PENDAHULUAN
Televisi pada hakikatnya adalah suatu fenomena budaya dan medium bagi aktivitas kebudayaan (Burton, 2000). McQuail (2005) menjelaskan bahwa televisi merupakan saluran utama dan perwujudan suatu kebudayaan,sebagai gambaran realitas sosial dari identitas sosial, gagasan, kepercayaan, dan nilai-nilai.
Sebagaisalah satu jenis media massa yang paling populer, televisi membentuk cara berfikir masyarakat, menyebarkan pesan yang merefleksikan kebudayaan dalam masyarakat, dan menyediakan informasi bagi masyarakat yang beragam. Hal ini menjadikan televisi sebagai bagian dari kekuatan lembaga masyarakat dan memiliki pengaruh yang kuat dalam bentuk konstruksi realitas sosial dan kebudayaan (Littlejohn dan Foss, 2005). Pengaruh televisi yang kuat bagi masyarakat tampak dari fungsinya sebagai alat sosialisasi, media pengetahuan dan pandangan dunia, serta agen dalam perubahan (Heidt, 1987).
Media massa memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat. McQuail (2005) menyebut konsep penengah (mediation) untuk menunjukkan peranan media terkait dengan realitas sosial. Terdapat beberapa metafor untuk menggambarkan fungsi media yaitu: Pertama,sebagai"jendela" yang memungkinkan kita melihat lingkungan sekitar. Kedua,sebagai "cermin" untuk merefleksikan diri. Ketiga,sebagai "penyaring" yang menyeleksi pengalaman yang akan diberi penekanan atau diabaikan. Keempat, sebagai "papan penunjuk jalan" yang secara aktif menunjukkan arah, memberikan bimbingan atau instruksi. Kelima, sebagai forum untuk mempresentasikan ide khalayak dengan berbagai kemungkinan respon dan umpan balik. Keenam, sebagai "disseminator" yang menyebarluaskan informasi atau membuat informasi tidak dapat diaksessemua orang, dan Ketujuh,sebagai "interlocutor' atau penghubung informasi dalam perbincangan interaktif (McQuail, 2005).
Perkembangan industri media penyiaran di Indonesia berjalan begitu pesat. Untuk mengakomodir tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-undang penyiaran. Di UU tersebut pemerintah mengamanahkan adanya sebuah independent state regulatory body yang berfungsi sebagai lembaga pengawas penyiaran. Lembaga ini adalah lembaga non pemerintah, yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan bertanggung jawab pada DPR. (lihat UU no 32/2002 pasal 7 ayat 4). Lembaga ini kemudian disebut Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat menjadi KPI. Dengan kata lain, KPI berfungsi melakukan check and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Undang-undang penyiaran mencoba melembagakan KPI untuk memegang fungsi regulator tersebut.
Dalam menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggung jawaban dan evaluasi.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Peranan KPI dalam proses pengawasan siaran di Indonesia mengacu kepada P3SPS. KPI sekarang lebih diterima masyarakat, kooperatif dengan industri penyiaran, juga bersinergi dengan pemerintah. Hanya saja ada beberapa catatan penting bagi KPI, bahwa KPI harus lebih pro aktif dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Hal ini agar pelaksanaan penyiaran dapat berjalan sesuai dengan semangat undang-undang. Selain itu diharapkan KPI juga bisa lebih tegas dalam menegakan peraturannya. Hal ini penting agar menimbulkan efek yang positif dalam dunia penyiaran. Terutama berkaitan dengan pengawasan isi siaran. Jadi jika KPI tegas bukan tidak mungkin lagi industri penyiaran akan tunduk terhadap peraturan KPI. Sehingga kondisi yang dicita-citakan seperti yang terdapat dalam undangundang bukan hanya khayalan semata.
PEMBAHASAN
Peranan Komisi Penyiaran Indonesia dalam proses pengawasan isi siaran sudah mulai berjalan dengan optimal. Dari empat nara sumber yang mewakili unsur KPI, ATVSI, Pemantau Media dan juga pelaku industri semua berpendapat kurang lebih sama. KPI sudah lebih diterima masyarakat, kooperatif dengan industri penyiaran, juga bersinergi dengan pemerintah. Hanya saja ada beberapa catatan yang diajukan nara sumber. Uni Lubis, Ketua Harian ATVSI menyatakan bahwa KPI harus lebih pro aktif lagi dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Hal ini agar pelaksanaan penyiaran dapat berjalan sesuai dengan kehendak undang-undang.
Dalam teori hubungan interpersonal sesuai dengan ikhtisar Coleman dan Hammen, terdapat empat buah model. Dalam penulisan ini hanya dikemukakan satu model yakni model peranan. Hubungan interpersonal akan baik jika setiap individu bertindak sesuai dengan tiga hal yakni ekspektasi peranan, tuntutan peranan dan keterampilan peranan. Disini dapat dilihat bahwa KPI sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi penyiaran sudah seharusnya dapat menjalankan ekspektasi peranannya dengan baik karena sudah secara jelas dalam undangundang ditetapkan tugas, kewajiban dan kewenangannya. Selain itu, tuntutan peranan dalam KPI menjalankan tugas dan kewajibannya adalah mengemban tanggung jawab yang sudah diberikan kepada KPI.
KPI dalam menjalankan fungsinya terutama dalam hal pengawasan isi siaran akan menegur stasiun televisi yang beberapa tayangannya mengandung materi yang tidak sesuai dan cenderung melanggar P3SPS. Dari adegan kekerasan sampai dengan eksploitasi perempuan. Namun mungkin karena kurang tegasnya KPI dalam penegakan aturannya berakibat pada sampai saat ini masih ada tayangan yang serupa yang masih dengan bebas mengisi layar kaca pemirsa di tanah air. Di sinilah pentingnya ketegasan KPI yang seharusnya dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara tegas. Sehingga KPI sebagai sebuah lembaga independent dapat disegani di hadapan lembaga penyiaran. Sekarang KPI tinggal concern saja menjalankan peran, fungsi serta wewenang sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang.
Hal ini sesuai dengan model peranan yang menjelaskan bahwa sebuah peranan itu akan terukur ketika baik lembaga maupun individu yang diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan perannya dapat menjalankan sepenuhnya apa yang menjadi tanggung jawabnya. Jika ini telah terjadi pada KPI, maka bukan tidak mungkin kondisi seperti yang diharapkan Undang-undang akan tercapai.
Sampai saat ini kondisi tersebut memang belum sepenuhnya ada pada KPI. Mengingat proses itu masih berjalan dan butuh kedewasaan secara kelembagaan. Agar kondisinya benar-benar sesuai harapan undang-undang seyogyanya yang harus siap itu bukan hanya dari pihak KPI saja. Tetapi dari semua unsur yang terlibat dalam bidang penyiaran juga harus siap. Termasuk lembaga penyiaran itu sendiri.
Langkah-langkah KPI dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menjadi lawan bagi para lembaga penyiaran dengan mengeluarkan peraturan P3SPS sebagai produk hukum untuk mengatur penyiaran nasional, yang secara keseluruhan dari program berita sampai dengan program non berita serta iklan. Akan tetapi dengan adanya peraturan KPI, yaitu P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang dianggap bahwa P3SPS sangatlah rumit dan tidak mudah untuk diterapkan secara keseluruhan, sehingga masih banyak stasiun TV swasta yang merasa kesulitan untuk menerapkan peraturan KPI.
Namun para lembaga penyiaran masih menjadikan P3SPS sebagai tolak ukur mereka untuk menyajikan program-program acara, karena KPI adalah sebagai lembaga independent yang ditunjuk langsung oleh undang-undang untuk mengatur segala bentuk penyiaran.
KESIMPULAN
Disini dapat dilihat bahwa KPI sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi penyiaran sudah seharusnya dapat menjalankan ekspektasi peranannya dengan baik karena sudah secara jelas dalam undangundang ditetapkan tugas, kewajiban dan kewenangannya. KPI dalam menjalankan fungsinya terutama dalam hal pengawasan isi siaran akan menegur stasiun televisi yang beberapa tayangannya mengandung materi yang tidak sesuai dan cenderung melanggar P3SPS. Hal ini sesuai dengan model peranan yang menjelaskan bahwa sebuah peranan itu akan terukur ketika baik lembaga maupun individu yang diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan perannya dapat menjalankan sepenuhnya apa yang menjadi tanggung jawabnya.Â
Langkah-langkah KPI dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menjadi lawan bagi para lembaga penyiaran dengan mengeluarkan peraturan P3SPS sebagai produk hukum untuk mengatur penyiaran nasional, yang secara keseluruhan dari program berita sampai dengan program non berita serta iklan. Akan tetapi dengan adanya peraturan KPI, yaitu P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang dianggap bahwa P3SPS sangatlah rumit dan tidak mudah untuk diterapkan secara keseluruhan, sehingga masih banyak stasiun TV swasta yang merasa kesulitan untuk menerapkan peraturan KPI.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto Elvirano & Lukiati K.M,Komunikasi Massa Suatu Pengantar: Simbiosa Rekatama Media, 2004
Burton, Graeme, 2000, Talking Television: an Introduction to the Study of Television, Arnold, London
Heidt, Erhard U., 1987, Mass Media, Cultural Tradition, and National Identity, The Case of Singapore and Its Television Programs, VerlagBreitenbach Publishers, Saarbrcken.
Iskandar Muda Deddy, 1999, Jurnalistik televisi Menjadi Reporter Profesional: Pt Remaja Rosdakarya, Bandung Ibrahim Subandy & Hanif Susanto, Wanita dan Media:PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Littlejohn, Stephen W.Littlejohn, KarenAFoss, 2005, Theories of Human Communication, Thomson, Wadsworth.
McQuail, Denis, 2005, McQuail's Mass Communication Theory, Sage Publications, London
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H