Mohon tunggu...
Dhiya UlHaqqi
Dhiya UlHaqqi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Ngobrol

Psikologi Industri Organisasi, Psikologi Sosial Budaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Diderot Effect, antara Kebutuhan Fisiologis atau Lingkaran Setan

26 Juli 2023   12:05 Diperbarui: 8 Agustus 2023   11:33 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diderot Effect adalah fenomena psikologis yang menggambarkan bagaimana memperoleh suatu barang baru dapat memicu perubahan dalam pola konsumsi dan kebutuhan seseorang. 

Fenomena ini dinamai berdasarkan nama filsuf abad ke-18, Denis Diderot, yang secara tidak sengaja menemukan efek ini dalam kehidupan pribadinya.

Pada tahun 1765, Diderot menerima hadiah berupa mantel mewah sebagai hadiah dari seorang teman dekatnya. 

Sebelumnya, ia hidup dalam kemiskinan relatif dan tinggal di apartemen sederhana yang bersahaja. Namun, ketika ia menerima mantel baru yang mewah tersebut, sesuatu yang menarik terjadi dalam kehidupannya.

Diderot merasa bahwa mantel barunya tidak sesuai dengan furnitur dan barang-barang lain di apartemennya yang sederhana. 

Mantel mewah tersebut menjadi "pencolok" di tengah-tengah barang-barang yang sederhana, dan hal itu menyebabkan ia merasa perlu untuk meningkatkan gaya hidupnya agar sejalan dengan mantel barunya yang elegan. 

Karena itu, ia mulai membeli barang-barang baru dan mahal lainnya untuk mencocokkan dengan status mantelnya. 

Proses ini akhirnya membawa Diderot pada spiral konsumsi yang tidak terduga dan menguras keuangannya, sehingga ia justru berakhir dalam lebih banyak utang.

Kisah Diderot inilah yang menjadi dasar fenomena yang kemudian dikenal sebagai Diderot Effect. Sejak saat itu, konsep ini telah menjadi bidikan perhatian dalam psikologi konsumen dan perilaku ekonomi. 

Fenomena ini telah terbukti relevan dalam kehidupan modern, di mana kemajuan teknologi dan konsumerisme semakin mempengaruhi bagaimana kita memandang kebutuhan dan keinginan kita.

Diderot Effect mengingatkan kita akan dampak psikologis dari konsumsi dan bagaimana kepemilikan sesuatu yang baru dapat merangsang dorongan untuk mencari lebih banyak hal baru, bahkan ketika sebelumnya kita merasa puas dengan apa yang telah kita miliki. Hal ini mencerminkan kompleksitas manusia dalam berurusan dengan materialisme dan memberikan wawasan yang berharga tentang cara menghadapi konsumerisme yang terus berkembang di dunia saat ini.

Secara rinci, ketika seseorang mendapatkan barang baru yang memiliki nilai atau kualitas jauh lebih tinggi dari barang-barang yang dimiliki sebelumnya, perasaan ketidakcocokan muncul. 

Barang baru tersebut menjadi "pencolok" di tengah lingkungan benda-benda yang sudah ada sebelumnya, yang cenderung sederhana atau biasa saja.

Rasa ketidakcocokan ini menyebabkan dorongan untuk mencari barang-barang lain yang sesuai dengan kualitas atau status barang baru tersebut.  

Misalnya, seseorang yang membeli ponsel pintar baru mungkin merasa perlu untuk membeli aksesori mewah, tas khusus, atau bahkan pakaian yang sesuai dengan merek dan status ponsel pintar tersebut. 

Fenomena ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor psikologis, termasuk adaptasi hedonik, pembanding sosial, dan efek pemisahan diri. 

Adaptasi hedonik adalah kecenderungan manusia untuk cepat terbiasa dengan hal-hal baru sehingga kepuasan awal dari kepemilikan barang berkurang. 

Pembanding sosial adalah kecenderungan kita untuk membandingkan diri dengan orang lain, termasuk dalam hal kepemilikan barang, dan merasa perlu untuk sejalan atau lebih baik dari orang lain. 

Efek pemisahan diri mengacu pada bagaimana kepemilikan satu barang yang unik dapat menyebabkan perasaan "tidak lengkap" hingga ada kepemilikan barang-barang lain yang sesuai.

Hal ini dapat berdampak signifikan pada pola pengeluaran seseorang. Ketika seseorang terjebak dalam spiral konsumsi ini, mereka cenderung menghabiskan lebih banyak uang untuk barang-barang yang tidak mereka butuhkan sebenarnya. Hal ini dapat mengganggu stabilitas keuangan dan menyebabkan masalah hutang atau keuangan lainnya.

Untuk menghadapi Diderot Effect, penting bagi kita untuk menjadi lebih bijaksana dalam pola konsumsi kita. 

Kesadaran akan efek ini dapat membantu kita mempertimbangkan lebih matang sebelum membeli barang baru dan bertanya pada diri sendiri apakah kita benar-benar membutuhkan barang tersebut atau apakah itu hanya merupakan dorongan yang timbul dari efek kecenderungan sosial.

Foto oleh Huy Phan
Foto oleh Huy Phan

Diderot Effect merupakan fenomena yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar, terutama dari segi pakaian. 

