Mohon tunggu...
Dhiyauzzaman Saefi
Dhiyauzzaman Saefi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Tertarik pada bidang kreatif seperti Fiilmaker, Scriptwriter, copywriter, Designer, Videographer, Video Editor, ETC

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengayuh Harapan di Pelataran Malioboro

25 Desember 2024   11:56 Diperbarui: 26 Desember 2024   06:42 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pangkalan tukang becak di Malioboro (sumber: dok.pribadi)

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos yang penuh keringat membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

“Saya sudah sepuluh tahun jadi tukang becak,” ujarnya sembari melirik becak tuanya. “Awalnya berat, tapi lama-lama ya sudah terbiasa. Becak ini bukan cuma alat kerja, tapi sudah seperti teman setia.”

Bagi Pak Yarmuji, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang penuh perjuangan, namun sarat makna. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi dari rumahnya di pinggiran kota dan baru kembali larut malam. Perjalanan yang panjang itu memberikan kesempatan baginya untuk bertemu berbagai macam orang, mulai dari turis lokal hingga mancanegara.

“Saya sering antar wisatawan, terutama di Malioboro. Ada yang dari Jakarta, ada juga bule-bule dari Eropa. Mereka suka tanya-tanya soal Jogja,” ceritanya sambil tersenyum.

Tak hanya menjadi pengantar, Pak Yarmuji kerap kali menjadi pemandu wisata dadakan. Ia menceritakan keindahan Jogja dari sudut pandangnya—tentang Keraton, Taman Sari, hingga kuliner khas seperti gudeg. Baginya, berbagi cerita tentang Jogja adalah cara untuk menjaga kebudayaan daerahnya tetap hidup.

Namun, perjalanan sepuluh tahun ini tidak selalu mulus. “Kadang-kadang susah dapat penumpang, apalagi kalau musim hujan. Tapi ya namanya hidup, harus sabar,” katanya penuh keikhlasan.

Pak Yarmuji juga merasa pekerjaan ini membuatnya terus belajar. Ia belajar memahami orang lain, melatih kesabaran, dan tentu saja menjaga kesehatannya. “Mengayuh becak itu olahraga juga, jadi badan saya tetap bugar,” tambahnya dengan tawa kecil.

Di tengah kesibukannya, ia tetap merasa bangga dengan profesinya. Menurutnya, tukang becak adalah bagian dari identitas Jogja yang tidak boleh hilang. Ia berharap becak tetap menjadi pilihan transportasi ramah lingkungan di tengah perkembangan zaman.

“Selama becak ini masih bisa saya kayuh, saya akan terus bekerja. Jogja adalah rumah saya, dan becak ini adalah cara saya merawat rumah ini,” tutupnya dengan nada penuh keyakinan.

Di antara gemerlap Malioboro yang semakin modern, sosok seperti Pak Yarmuji adalah pengingat bahwa nilai-nilai lokal dan kesederhanaan masih menjadi jiwa kota ini. Ia bukan hanya seorang tukang becak, melainkan penjaga tradisi yang terus mengayuh harapan dan cerita di tengah hiruk pikuk Yogyakarta.

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos abu-abu yang membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

“Saya sudah sepuluh tahun jadi tukang becak,” ujarnya sembari melirik becak tuanya. “Awalnya berat, tapi lama-lama ya sudah terbiasa. Becak ini bukan cuma alat kerja, tapi sudah seperti teman setia.”

Pak Yarmuji memulai pekerjaannya sebagai tukang becak setelah berhenti dari pekerjaan sebelumnya di sebuah pabrik kecil. Keputusan itu diambil bukan tanpa alasan. “Waktu itu, pabrik tutup, dan saya harus cari jalan lain untuk menghidupi keluarga. Saya lihat becak ini masih punya peluang. Jadi, saya coba,” kenangnya.

Illustrasi tukang becak (sumber: dok. pribadi)
Illustrasi tukang becak (sumber: dok. pribadi)

Bagi Pak Yarmuji, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang penuh perjuangan, namun sarat makna. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi dari rumahnya di pinggiran kota dan baru kembali larut malam. Perjalanan yang panjang itu memberikan kesempatan baginya untuk bertemu berbagai macam orang, mulai dari turis lokal hingga mancanegara.

“Saya sering antar wisatawan, terutama di Malioboro. Ada yang dari Jakarta, ada juga bule-bule dari Eropa. Mereka suka tanya-tanya soal Jogja,” ceritanya sambil tersenyum.

Interaksi dengan para penumpang menjadi salah satu hal yang paling ia nikmati dari pekerjaannya. Pak Yarmuji kerap kali menjadi pemandu wisata dadakan. Ia menceritakan keindahan Jogja dari sudut pandangnya—tentang Keraton, Taman Sari, hingga kuliner khas seperti gudeg. Baginya, berbagi cerita tentang Jogja adalah cara untuk menjaga kebudayaan daerahnya tetap hidup.

“Kadang mereka tanya, ‘Pak, tempat makan enak di mana?’ atau ‘Ada tempat beli oleh-oleh yang murah enggak?’ Saya kasih tahu yang saya tahu. Saya senang kalau mereka puas,” ujarnya.

Selain wisatawan, Pak Yarmuji juga sering mengantarkan warga lokal, termasuk pedagang di sekitar Malioboro. Hubungan baik dengan pelanggan membuatnya merasa menjadi bagian dari komunitas. “Di sini, kami saling kenal. Kalau ada yang butuh becak, biasanya mereka panggil saya. Jadi, seperti keluarga besar,” katanya.

Namun, perjalanan sepuluh tahun ini tidak selalu mulus. “Kadang-kadang susah dapat penumpang, apalagi kalau musim hujan. Tapi ya namanya hidup, harus sabar,” katanya penuh keikhlasan.

Saat musim sepi wisatawan, penghasilannya sering kali menurun drastis. Bahkan, di masa pandemi beberapa tahun lalu, ia sempat kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Waktu itu berat sekali. Malioboro sepi, hampir tidak ada turis. Saya harus cari cara lain, seperti bantu angkut barang atau kerja serabutan,” kenangnya dengan nada serius.

Meskipun demikian, ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang becak. Baginya, pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. “Setiap pekerjaan pasti ada susah dan senangnya. Yang penting kita tetap usaha dan berdoa,” tuturnya bijak.

Selain tantangan ekonomi, kesehatan juga menjadi perhatian utama. Mengayuh becak sepanjang hari tentu membutuhkan stamina yang kuat. Pak Yarmuji menyadari pentingnya menjaga tubuh tetap sehat agar bisa terus bekerja. “Mengayuh becak itu olahraga juga, jadi badan saya tetap bugar,” tambahnya dengan tawa kecil.

Di tengah kesibukan kota yang semakin modern, Pak Yarmuji tetap merasa bangga dengan profesinya. Menurutnya, tukang becak adalah bagian dari identitas Jogja yang tidak boleh hilang. “Becak itu salah satu ciri khas Jogja. Kalau hilang, nanti Jogja kehilangan salah satu daya tariknya,” ujarnya penuh semangat.

Ia mengakui bahwa modernisasi telah membawa perubahan besar di Malioboro. Kehadiran transportasi online dan kendaraan listrik mulai menggeser peran becak sebagai alat transportasi utama. Namun, ia percaya bahwa becak tetap memiliki tempat di hati masyarakat dan wisatawan.

“Banyak turis yang justru cari becak karena ingin merasakan pengalaman tradisional. Mereka bilang, naik becak itu lebih santai dan bisa menikmati suasana kota,” katanya.

Selain itu, ia juga melihat becak sebagai transportasi ramah lingkungan yang masih relevan di era modern. “Becak enggak pakai bahan bakar, jadi lebih ramah lingkungan. Ini juga salah satu alasan saya tetap memilih pekerjaan ini,” tambahnya.

Pak Yarmuji memiliki harapan besar untuk masa depan becak di Jogja. Ia berharap pemerintah dan masyarakat tetap mendukung keberadaan becak sebagai bagian dari budaya lokal. “Selama becak ini masih bisa saya kayuh, saya akan terus bekerja. Jogja adalah rumah saya, dan becak ini adalah cara saya merawat rumah ini,” tutupnya dengan nada penuh keyakinan.

Tak hanya untuk dirinya sendiri, ia juga berharap generasi muda mau melanjutkan profesi ini. “Kalau anak muda mau jadi tukang becak, itu bagus. Tapi harus ada inovasi, mungkin becak bisa dibuat lebih nyaman atau menarik untuk wisatawan,” usulnya.

Pak Yarmuji juga bercita-cita melihat becaknya suatu hari nanti dihias dengan ornamen khas Jogja, seperti batik atau wayang. “Becak ini bisa jadi ikon budaya kalau dikembangkan dengan baik,” ujarnya penuh optimisme.

Di antara gemerlap Malioboro yang semakin modern, sosok seperti Pak Yarmuji adalah pengingat bahwa nilai-nilai lokal dan kesederhanaan masih menjadi jiwa kota ini. Ia bukan hanya seorang tukang becak, melainkan penjaga tradisi yang terus mengayuh harapan dan cerita di tengah hiruk pikuk Yogyakarta.

Cerita Pak Yarmuji memberikan pelajaran berharga tentang keikhlasan, ketekunan, dan cinta pada budaya. Dalam kesederhanaannya, ia telah menjadi bagian penting dari wajah Jogja yang selalu dirindukan. Begitulah Pak Yarmuji, dengan setiap kayuhan becaknya, ia terus membawa harapan dan melestarikan warisan yang tidak ternilai harganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun