konflik, baik vertikal maupun horisontal. Cara-cara persuasif harus gencar dilakukan untuk mendekati kelompok-kelompok yang berbeda, bukan dengan cara-cara represif yang akan semakin membawa dendam kesumat di hati mereka. Kepentingan asing akan sangat mudah menghancurkan Indonesia dengan cara saling membenturkan antar keberagaman.
Gafatar sebuah pelajaran berharga bagi kita, untuk saling meredam dan menjaga konflik. Sekarang pengungsi Gafatar ada dimana-mana dan akan dibalikkan ke daerah asal mereka. Mari kita menghargai dan memanusiakan mereka, bukan menganggap mereka sebagai musuh yang harus dijauhi, tetapi sebagai saudara yang telah pulang kembali. Perlakukan mereka apa adanya, dampingi mereka untuk memulai hidup baru, banyak dana yang sudah dipertaruhkan oleh mereka untuk pergi, dan kita yakin sekarang mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Bantuan dari kita, tidak harus berupa materi, tetapi dari cara perlakuan kita yang manusiawi terhadap mereka, itu yang lebih mereka butuhkan. Bangsa kita sangat terkenal dengan budaya gotong royong, saling menghargai dan menghormati, semoga budaya-budaya itu masih terjaga dengan baik, sehingga para anggota Gafatar cepat beradaptasi dan memulai kehidupan baru.
Kebhinekaan yang ada di Bumi Pertiwi bukan menjadikan kita saling memusuhi, tetapi harus dijadikan alat untuk memperkuat demokrasi. Gafatar mungkin salah satu episode sejarah kelam dalam buku keberagaman Indonesia. Tetapi sisi yang penting adalah Gafatar menjadi pelajaran kita, untuk selalu cepat mengantisipasi segala masalah sosial dan agama. Tidak mudah untuk memecahkan masalah sosial atau agama, tetapi minimal kita punya pengalaman dan pengetahuan bersama, cara mencari solusi konflik sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H