Ketika seseorang membeli pakaian baru yang lebih mewah atau bergaya daripada pakaian yang dimiliki sebelumnya, mereka mungkin merasa kebutuhan untuk memperbarui seluruh koleksi pakaian mereka agar sejalan dengan gaya baru tersebut. Ini bisa berarti membeli sepatu, aksesori, atau pakaian lain yang sesuai dengan gaya baru mereka. 

Apalagi di masa perkembangan teknologi saat ini sangat pesat, update fitur tertentu terjadi sangat singkat sehingga seseorang membeli perangkat elektronik baru seperti smartphone atau laptop dengan spesifikasi terbaru, Faktor sosial ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang tentang kepemilikan mereka terhadap barang atau status. 

Ketika seseorang melihat orang lain memiliki barang atau gaya hidup yang lebih baik, mereka mungkin merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan standar yang sama atau lebih tinggi. 

Pembandingan sosial ini dapat memicu Diderot Effect, karena seseorang ingin memiliki hal-hal yang sesuai dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. 

Terkadang alasan background konten atau update story pun seseorang berhasrat membeli furnitur baru atau elemen dekorasi rumah yang mewah, hal itu bisa menyebabkan perubahan dalam seluruh dekorasi rumah. 

Faktor psikologis ini mengacu pada kecenderungan manusia untuk cepat beradaptasi dengan perubahan positif dalam hidup mereka dan merasa kurang terpuaskan setelah mendapatkan hal-hal yang baru. 

Ketika seseorang membeli barang baru yang membawa kepuasan awal, kepuasan tersebut cenderung berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa memicu keinginan untuk mencari hal-hal baru yang dapat memberikan kepuasan sementara.

Karena sekarang kita cenderung merasa kita sangat di perhatikan seseorang membeli kendaraan baru yang lebih mewah atau prestisius.

Karena merasa kebutuhan untuk meningkatkan perawatan kendaraan mereka, sehingga terjadi pergeseran dalam gaya hidup, seperti menjadi lebih aktif dalam olahraga atau aktivitas tertentu.

Itu, tentu saja, bisa menyebabkan perubahan dalam kebutuhan pakaian atau peralatan yang sesuai dengan gaya hidup baru atau mulai memiliki hobi baru atau memulai koleksi tertentu, Sehingga perlu untuk terus membeli barang-barang baru yang terkait dengan hobi atau koleksi tersebut.

Hal tersebut juga tidak terlepas dari budaya konsumerisme dan paparan iklan yang terus-menerus memainkan peran penting dalam mempengaruhi keinginan dan kebutuhan kita. 

Iklan seringkali menampilkan produk-produk yang menarik dan mendorong seseorang untuk membeli barang-barang yang dianggap dapat meningkatkan status atau kualitas hidup mereka. 

Karena sering terpapar iklan tersebut, diri kita tersugesti sehingga melibatkan hubungan antara emosi dan konsumsi, apalagi dengan strategi psikologi marketing yang sangat cepat untu menggugah emosi, seperti senang, puas, atau gembira setelah memperoleh barang baru. 

Emosi positif ini dapat menjadi penguat yang memicu Diderot Effect, di mana secara alam bawah sadar seseorang rela mencari lebih banyak barang atau hal-hal baru untuk mempertahankan perasaan positifnya. 

Diderot Effect dapat memiliki dampak signifikan pada kebiasaan belanja dan konsumsi kita sehingga kita cenderung menciptakan siklus konsumsi yang tidak berujung dan dapat menyebabkan perubahan pola pengeluaran kita. 

Karena akan terjadi "Siklus Belanja Berulang", karena mempertahan kepuasan tersebut dapat menyebabkan kita ingin merasakan kembali perasaan tersebut. 

Kita mungkin tergoda untuk terus membeli barang-barang baru yang tidak benar-benar kita butuhkan, hanya untuk mencapai sensasi kepuasan sesaat.

Apa lagi sekarang kita sangat mudah tergiur dengan kecocokan outfit yang akan kita pakai untuk sehari-hari sehingga sangat mudah mempengaruhi seseorang denga diderot effect nya dalam memicu konsumsi berlebihan karena dorongan untuk mencocokkan barang-barang baru dengan barang-barang yang sudah ada. 

Kita bisa terperangkap dalam siklus membeli barang tambahan atau aksesori yang sesuai dengan barang baru, bahkan jika barang-barang tersebut tidak diperlukan. Ini dapat menyebabkan akumulasi barang-barang yang tidak digunakan dan berujung pada pemborosan.

Sudah pasti pengeluaran kita cenderung meningkat karena kebutuhan "semu" sehingga menciptakan lingkaran setan, di mana kita terus-menerus mencari barang baru tanpa pernah merasa benar-benar puas. 

Pengeluaran berlebihan dan konsumsi yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan, utang yang menumpuk, dan kesulitan untuk mencapai tujuan keuangan jangka panjang. 

Jika hal tersebut terjadi, maka kesejahteraan emosional kita mulai tersentuh. Kita terus-menerus mencari barang baru untuk mencapai kepuasan, kita mungkin mengabaikan aspek-aspek penting dari kebahagiaan yang berasal dari hubungan sosial, pencapaian pribadi, atau pengalaman yang lebih bermakna. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun