“Saya sudah sepuluh tahun jadi tukang becak,” ujarnya sembari melirik becak tuanya. “Awalnya berat, tapi lama-lama ya sudah terbiasa. Becak ini bukan cuma alat kerja, tapi sudah seperti teman setia.”
Pak Yarmuji memulai pekerjaannya sebagai tukang becak setelah berhenti dari pekerjaan sebelumnya di sebuah pabrik kecil. Keputusan itu diambil bukan tanpa alasan. “Waktu itu, pabrik tutup, dan saya harus cari jalan lain untuk menghidupi keluarga. Saya lihat becak ini masih punya peluang. Jadi, saya coba,” kenangnya.
Bagi Pak Yarmuji, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang penuh perjuangan, namun sarat makna. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi dari rumahnya di pinggiran kota dan baru kembali larut malam. Perjalanan yang panjang itu memberikan kesempatan baginya untuk bertemu berbagai macam orang, mulai dari turis lokal hingga mancanegara.
“Saya sering antar wisatawan, terutama di Malioboro. Ada yang dari Jakarta, ada juga bule-bule dari Eropa. Mereka suka tanya-tanya soal Jogja,” ceritanya sambil tersenyum.
Interaksi dengan para penumpang menjadi salah satu hal yang paling ia nikmati dari pekerjaannya. Pak Yarmuji kerap kali menjadi pemandu wisata dadakan. Ia menceritakan keindahan Jogja dari sudut pandangnya—tentang Keraton, Taman Sari, hingga kuliner khas seperti gudeg. Baginya, berbagi cerita tentang Jogja adalah cara untuk menjaga kebudayaan daerahnya tetap hidup.
“Kadang mereka tanya, ‘Pak, tempat makan enak di mana?’ atau ‘Ada tempat beli oleh-oleh yang murah enggak?’ Saya kasih tahu yang saya tahu. Saya senang kalau mereka puas,” ujarnya.
Selain wisatawan, Pak Yarmuji juga sering mengantarkan warga lokal, termasuk pedagang di sekitar Malioboro. Hubungan baik dengan pelanggan membuatnya merasa menjadi bagian dari komunitas. “Di sini, kami saling kenal. Kalau ada yang butuh becak, biasanya mereka panggil saya. Jadi, seperti keluarga besar,” katanya.
Namun, perjalanan sepuluh tahun ini tidak selalu mulus. “Kadang-kadang susah dapat penumpang, apalagi kalau musim hujan. Tapi ya namanya hidup, harus sabar,” katanya penuh keikhlasan.
Saat musim sepi wisatawan, penghasilannya sering kali menurun drastis. Bahkan, di masa pandemi beberapa tahun lalu, ia sempat kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Waktu itu berat sekali. Malioboro sepi, hampir tidak ada turis. Saya harus cari cara lain, seperti bantu angkut barang atau kerja serabutan,” kenangnya dengan nada serius.
Meskipun demikian, ia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang becak. Baginya, pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya. “Setiap pekerjaan pasti ada susah dan senangnya. Yang penting kita tetap usaha dan berdoa,” tuturnya bijak.
Selain tantangan ekonomi, kesehatan juga menjadi perhatian utama. Mengayuh becak sepanjang hari tentu membutuhkan stamina yang kuat. Pak Yarmuji menyadari pentingnya menjaga tubuh tetap sehat agar bisa terus bekerja. “Mengayuh becak itu olahraga juga, jadi badan saya tetap bugar,” tambahnya dengan tawa kecil.