Dhiyaul Aulia
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia sejak 2020 sedang menghadapi virus yang telah banyak menelan korban jiwa. Pada 31 Desember 2019, di China terdapat kasus pneumonia di Kota Wuhan. Pada 7 Januari 2021, China mengeluarkan statement bahwa penyakit ini adalah jenis baru coronavirus. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa nama resmi virus ini adalah Covid-19, jumlah kasusnya terus berkembang dan menyebar dengan sangat cepat. Yang pada awalnya hanya muncul di Kota Wuhan, menyebar sampai ke negara lain selain China, Indonesia merupakan salah satu dari beberapa negara yang terserang Covid-19. Pada awal Covid-19 muncul di Indonesia karena terdapat dua orang yang dinyatakan positif telah terjangkit virus tersebut pada tanggal 2 Maret 2020, dua orang ini merupakan ibu dan anak yang berusia 64 dan 31 tahun. Serelah ditelusuri, ibu dan anak tersebut positif terjangkit Covid-19 karena mereka melakukan kontak dengan warga negara Jepang saat berada di Malaysia, kemudian ibu dan anak ini merasakan sakit seperti flue dan mereka pergi ke salah satu rumah sakit di daerah Depok. Setelah diperiksa, ibu dan anak ini hanya diminta rawat jalan, namun setelah beberapa hari sakitnya tak kunjung sembuh maka mereka kembali pergi kerumah sakit. Dua hari kemudian, ibu dan anak ini dikabari bahwa temannya yang warga Jepang tadi dinyatakan positif terjangkit virus corona, ibu dan anak ini segera melakukan swab test dan mereka dinyatakan positif terjangkit virus corona.
Presiden Joko Widodo mengadakan siaran pers mengenai dua kasus positif Covid-19 di Indonesia. Kasusnya semakin berkembang pesat, pada akhir maret 2020 kasus positif Covid-19 mencapai lebih dari 1000 orang dan kasus meninggal mencapai lebih dari 700 orang. Karena meningkatnya kasus positif Covid-19 di Indonesia maka pemerintah pusat menerapkan berbagai kebijakan untuk dapat menekan angka penyebaran Covid-19 di Indonesia, salah satu kebijakannya adalah memerintahkan para pemilik usaha untuk bekerja dari rumah atau yang biasa disebut Work From Home (WFH), sedangkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) memerintahkan kepada segala institusi pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai perguruan tinggi untuk segera menerapkan kegiatan pembelajaran dari rumah. Dari pertengahan Maret 2020, Gedung sekolah yang biasanya digunakan sebagai sarana belajar mengajar metode tatap muka, terpaksa ditutup dan melakukan pembelajaran dari rumah.
Dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), kegiatan belajar mengajar dilangsungkan menggunakan media internet atau yang terkenal dengan pembelajaran online. Sebenarnya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti ini bukan merupakan hal yang baru dalam dunia pendidikan, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sudah ada di Amerika Serikat sejak tahun 1892. Sebelum adanya pandemi ini, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) masih terbilang jarang digunakan oleh instansi pendidikan karena metode tatap muka dianggap lebih optimal dalam pembelajaran. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) memiliki kelebihan dan kekurangan yang berdampak pada jutaan pelajar. Kelebihannya adalah masyarakat terhindar dari bahaya virus yang ada saat ini karena mengurangi kontak langsung dengan orang lain, dapat diakses dengan mudah karena cukup menggunakan alat elektronik kita dapat mengakses materi kapanpun dimanapun, waktu belajar yang fleksibel, dan masih banyak lagi kelebihan dari Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Namun, dari kelebihan-kelebihan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah disebutkan tadi, terdapat pula kekurangan yang cukup meresahkan masyarakat yaitu permasalahan kesenjangan sosial antara pelajar dari keluarga mampu dan kurang mampu. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat dan mengetahui problematika yang dihadapi oleh masyarakat terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
BAGIAN TEMUAN
Sejak berlakunya kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), banyak orang tua yang mengeluh mengenai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, seperti kesulitan mengakses jaringan internet, kesulitan dalam biaya membeli kuota, tidak memiliki gadget, beban orang tua bertambah dan keluhan lainnya. Pembelajaran yang mulanya pemeran utamanya adalah guru, kini berpindah menjadi orang tua lah yang memegang peran utama dalam mendampingi murid untuk belajar dirumah. Banyak orang tua yang mengeluh karena kesulitan untuk membagi waktu antara mengurus pekerjaan rumah, mendampingi anaknya belajar dirumah, dan bekerja. Kelemahan dari Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang muncul adalah tidak semua murid memiliki rasa tanggung jawab untuk belajar secara mandi, menggunakan alat yang baru mereka kenal dan tidak semua mampu beradaptasi akan hal tersebut. Banyak murid yang justru menganggap bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini merupakan liburan bagi mereka, karena pembelajaran dilaksanakan menggunakan gadget, murid justri memanfaatkannya untuk bermain game. Tidak hanya pelajar, guru juga merasakan kesulitan yang sama, banyak juga guru yang tidak mengerti cara menggunakan aplikasi-aplikasi yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, guru yang kesulitan mengakses internet karena tinggal dipedalaman, bahkan guru yang tidak memiliki gadget untuk mengajar. Misalnya pelajar atau guru yang berada di daerah-daerah terpencil, mereka harus menjadi "korban" dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Jam kerja guru pun yang mulanya sudah pasti, selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) jam kerja seorang guru pun menjadi lebih fleksibel. Hal lain yang harus dirasakan oleh guru juga adalah mereka harus mengubah strategi pembelajaran yang awalnya luring menjadi daring.
Yang terlihat jelas adalah kesenjangan pendidikan yang terdapat di daerah pedesaan, dimana sebelum adanya kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pun di pedesaan sudah sangat terlihat kesenjangan dalam berbagai aspek salah satunya pendidikan. Seperti fasilitas yang kurang layak, tenaga pendidik yang kurang, hal ini diperparah ketika berlakunya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang menjadi masalah yang cukup besar bagi dunia pendidikan. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, masalah yang dihadapi seperti wilayah yang tidak terjangkau oleh jaringan internet, ketidaksanggupan untuk membeli kuota dan gadget untuk menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Maka beberapa faktor penyebab terjadinya kesenjangan dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yaitu:
- Sulitnya mengakses internet bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil
Permasalahan utama dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) salah satunya yaitu sulit untuk mengakses internet terutama pada masyarakat yang tinggal di pedesaan atau daerah terpencil. Hal ini dapat dialami oleh guru maupun murid, dimana Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilakukan secara online yang tentunya menggunakan internet untuk menunjang pelajaran. Ketika guru dan murid tidak bisa mengakses internet maka ini tentunya menjadi permasalahan yang cukup besar. - Tidak semua guru dan murid memiliki peralatan yang menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
Kita dapat melihat kesenjangan yang cukup jelas pada hal ini, dimana tentunya masyarakat yang memiliki perekonomian yang cukup akan mampu untuk membeli peralatan yang menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti gadget, kuota, dan lain-lain. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki perokonomian yang kurang, akan ada kesulitan untuk membeli peralatan yang menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), jangankan untuk membeli peralatan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari pun mereka kesulitan.