Mohon tunggu...
Dhiyauzzaman Saefi
Dhiyauzzaman Saefi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Tertarik pada bidang kreatif seperti Fiilmaker, Scriptwriter, copywriter, Designer, Videographer, Video Editor, ETC

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengayuh Harapan di Pelataran Malioboro

25 Desember 2024   11:56 Diperbarui: 26 Desember 2024   06:42 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi tukang becak (sumber: dok. pribadi)

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos yang penuh keringat membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

“Saya sudah sepuluh tahun jadi tukang becak,” ujarnya sembari melirik becak tuanya. “Awalnya berat, tapi lama-lama ya sudah terbiasa. Becak ini bukan cuma alat kerja, tapi sudah seperti teman setia.”

Bagi Pak Yarmuji, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang penuh perjuangan, namun sarat makna. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi dari rumahnya di pinggiran kota dan baru kembali larut malam. Perjalanan yang panjang itu memberikan kesempatan baginya untuk bertemu berbagai macam orang, mulai dari turis lokal hingga mancanegara.

“Saya sering antar wisatawan, terutama di Malioboro. Ada yang dari Jakarta, ada juga bule-bule dari Eropa. Mereka suka tanya-tanya soal Jogja,” ceritanya sambil tersenyum.

Tak hanya menjadi pengantar, Pak Yarmuji kerap kali menjadi pemandu wisata dadakan. Ia menceritakan keindahan Jogja dari sudut pandangnya—tentang Keraton, Taman Sari, hingga kuliner khas seperti gudeg. Baginya, berbagi cerita tentang Jogja adalah cara untuk menjaga kebudayaan daerahnya tetap hidup.

Namun, perjalanan sepuluh tahun ini tidak selalu mulus. “Kadang-kadang susah dapat penumpang, apalagi kalau musim hujan. Tapi ya namanya hidup, harus sabar,” katanya penuh keikhlasan.

Pak Yarmuji juga merasa pekerjaan ini membuatnya terus belajar. Ia belajar memahami orang lain, melatih kesabaran, dan tentu saja menjaga kesehatannya. “Mengayuh becak itu olahraga juga, jadi badan saya tetap bugar,” tambahnya dengan tawa kecil.

Di tengah kesibukannya, ia tetap merasa bangga dengan profesinya. Menurutnya, tukang becak adalah bagian dari identitas Jogja yang tidak boleh hilang. Ia berharap becak tetap menjadi pilihan transportasi ramah lingkungan di tengah perkembangan zaman.

“Selama becak ini masih bisa saya kayuh, saya akan terus bekerja. Jogja adalah rumah saya, dan becak ini adalah cara saya merawat rumah ini,” tutupnya dengan nada penuh keyakinan.

Di antara gemerlap Malioboro yang semakin modern, sosok seperti Pak Yarmuji adalah pengingat bahwa nilai-nilai lokal dan kesederhanaan masih menjadi jiwa kota ini. Ia bukan hanya seorang tukang becak, melainkan penjaga tradisi yang terus mengayuh harapan dan cerita di tengah hiruk pikuk Yogyakarta.

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos abu-abu yang membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun