Mohon tunggu...
Rahmadhona
Rahmadhona Mohon Tunggu... Administrasi - International Affairs Graduate

"and one day, a girl with book will the girl writing them.."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indo-Pasifik, Peradaban di Masa Depan

5 Desember 2016   18:32 Diperbarui: 5 Desember 2016   18:49 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sebagaimana diketahui, pusat ekonomi dan politik dunia sedang bergeser ke Indo-Pasifik. Wilayah ini telah melangkah ke babak baru geopolitik regional ditandai dengan banyaknya tumpang tindih konflik kepentingan. Hal tersebut tidak terlepas dari atribut Indo-Pasifik yang dilintasi jalur pelayaran utama dunia, yang juga kaya akan kandungan sumber daya alam, serta terdapat sejumlah ideologi yang berbenturan (seperti sekulerisme vs. negara Islam, kapitalisme-liberal vs. komunisme-otoritarian).  

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Asia yang spektakuler, meningkat pula intensitas interaksi antarkekuatan di Indo-Pasifik. Mereka antara lain, Amerika Serikat (AS), Australia, China, India, Jepang dan Korea Selatan. Istilah Indo-Pasifik pertama kali diperkenalkan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe pada saat menyampaikan pidatonya yang terkenal, Confluence of the Two Seas pada tahun 2007 di depan Parlemen India. Penggunaan istilah tersebut mengindikasikan semakin kuatnya peran strategis Samudra Hindia dan Pasifik dalam percaturan internasional, seiring dengan bergesernya pusat gravitasi politik dan ekonomi dunia dari daratan Eropa ke Asia. Dalam memahami arsitektur geopolitik Indo-Pasifik, yang penting untuk diketahui adalah bagaimana kecenderungan negara-negara besar bermain di kawasan. Tidak diragukan lagi kebangkitan China sangat bergantung pada terbukanya akses di Samudra Hindia dan Pasifik. 

Oleh karena itu, kehadiran China secara politik, ekonomi dan militer di Indo-Pasifik berdampak pada meningkatnya potensi konflik dengan para pemain lama di kawasan, seperti AS dan India. Sebagaimana hegemon dunia, tentu saja AS merasa paling terusik dengan kebangkitan China, khususnya kehadiran China di Indo-Pasifik. Dalam politik internasional modern, negara-negara yang kuat secara ekonomi dan militer cenderung ingin memiliki pengaruh dalam pengendalian akses atas sumber daya yang penting bagi negaranya, seperti energi (minyak, gas dan batubara) dan jalur transportasi komoditas (alur laut, pipa minyak, pipa gas, saluran listrik dan saluran komunikasi).

Pada tahun 2011, Presiden Barack Obama mencanangkan kebijakan Pivot to the Pacific, yang kemudian diperhalus menjadi Rebalancing to Asia. Sebagaimana kita ketahui, kebijakan tersebut pada dasarnya merupakan respons AS atas kebangkitan China. Wujud dari kebijakan ini adalah dengan memprioritaskan kawasan Indo-Pasifik sebagai pusat gravitasi politik dan ekonomi dunia abad ke-21, kembali ke dalam perencanaan politik, ekonomi, dan militer AS. Dalam pidatonya di depan Parlemen Australia pada bulan November 2011, dengan tegas Presiden Barack Obama mengatakan bahwa AS akan memainkan peran yang lebih besar dan untuk jangka panjang di Asia Pasifik. 

Tujuan utamanya adalah turut membentuk norma dan aturan di Asia Pasifik agar hukum dan norma internasional dapat ditegakkan, prinsip kebebasan berlayar (freedom of navigation) tidak terganggu, dan persengketaan wilayah antarnegara diselesaikan tanpa kekerasan. Secara garis besar, kebijakan Rebalancing to Asia dipicu oleh dua faktor: Pertama, fakta bahwa pusat pertumbuhan ekonomi dan militer tercepat di dunia saat ini berada di Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan (dikenal sebagai kawasan Indo-Pasifik), sehingga AS merasa perlu merubah kebijakan luar negerinya yang dulu terlalu fokus ke Eropa dan Timur Tengah. 

Kedua, fakta bahwa China saat ini merupakan salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Tidak aneh ketika hari ini militer China menjadi salah satu angkatan bersenjata terkuat di dunia. Sayangnya, kebangkitan ekonomi dan militer China diikuti pula oleh perubahan perilakunya yang cenderung agresif. Komitmen AS dengan kebijakan barunya Rebalancing to Asia, juga dibuktikan dengan penempatan 2.500 marinir di Darwin, Australia pada tahun 2012.

Di pihak lain, pada tanggal 3 Oktober 2013, Presiden China Xi Jinping secara resmi meluncurkan kebijakan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Untuk merealisasikan ambisinya, China berkomitmen menyediakan dana tidak kurang dari US$40-50 miliar untuk pembangunan infrstruktur, terutama pelabuhan laut di berbagai lokasi strategis sepanjang rute Lajur Sutra Maritim yang terbentang dari daratan China hingga ke Afrika dan Eropa. Seperti halnya jalur sutra pada masa lalu, 

Jalur Sutra Abad ke-21 juga memiliki dua aspek berikut: maritim dan darat, dimana China ingin mengintegrasikan jalur pelayaran maritim dengan jalur perdagangan darat yang diberikan istilah Satu Sabuk, Satu Jalan/ One Belt, One Road. Regionalisme ini diinisiasi dengan tawaran pembangunan infrastruktur transportasi, baik darat maupun laut yang tujuannya untuk memperlancar arus perdagangan antara China dan Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika.

Namun, disisi lain, konsep ini pun memiliki potensi negatif bagi kepentingan negara-negara Asia seperti Indonesia, misalnya, karena konsep jalur sutra maritim belum jelas. Ketidakjelasan dapat menimbulkan kecurigaan dan mispersepsi yang akan berimbas pada pelaksanaan kerja sama yang tidak lancar. Ditambah lagi, hal tersebut berpotensi besar menimbulkan permusuhan dengan negara lain (baca:rival China). Hal seperti itu pernah terjadi di Sri Lanka. Sri Lanka adalah negara kecil, namun memiliki geolokasi yang sangat strategis bagi kepentingan militer dan ekonomi China yang memerlukan pelabuhan-pelabuhan pendukung bagi jalur perdagangan dan militernya. 

Geolokasi Sri Lanka yang berada di selatan India memberikan kesempatan bagi China untuk menekan India dari selatan yang hingga saat ini masih memiliki sengketa perbatasan dengan China. Pada bulan September 2014, Presiden China Xi Jinping dan Presiden Sri Lanka kala itu, Mahinda Rajapaksa, menandatangani kerja sama pembangunan deep sea port di Kolombo yang dinamakan proyek Colombo Port City. 

Kedekatan China dan Sri Lanka berbuntut panjang. India yang merasa terancam oleh manuver China, bersikap negatif terhadap Sri Lanka. Di permukaan China menegaskan bahwa tujuan proyek ini adalah murni kepentingan ekonomi. Namun demikian, sudah bukan rahasia lagi apabila Pelabuhan Kolombo cukup sering digunakan sebagai fasilitas Angkatan Laut China di Samudra Hindia dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa dilepas dari nilai strategis Pelabuhan Kolombo bagi China. Sebuah perkembangan yang kurang menyenangkan bagi banyak pihak tentunya, terutama bagi AS dan India.

Politik Luar Negeri India pun sudah semakin meninggalkan sikap politik nonaliansi ala Jawaharlal Nehru. Pada era pemerintahan PM Narendra Modi, India terlihat lebih berani menunjukan hubungan yang lebih mesra dengan AS, terutrama di bidang pertahanan. Dinamika geopolitik menuntut India memiliki kekuatan ekstra dalam menghadapi China di utara dan Pakistan di barat terkait sengketa perbatasan dengan kedua negara pemilik senjata nuklir tersebut. Di Timur, India berbatasan dengan Bangladesh yang merupakan bekas wilayah India yang terpisah akibat berbagai perbedaan. Sementara itu, di selatan, India berbatasan dengan Sri Lanka yang tidak lain juga rival India.

Walaupun hubungan China dengan negara hegemon di Indo-Pasifik masih cukup baik terutama di sektor ekonomi, dan tanda-tanda pecah perang masih cukup jauh, namun negara-negara tersebut tampak sangat intensif mempersiapkan segala sesuatunya. Contoh-contoh diatas hanyalah sebagian kecil dan mendasar yang terjadi di Indo-Pasifik. Masih banyak kekuatan besar lainnya seperti Philipina dengan Presiden barunya, Korea Utara dengan nuklirnya, Korea Selatan dan Jepang yang semakin dekat dengan AS, serta negara-negara Asia Tenggara lainnya yang mulai memperlihatkan diri melalui angkatan bersebnjatanya di Laut China Selatan, contoh Indonesia. Walaupun tidak ingin terlibat dengan konflik tersebut, namun kebijakan Indonesia untuk aktif di Pulau Natuna dengan semua peralatan militernya berada disana merupakan contoh bahwa Indonesia pun merasa terancam dengan konflik di kawasan. 

Dengan berbagai persoalan yang terjadi di benua Eropa dan Timur Tengah, bukan tidak mungkin peradaban Indo-Pasifik mungkin sebentar lagi akan datang. Namun, melihat dari sejarah, Eropa dan AS bisa menjadi peradaban hegemoni setelah melewati 3 perang besar di dunia yaitu Perang Dunia 1, Perang Dunia 2 dan Perang Dingin. Mungkinkah sejarah akan berulang di Indo-Pasifik sebelum kawasan ini menjadi peradaban hegemoni selanjutnya?

Referensi:

- Untung Suropati, Yohanes Sulaiman, Ian Montratama, "Arungi Samudra Bersama Sang Naga: Sinergi Poros Maritim Dunia dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21" (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun