Mohon tunggu...
Dhiyaulhaq Syahrial Ramadhan
Dhiyaulhaq Syahrial Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Family Law

Kenali lebih dekat @dhiyaaul.haq

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Nushuz Hanya untuk Perempuan? Laki-laki Juga Bisa!

5 Desember 2023   19:02 Diperbarui: 23 Januari 2024   12:48 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Perjalanan suatu bahtera rumah tangga tidak selalu berjalan mulus, damai dan menyenangkan. Berbagai masalah sering kali timbul dalam keluarga yang tidak bisa dijauhi, seperti adanya pertengkaran yang dapat mengancam keharmonisan sebuah rumah tangga, perseteruan, cekcok, hingga kekerasan, terutama ketika pasangan suami istri tidak mau saling memahami dan berselisih paham.

Oleh karena itu, suami istri wajib dapat mengatasi semua masalah rumah tangga dengan kebijaksanaan dan penilaian yang baik, tanpa saling menyalahkan dan dengan membiasakan saling menasehati dan menghormati. Salah satu problem pasangan suami istri yang sering dihubungkan dengan tafsir al-Qur'an yaitu nushuz

Pengertian Nushuz

Secara bahasa, nushuz ialah bentuk masdar dari nashaza-yanshuzu, yang menyiratkan tanah yang menjulang tinggi. nushuz berarti tempat yang tinggi. Nushuz juga diartikan dengan sesuatu yang menonjol dari suatu tempatnya. Jika konteksnya berhubungan dengan hubungan suami-istri, maka sikap istrilah yang durhaka, menentang, dan memusuhi pasangannya.

Secara istilah, nushuz diartikan dengan maksiat yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya pada apa-apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya untuk ditaati, sehingga ia seolah mengangkat dan meninggikan dirinya di hadapan suami.

Ibnu Katsir dan Muhammad Ali al-Shabuni menafsirkan yang dimaksud dengan istri nushuz adalah seorang istri yang merasa lebih tinggi dari suaminya dengan tidak mematuhi perintahnya, menjauhinya, dan tidak menyukainya adalah sombong. Tak jauh berbeda dengan Ulama tafsir, Ulama fiqh juga mendefinisikan istri nushuz adalah meninggalkan kewajiban sebagai seorang istri, seperti keluar rumah tanpa izin, tidak mau beribadah, menolak hubungan seksual, dan lainnya.

Definisi nushuz diatas menjelaskan bahwa Nushz sangat identik dengan perilaku durhaka istri terhadap suaminya. Padahal nushuz juga berlaku kepada suami.

Konsep Nushuz Perspektif Qira'ah Mubadalah.

     Kata Qira'ah secara etimologi bermakna bacaan. Sedangkan secara terminologi bermakna ilmu yang mempelajari tata cara pelafalan terhadap redaksi al-Qur'an dan divergensinya yang disandarkan pada perawi-perawinya. Kata Mubadalah berasal dari bahasa arab mubdalatan yang berasal dari tiga kata badala yang memiliki arti mengubah, menukar, dan mengganti. Pada hakikatnya kata Mubdalah merupakan bentuk mufa'alah atau kesalingan dan musyarakah (kerjasama antar dua pihak) yang berarti saling mengubah, saling menukar, saling mengganti satu sama lain.

Pada umumnya nushuz diartikan dengan bentuk pembangkangan istri terhadap suami. Pemaknaan nushuz ini seakan hanya satu arah, seakan hanya seorang istri yang membangkang. Dalam praktiknya, ketidaktaatan terjadi baik dari sudut pandang istri maupun suami. Di dalam al-Qur'an, nushuz dibahas dalam dua sudut pandang, nushuz istri terhadap suami (QS. an-Nisa' [4]: 34) dan nushuz suami terhadap istri (QS. an-Nisa' [4]: 128).

Dalam kacamata Mubadalah, nushuz ialah antonim dari taat. Segala perbuatan negatif dalam hubungan suami istri yang dapat merusak ikatan di antara mereka dan menjauhkan mereka dari sakinah, mawaddah, dan rahmah. Taat dan nushuz bersifat resiprokal, Suami dan istri diharuskan membuat komitmen bersama untuk membawa kebajikan ke dalam rumah (jalbu al-mashalih) dan menghindari kejahatan (dar'u al-mafsid).

Secara literal (QS. an-Nisa' [4]: 128) membahas mengenai suami yang berperilaku nushuz suami terhadap istri. nushuz suami disini diartikan suami tidak tertarik lagi dengan istrinya maupun suami memiliki ketertarikan kepada perempuan lain. Apabila menggunkan perspektif Mubadalah, esensinya adalah adanya kekhawatiran dalam sebuah relasi suami istri. Terdapat pihak yang sudah tidak memiliki rasa nyaman serta mau berpindah kelain hati. Baik dilakukan oleh suami maupun istri.

Ayat nushuz yang kedua adalah (QS. an-Nisa' [4]: 34) Secara literal, ayat ini dinishbatkan kepada istri yang membangkang dari ikrar pernikahan yakni saling melayani dan mengasihi terhadap suami. Secara resiprokal, menurut Faqihuddin dalam kacamata Mubdalah, suami juga bisa menjadi objek melakukan nushz terhadap istri. Karena rasa kekhawatiran dalam sebuah relasi suami istri tidak hanya rasa khawatir suami terhadap istri akan berbuat nushz akan tetapi istri juga merasakan kekhawatiran terhadap suami akan berbuat nushuz.

Konsep Penyelesaian Nushuz Perspektif Qira'ah Mubadalah.

Dalam QS. an-Nisa' ayat 34, penyelesaian yang harus ditempuh apabila istri melakukan Nushz terdapat tiga solusi tahapan penyelesaian, yakni solusi memberikan nasihat, Meninggalkan istri di tempat tidur, dan memukul. Menurut pendapat Imam Syafi'i yang dikutip oleh ar-Razi kalau ketiga solusi penyelesaian tersebut harus dilaksanakan dengan sistematis dan solusi memukul ini merupakan solusi terakhir solusi terakhir setelah menasihati dan meninggalkan istri di tempat tidur

Solusi penyelesaian nushuz suami yang tertuang dalam QS. an-Nisa' ayat 128 yakni istri dianjurkan untuk mengajukan perdamaian dengan cara melepas sebagian atau seluruh haknya dari suami. Buya Hamka berpendapat bahwa jika seorang istri merasa cemas dan takut ketika melihat perubahan sikap suaminya atau jika dia memalingkan hati dari suaminya karena kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena dapat membahayakan stabilitas keutuhan keluarga, maka ia dapat mengambil tindakan untuk mencari penyelesaian dengan menghubungi suaminya sesegera mungkin dalam upaya mencari jalan perdamaian. Mungkin melibatkan interaksi tatap muka atau keluarga.

Qira'ah Mubadalah memberikan solusi pada QS. an-Nisa' ayat 128 apabila terdapat perilaku nushz, yaitu:

Shulh (perdamaian), Rekonsiliasi antara suami dan istri agar mereka kembali pada komitmen bersama sebagai pasangan yang saling mendukung dan menyayangi. Solusi perdamaian ini merupakan win-win solution antara pasangan suami istri.

Ihsan (berbuat baik), dengan cara meningkatkan perbuatan baik kepada pasangan yang dilakukan oleh keduanya.

Takwa (menjaga diri), Solusi terakhir adalah takwa, kedua belah pihak harus menahan diri dari pernyataan, sikap, dan perilaku negatif terhadap rekan mereka dan membentengi tekad mereka.

Ayat 128 ini berlaku untuk nushuz seorang suami ataupun istri. Sehingga ayat tersebut menjadi standar dan pedoman untuk menafsirkan ayat selanjutnya (QS. an-Nisa' [4]: 34) tentang nushuz istri terhadap suami.

Sebagaimana tertuang dalam ayat 34, penyelesaian yang harus ditempuh apabila istri melakukan nushz terdapat tiga solusi tahapan penyelesaian, yakni solusi memberikan nasihat (fa'izhuhunna), apabila istri tetap membangkang, maka suami hendaknya mendiamkan istrinya di tempat tidur (wahjuruhunna fi al-madhaji'), apabila istri tetap berbuat nushz suami berhak untuk memukulnya (wadhribuuhunna).

Ulama kontemporer bernama Ibnu Asyur memberikan argumentasi bahwa diperbolehkan memukul supaya dapat mengembalikan hubungan menjadi baik. Akan tetapi, jika "memukul" digunakan untuk menimbulkan rasa sakit dan tidak dapat memperbaiki hubungan, maka hukum memukul adalah mamnu'. Bahkan Ibnu Asyur memberikan usul agar Negara mengeluarkan Undang-Undang yang melarang perbuatan memukul yang dilakukan oleh suami kepada istri.

Menurut Faqihuddin Abdul Kodir apabila dilihat dalam kacamata Mubadalah, pemukulan dan segala jenis kekerasan tidak direkomendasikan dalam penyelesaian persoalan hubungan suami istri. Ibnu Hajar al-'Asqalani berkata, dengan dalih dapat memperbaiki hubungan antara suami dan istri, pemukulan justru dapat memperkeruh relasi suami istri dan melahirkan rasa sakit hati dan kebencian. Pemukulan sangat bertentangan dengan pilar pernikahan, yaitu berpasangan (zawaj) yang saling berbuat baik satu sama lain (mu'asyarah bil ma'ruf).

Nasihat (fa'izhuhunna) dan pisah ranjang (wahjuruhunna fi al-madhaji') adalah sebuah tahapan dan proses untuk berdamai (shulh) sebagaimana telah di jelaskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir pada surat an-Nisa' ayat 128 diatas. Ayat ini juga ditekankan betapa pentingnya berbuat baik yang simultan (ihsan) antara suami dan istri, dan menjaga diri (takwa) dari penyimpangan yang dapat merusak relasi suami istri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun