Mohon tunggu...
Uniek Widyarti
Uniek Widyarti Mohon Tunggu... -

belajar menjadi manusia pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pesona Gemulai Khinanti

6 April 2015   10:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sorak sorai penonton menerobos celah telingaku, ketika MC mengeja nama Khi-nan-ti. Kupusatkan konsentrasi, menyambut nada pertama alunan gamelan Jawa yang mulai diperdengarkan. Seketika hening, tak secuil suarapun terdengar. Mulai kulangkahkan kaki, perlahan menyelaraskan nada lembut pengiring gerakku. Lentik jemarimenjinjing selendang kuning yang terikat erat di badan. Kutebarkan senyum ramah agar gemulaiku semakin indah.

Bak patung, mereka diam tak bergerak...hanya bola mata mereka yang bergerak mengikuti kemana aku melangkah. Gerak tarianku seolah begitu menyihir mereka malam itu. Riuh tepuk tangan akhiri penampilan dan mengantarku kembali ke belakang layar.

“Hebat,,,Luar biasa Khinanti”....pujian ini selalu keluar dari mulut Bang Mukson.

Aku hanya membalasnya dengan senyum.

“ Kina,,,makasih ya, tarianmu luar biasa. Ini honornya” Bu Lia mendekat sambil menyodorkan seamplop lembar lembar yang memang menjadi tujuanku menari malam ini.

“Bang Mukson saja Bu” jawabku

Lima lembar uang berwarna merah segera kumasukkan dalam dopet. Setiap kubuka dompet lusuh ini, aku selalu tersenyum. Gilang memberikan padaku waktu itu, sebagai hadiah ulang tahun. Ah cinta monyet....tapi sosok Gilang tak pernah lesap dalam ingatanku. Dia hanya sahabat sekelasku, tapi aku begitu mengaguminya. Memendam rasa ini adalah terbaik, karena aku tak mau seperti pungguk merindukan bulan.

Kuambil tas gendong dan bersiap untuk bergegas.

“Bang aku pulang duluan ya, mau beli titipan ibu ke apotik” salam terakhirku pada laki laki yang bisa dibilang adalah manajerku.

Kudekati kendaraan yang setia mengantar kemanapun aku pergi. Sebuah sepeda motor matic berwarna merah yang kuhitung cicilannya tinggal lima bulan lagi. Lega sekali rasanya bila kendaraan ini sudah penuh terbayar, dari keringatku sendiri. Tiba tiba aku teringat, aku harus kembali ke dalam untuk mengambil setangkai anggrek ungu yang tadi kulihat di atas meja rias.

**********

Dering telpon membangunkan lelapku di malam hening ini, terlihat nomor Bang Mukson menghampiri .

“Assalamualaikum, gimana bang? Sapaku dengan suara parau

“Kina...ada undangan menari di Balai Kartini besok siang, siap ya?”

“Ya bang,,oke”

Seketika bang Mukson menutup panggilannya.

Rasa kantukku begitu hebat setelah seharian aku melatih anak-anak di sanggar. Aku tetap dalam rengkuhanku dibawah selimut tebal biru. Cuaca malam ini lebih dingin dari malam malam sebelumnya. Ingin kulanjutkan tidurku hingga seperempat malam menghampiri dan kudirikan shalat malam seperti biasanya. Namun tiba tiba terlintas memori lama.

“Balai Kartini....ah tidak lagi”

Teringat kejadian setahun yang lalu, peristiwa yang hampir saja membuat masa depanku suram. Sebuah gedung megah milik Pemerintah Daerah, berbagai acara besar digelar disana. Sudah berulang kali aku tampil di dalamnya, namun peristiwa itu membuatku bersumpah untuk tidak menginjakkan kaki kembali disana. Aku trauma bila harus memasuki kawasan itu. Ketika aku melepas pakaian tariku, dua musang hendak menerkam, mereka hampir saja mencabik cabik kesucianku sebagai seorang wanita. Untung saja Bang Mukson segera datang dan menyelamatkanku. Tiga hari tiga tiga malam aku tak keluar dari kamar. Hanya mampu merenungi kejadian terselimut ketakutan.

Peristiwa itu masih tergambar jelas di langit langit fikiran. Hingga fajar datangpun aku tak mampu memejamkan mata ....sedetikpun. Akhirnya aku membatalkan pentas besar itu.

Pentas semalam membuatku begitu lelah, aku menari lebih dari 4 jenis tarian. Namun semua harus kulaksanakan, sesuai skenario yang telah diberikan. Rasanya masih enggan bangkit dari peraduan ini, meski sudah jam 11 siang, namun rasa kantukku masih betah bertahan. Tiba tiba aku ingat, jam 12 Bu Ratri mengajakku membeli kain dan selendang.

Begitu senang melihat Icha riang, dia duduk sambil berdendang. Lucunya lagi, dendangannya dikombinasikan dengan melahap sebuah apel merah yang ia genggam di tangan kanan.

“Waah, ibu tadi pagi membeli apel ya Cha?”

“Nyam...nyam...eeeemm bukan ibu mba, tuh Eyang Canggih yang ngirim, buat kakak hehehehe”

“Tadi si Eyang kesini saat kakak tidur, katanya sih nanti sore kesini lagi” lanjut Icha

Malas sekali rasanya mendengar nama Eyang Canggih, begitulah aku dan adik adikku menyebutnya. Laki laki yang usianya jauh lebih tua dari ayahku sendiri, sudah tiga kali melamar. Penolakan demi penolakan tak mampu membuat ia mundur. Kekeh ia pantang menyerah, dengan melakukan pendekatan pendekatan klasikalberharap aku menerima lamarannya untuk menjadi istri ketiga. Hadddawwww....

******

Berulang kudengar So SOOn nya Maher Zain di telinga. Lagu favorit yang kudendangkan sebagai Nada dering, kali ini begitu mengganggu istirahatku. Sering kumatikan, tapi Bang Mukson selalu protes, karena tak bisa menghubungiku sewaktu-waktu bila ada job datang. Nomor nomor tak dikenal memang sering mampir, bila kujawab aku hanya mendengar suara dengan kata kata jorok yang membuatku mual.

“Cantik, aku terpesona dengan wangimu, akan kubawa kau ke puncak kebahagiaan, Yuk nge date denganku”

Sms-sms dari para pengganggu tak lagi kuhiraukan. Hanya saja terkadang aku jadi berfikir, seburuk inikah mereka memandangku. Aku memang gadis penari, tapi aku bukan penari penggoda yang lirak lirik matanya liar untuk merayu mereka. Aku memang penari tapi bukan maksudku untuk membuat mereka jatuh cinta.

Aku bukan gadis murahan yang mudah mereka bawa kemana mana. Sampai hari inipun belum pernah aku berpacaran. Dan akan kujaga kesucianku dan kan kupersembahkan untuk lelaki yang memang halal untukku kelak. Tapi kenapa mereka berpikir sedangkal itu padaku.

*******

“Mana KinaMana...dimana dia...”

Suara gaduh di ruang tamu terdengar ketika aku di dapur membantu ibu menyiapkan parutan kunyit untuk jamu. Segera kubangkit dan menyeret kaki menuju suara itu.

“Mba Risma...” setengah kaget melihat mba Risma datang dengan suara lantang

“Lah ini penggoda itu”

Aku semakin tidak mengerti apa yang telah terjadi.Perempuan yang biasa lembut menyapaku, bahkan memberiku semangat untuk terus maju tanpa menghiraukan kicauan orang lain, kini berubah seperti monster yang siap membunuhku.

“Mba Risma ada apa?”

“Ra sah pura pura koe, kamu itu perempuan yang tidak tahu terima kasih. Ibuku sudah mbimbing kamu dari kecil, sampai kini kamu bisa seperti ini ternyata kamu malah menusukku dari belakang”

“Aku dan bang Mukson mau bercrai, semua gara gara koe” tandas Mba Risma

Bagai tersambar petir mendengar uraian kata kata Mba Risma. Aku hanya terdiam dengan mulut melongo, sedang mataku mengeluarkan air mata. Bagaimana bisa Mba Risma menuduhku menjadi penyebab ketidakharmonisan keluarganya. Selama ini aku menganggap Bang Mukson dan Mba Risma adalah kakakku. Sedang Bu Ratri pun sudah kuanggap ibu ku sendiri.

Emosi mba Risma semakin menjadi jadi, suaranya seperti petir yang menggelegar, seketika itu pula para tetangga berkerumun di halaman, seolah kami adalah wayang yang tengah dipertontonkan. Cacian mba Risma tak berjeda, sedetikpun aku tak punya kesempatan untuk bicara. Ibu memegang erat tanganku sambil bibirnya bergerak mengucapkan istighfar, berulang-ulang. Sedang Icha si bungsu, hanya bisa memelukku tanpa tahu apa yang tengah terjadi dengan kakaknya.

Tak kuat mendengar semua, kurasakan seluruh badanku gemetar tak bertenaga. Mataku yang semakin kabur melihat Mba risma berkata kata, meski saat itu tak lagi kudengar apa yang dia ucapkan.

Brukk..... tubuhku tergeletak di lantai, tak lagi kurasakan apa-apa.

Aku hanya mampu mendengar suara ibu, memintaku untuk terus istighfar dan mengingatSang Sutradara Hidup. Ketika kubuka mata, ada ibu dan Icha disampingku. Tak mampu kukatakan sepatah kata pun, hanya bulir bening dari kedua sudut mataku.

“ Sabar nduk, ini cobaan dari Gusti Allah”, ibu mencoba menguatkanku, meski kutahu ibupun begitu terguncang dengan kejadian sore ini.

Andai mampu kugambar, kan kuseketsakan tanda tanya besar, tak hanya satu bahkan ratusan, dan kusodorkan pada Mba Risma dan Bang Mukson. Tapi, tak ada yang bisa kulakukan saat ini, tubuhku masih lemas, pikiranku kacau, aku hanya mampu berbaring dan mencoba menenangkan hati, di kamar mungil ini. Sambil merenungi diri, begitu hinakah aku sebagai seorang penari?

Satu pekan sudah kejadian itu, tak ada semangat untuk berkreasi, tak terpikirkan sedikitpun untuk bekerja kembali mencari lembar lembar berharga yang bisa membantu ibu mengepulkan asap dapur. Tiba tiba terlintas untuk menemui bu Ratri, ibunda mba Risma. Aku merasa harus ada konfirmasi tentang masalah ini.

“ Risma memang sudah mengajukan gugatan dan saya tidak dapat mencegahnya, dia begitu emosi mengetahui hal ini”

Ada pancaran kekecewaan di wajah bu Ratri ketika itu. Namun begitu dia tetap menerima kehadiranku.

“Selama ini Mukson lah pengirim anggrek unguitu Kina”

Berulang kalimat terakhir bu Ratri menggema di telinga, sepanjang perjalanan aku menangis. Dalam kurun waktu dua tahun ini, aku memang tak mencari tahu siapa pengirim anggrek ungu, bunga favoritku. Pernah sekali kutanyakan pada Bang Mukson memang, tapi dia hanya menjawab dengan senyum sembari berkata “dari penggemarmu”.

Tiap pentas, anggrek ungu selalu tergeletak di dekat tas ku. Tapi aku tak pernah menganggapnya serius apalagi mencari tahu siapa pengirimnya. Seolah masih tak percaya Bang Mukson lah pengirim bunga setia itu.

Kuhentikan motor di depan sekerumunan orang yang sedang menawar tanaman hias yang katanya seharga dengan kendaraan ku ini. Tak lama, wanita separuh baya menghampiri.

“Cari apa neng?”

“Cari tahu bu” jawabku

Sang ibu hanya tersenyum.

“ Maaf bu, apa ada seorang laki laki berambut panjang yang sering membeli anggrek ungu di sini?”

“Mas Mukson, maksudnya ya neng?”

“Iya, iya, betul bang Mukson”

“Oooo iya, dia memang sering sekali membeli anggrek ungu disini, kalau saya tanya untuk apa, dia hanya menjawab saya dengan senyum neng”

Seketika aku terkejut mendengar jawaban pemilik toko bunga ini, kenapa Bang Mukson menyembunyikan hal ini dariku. Apakah karena dia tidak ingin aku tahu, bahwadia lah pengirim anggrek itu? Kenapa bang Mukson melakukan ini, sedang selama ini dia sudah kuanggap seperti kakakku dan yang kutahu dia pun menganggap aku sebagai adiknya.

>>>>>

Tubuhku kuyup dibawah terpaan bening sang alam. Senja ini kupulang tanpa penutup penadah hujan.Lelah tubuh pun tak dapat ditutupi, namun begitu tak pernah ku berkeluh di depan ibu. Sudah lima bulan aku menjadi buruh pabrik, karyawan bagian produksi sebuah perusahaan bulu mata. Di kota inilah seolah mereka mengeksploitasi kami, kaum hawa. Masuk pagi pulang petang dengan bayaran yang kalau dibanding dengan apa yang kami hasilkan tak begitu masuk akal. Begitulah ibarat mereka menjajah kami. Tak terelakan, banyak diantara buruh pabrik yang matanya berstatus minus dikarenakan setiap hari berhadapan dengan benda kecil kurang dari semili, sebagai objek pekerjaan. Namun, semua juga membawa keberkahan bagi pemilik toko kacamata. Tak heran toko toko kacamata semakin beranak pinang di kota ini.

Sms dari Mr. Kim, direktur perusahaan kembali membuat hanfonku bergetar. Malas rasanya membuka pesan pesan itu. Sering tak kuhiraukan bahkan tak kubalas. Masih saja dia merayuku, mengajak menjadi istri kontrak dengan janji akan dibahagiakan.

“Kina, hidupmu akan tercukupi bahkan berlebih, terima saja” bujuk Nina, teman sebelahku

“Kamu beruntung Kin, seperti Jayanti tetanggaku. Rumahnya disulap begitu istimewa, dia menjadi sarjana, tak terlihat sedikitpun dia kekurangan” lanjut Amanda

Tak terbayangkan olehku, menjadi istri kontrak yang hanya menjadi pelampiasan nafsu laki laki Korea itu. Mr. Kim mengenal ku setelah aku mengisi acara saat perayaan ulang tahun perusahaan. Satu satunya pentasku setelah terpental dari sanggar Bu Ratri.

Aku terperanjak, kembali kudapati setangkai anggrek ungu di atas motorku. Secepat kilat nama Bang Mukson menyelinap. Kutolehkan kepalaku ke kanan, ke kiri mencari sosok yang dulu begitu dekat denganku. Namun tak kutemukan laki laki berambut panjang itu.

“Selamat Ulang Tahun, Kina....”

Aku mendengar seseorang memanggil namaku,...terdiam....namun ada perdebatan hebat antara otak dan perasaan. Bang Mukson kah?? Tapi suaranya....perlahan kubalikkan badan...

Sosok laki laki berbadan tegap, dengan kemeja yang begitu rapi, berkulit bersih, beralis tebal dan tegas, dengan pancaran mata yang begitu tajam tapi bening, di kedua tangannya lebih dari 10 tangkai anggrek ungu yang tertata rapi dan indah.

“Gilang....”

Aku terpaku....

Seolah tak percaya, teman sekelasku saat SMP dulu. Sosok pertama yang membuatkukagum, seseorang yang selalu menghiasi ruang di hatiku hingga saat ini, nama yang selalu tertata rapi di sanubari.

Meski selama ini, kuberusaha mengubur semua rasa itu, karena aku tahu itu mustahil untukku. Namun pada kenyataannya tak mampu kugantikan dengan jiwa lain, tak sanggup ku meramunya dengan gugusan huruf yang berbeda. Kini dia hadir di hadapanku, Gilang tersenyum seolah mengetahui betapa aku merasa tak percaya dengan semua ini.

Tak lama dari pertemuan kami itu, Gilang melamarku. Kini, kami memiliki Cinta, putri kecil kami yang begitu cantik seperti anggrek ungu. Aku mengikuti Gilang yang ditugaskan di luar Jawa. Cita citaku terwujud, kumampu mempersembahkan kesucianku untuk lelaki yang halal untukku. Kami begitu bahagia,Tuhan mewujudkan semua. Bukan menjadi istri ketiga, bukan menjadi istri kontrak, tapi menjadi istri dunia akherat. Semua diawali ketika Gilang mengagumi gemulaiku saat pentas seni SMP dulu.

Namun, di hati ada sebersit rasa bersalah pada Bang Mukson. Anggrek anggrek ungu titipan Gilang menjadi muara perpisahan nya dengan Mbak Risma.

“Kenapa Bang Mukson tidak mengatakan yang sesunggungnya padaku? Kenapa Bang Mukson tidak mengelak tuduhan Mbak Risma? Kenapa Bang Mukson tidak mengatakan yang sebenarnya? Kalau dulu Mbak Risma tahu kenyataanya, pasti saat ini kalian masih bersama.”

“Aku ikhlas dengan semua yang terjadi Kina, karena pada kenyataannya aku memang mencintaimu, aku jatuh cinta pada gemulai tarianmu Kina.’

Seketika kumatikan hanfonku dan kututup pembicaraan itu. Lalu, kuhapus nama Bang Mukson dari list kontakku.

*********** The End****************

·Seutas fiksi yang tiba tiba muncul di sanubari, terterjemahkan lewat jemari. Mohon maaf bila ada kesamaan nama, cerita, kisah ataupun profesi. Karena gugusan kalimat ini hanya sebuah fiksi belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun