Deklarasi Balfour  1917 adalah sebuah pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris saat Perang Dunia I yang mengumumkan dukungan untuk "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina, yang saat itu merupakan sebuah kawasan Utsmaniyah dengan populasi minoritas Yahudi. Dukungan Inggris tersebut tertuang dalam sebuah pernyataan publik pada satu abad silam, tepatnya November 1917, yang ditandatangani oleh Menlu saat itu, Arthur Balfour, dan kini dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour, setelah dibahas tiga kali pada 3 September, 4 Oktober dan 31 Oktober 1917, disepakati saat Perang Dunia I (1914-1918) berlangsung. Perjanjian itu merupakan bagian dari kerangka mandat Pemerintah Inggris untuk Palestina yang baru direbut Kekaisaran Ottoman. Mandat tersebut mewajibkan negara yang kalah dalam Perang Dunia I (Jerman, Austria-Hungaria dan Kekaisaran Ottoman) memberikan seluruh kekuasaan wilayahnya kepada para pemenang, yakni Inggris dan sejumlah negara Sekutu lainnya seperti Perancis dan Italia.Â
Sejak mandat berlaku, Inggris mulai memfasilitasi perpindahan kaum Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922-1935, populasi Yahudi meningkat 9% menjadi hampir 27% dari total populasi di Palestina. Sejak itu, pendudukan Israel di wilayah itu pun terus meluas hingga hanya menyisakan Tepi Barat dan Jalur Gaza bagi warga Palestina.
Balfour menulisnya ketika menjadi Menteri Luar Negeri Inggris (1916-1919) pada pemerintahan koalisi zaman perang pimpinan PM David Lloyd George (1916-1922). Sebelum menjadi Menlu, Balfour adalah Perdana Menteri (1902-1905) dari Partai Konservatif. Balfour dikenal terlibat dalam perundingan yang mengakhiri Perang Dunia I dan menandatangani Perjanjian Versailles antara Sekutu dan Jerman, 1919. Surat Balfour itu dikirimkan kepada tokoh Zionis Inggris, Lionel Walter Rothschild atau Lord Walter Rothschild (1868-1937).Â
"Pandangan Pemerintah Yang Mulia mendukung pendirian di Palestina sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi dan akan menggunakan usaha terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, karena dipahami dengan jelas bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilakukan yang bisa merugikan hak-hak sipil dan hak-hak religius dari komunitas non-Yahudi yang sudah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain."
Alasan Inggris Mengeluarkan Deklarasi Tersebut
Deklarasi Balfour 1917 adalah janji Pemerintah Inggris untuk membantu komunitas Yahudi membangun "national home in Palestina." Sejarawan menyodorkan berbagai alasan Inggris mengeluarkan deklarasi itu. Alasan ini antara lain untuk mengamankan penguasaan Inggris atas wilayah dekat Terusan Suez yang penting, mencegah Jerman menjalin hubungan dengan gerakan Zionis, berharap gerakan Zionis di Rusia membujuk pemerintah mereka agara tetap berpihak pada Sekutu dalam Perang Dunia I, keyakinan pribadi PM David Lloyd George bahwa orang Yahudi dapat memberikan pemerintahan yang lebih baik ketimbang penduduk Arab, serta keyakinan religiusnya bahwa membantu warga Yahudi kembali ke Tanah Suci adalah sesuai rencana Tuhan, aktivitas diplomasi dan keterampilan pemimpin Zionis Chaim Weizmann, serta Inggris zaman perang dan Zionisme pascaperang memiliki kepentingan yang sama dan melihat deklarasi sebagai 'batu loncatan' untuk mewujudkan tujuan mereka.
Zionis Batal ke Kenya
Agustus 1903, para tokoh Zionis berkumpul di Basel, Swiss, dalam Kongres ke-6 Zionis Internasional. Salah satu pembicaraan mereka adalah wilayah yang hendak menjadi tanah air bagi orang Yahudi. Bapak Gerakan Zionis, Theodor Herzl, menawarkan daerah terpencil di Afrika sebagai tanah air Yahudi. Saat tawaran disampaikan, wilayah itu dinyatakan bagian dari Uganda. Kini kawasan itu masuk wilayah Kenya, negara di Afrika Timur. Tawaran Herzl itu ditolak oleh peserta kongres. Mereka tetap mendesak tanah air Yahudi harus berada di Palestina, sesuai keyakinan mengenai tanah yang dijanjikan.
Rencana tersebut sebearnya merupakan ide dari Menteri Urusan Kolonial Inggris, Joseph Chamberlain kepada Herzl. Lobi memang dilakukan oleh Herzl agar Inggris mendukung pembentukan negara Yahudi. Rencana Uganda adalah tawaran konkret pertama atas hasil lobi itu. Meski menolak tawaran itu, bukan berarti orang Yahudi berhenti melobi Inggris.Â
Pada Januari 1906, pemimpin Zionis, Chaim Weizmann, bertemu dengan Lord Arthur  James Balfour. Kala itu, Balfour baru beberapa pekan purnatugas sebagai Perdana Menteri Inggris. Namun, ia tetap menjadi salah satu politisi penting dengan jabatan Ketua Partai Konservatif dan pemimpin oposisi di parlemen.
Saat tuntutan itu disampaikan, populasi Yahudi di Palestina tidak sampai 10% dari keseluruhan penduduk di wilayah itu. Sebagian orang Yahudi di sana diusir oleh Kesultanan Turki Usmani, penguasa Palestina kala itu. Pengusiran ini membuat orang Yahudi semakin gencar melobi Inggris. Apalagi, mereka melihat tanda kekalahan Turki dalam Perang Dunia I. Belakangan, Turki memang kalah dan harus menyerahkan sebagian wilayahnya, termasuk Palestina, kepada negara-negara Sekutu. Inggris menjadi pemegang mandat di Palestina pada 1920 hingga 1948.
Dalam rapat pada 2 November 1917 di Kementerian Luar Negeri Inggris akhirnya diputuskan, Inggris berjanji mendukung penyediaan tanah air Yahudi yang dituliskan dalam Deklarasi Balfour 1917 tersebut. Sejak Deklarasi Balfour, berduyun-duyun warga Yahudi dari Eropa berimigrasi ke wilayah Palestina.Â
Saat negara Israel dideklarasikan pada 1948, sekitar 750.000 warga Arab Palestina mengungsi atau diusir dari kampung halaman dan 400 desa warga Arab Palestina dihancurkan. Inggris pun mengeluarkan regulasi yang membuka jalan bagi kemudahan imigrasi warga Yahudi dari mancanegara, khususnya Eropa, ke wilayah Palestina. Bahkan, Inggris ikut andil membentuk milisi Yahudi bersenjata guna mengantisipasi perlawanan warga Arab Palestina.
100 Tahun Deklarasi Balfour 1917
Pasca seabad Deklarasi Balfour itu, rakyat Palestina kini semakin kehilangan segalanya. Sebaliknya, negara Israel dan rakyatnya semakin berjaya dengan berbagai kemajuan. Untuk menandai 100 tahun Deklarasi tersebut, warga Palestina berunjuk rasa di jalan-jalan di Tepi Barat. Di Ramallah, 3000 orang berunjuk rasa dari pusat kota ke Kantor Konsulat Inggris. Mereka mengibarkan bendera hitam dan spanduk yang bertuliskan "100 Tahun Penyangkalan."
Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam artikel yang dimuat koran Inggris, The Guardian, menyatakan bahwa Inggris bertanggung jawab untuk mengembalikan keadilan di wilayah Palestina. Saatnya Inggris melakukan perannya untuk memulai langkah yang tepat menghentikan pendudukan, sebagaimana diperintahkan berbagai resolusi PBB dan hukum internasional. Resolusi itu termasuk pengakuan kedaulatan Palestina berdasarkan garis batas 1967 dengan ibu kota di Jerusalem Timur.
Disatu sisi, Perdana Menteri Inggris, Theresa May dan Benjamin Netanyahu bertemu dalam jamuan makan malam di kediaman resmi Perdana Menteri Inggris di London untuk merayakan 100 tahun Deklarasi Balfour. May mendesak Netanyahu menghentikan permukiman ilegal dan menyatakan Inggris tetap berkomitmen pada solusi dua negara. Sementara itu, Netanyahu menyatakan Palestina seharusnya menerima tanah air dan negara Yahudi. Jika hal itu terjadi, perdamaian bisa terwujud. Ia juga berharap proses perdamaian yang didorong Amerika Serikat operatif dan yakin Presiden Donald Trump dapat membawa Israel dan Palestina ke meja perundingan.
Referensi:
"Sepucuk Surat," Trias Kuncahyono, Kompas, 5 November 2017, hal. 4.
"Palestina, Seabad Deklarasi Balfour," Musthafa Abd Rahman, Kompas, 4 November 2017, hal. 8.
"Palestina Menggugat," Kompas, 3 November 2017, hal. 9.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H