Mohon tunggu...
Langit Jingga
Langit Jingga Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bernama Pena Langit Jingga. Bungsu kelahiran Bogor, 13 Oktober. Mencintai dunia penulisan, anak-anak dan pendidikan. Addict dengan Coklat dan Es Krim *yang biasa jadi teman menulis*. Lulusan D3 Komunikasi ini bermimpi untuk bisa mengajar anak-anak pedalaman, membangun sekolah untuk anak-anak tidak mampu dan MIMPI 1000 BUKU :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya, Kucukupkan Penantian

14 Februari 2012   18:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sungguh tiada kewajiban atas kamu untuk terus berharap sama aku, de. Aku masih seorang Santri yang masih akan terus menekuni ilmu di sini. Menikah itu untuk saling membahagiakan dan menenangkan kan? Kalau kamu merasa tidak tenang dan belum bahagia sama aku, aku rela kamu lupain aku, jika itu adalah yang terbaik.”

Hujan di luar masih membekaskan embun dingin yang memeluk kuat. Gemercik air masih teratur menuruni ulir genting yang mendenting nada tersendiri. Hatiku masih diselubung kacau, *Anak RT sebelah membacanya “GALAU” :)*. Ada segurat wajah sendu milik Jendral *panggilanku untuk sang arjuna* terlintas dibenak. Ahhh, Jendral, bagaimana mungkin semua ini terjadi. Aku harus bagaimana, Jend?

Drrrttttt. Ponselku yang bergetar manis di atas mejaku. Sms. Ya Sms lagi dari lelaki lain. Hhhh, Jend kamu tahu rasanya? Dilematis.

***

Aku masih terdiam menatap beku langit-langit kamar . Ku lafadz istighfar sambil menarik nafas dalam-dalam. Jend, aku mengenalmu bukan sehari dua hari. Aku meniti mimpi menyempunakan separuh agamaku bersamamu. Entah, dirimu lelah atau tidak menjawab tanyaku kapan kita bisa halal berpandangan?

“Sabar ya de, Aku berusaha untuk itu. Ade jangan lupa sholat, minta sama Allah yang terbaik. Insya Allah pasti akan ada jawabannya.” Seperti biasa jawabanmu menenangkanku, meski tak mengurangi hasratku mendampingimu.

1329242312416326642
1329242312416326642

Nyaris setahun setelah keputusanmu mondok, kita kembali dihadapkan pada sendunya rindu tak saling menyapa. Hanya sepenggal-penggal pesan singkat yang mampir. Mengabarkan usahamu menghafal ayat demi ayat Sang Pemilik Semesta. Tapi bukan di sana poinnya. Aku masih menunggu. Tentu aku ingin halal memikirkanmu. Tak apalah kau halalkan aku dan kembali menimba ilmu jauh dariku, Insya Allah aku ikhlas, Jend. Berikan aku kepastian.

Hingga satu masa di kala diri ini tengah berpasrah akan Takdir baikNYA, aku menjalin silaturahim dengan sosok sabar itu. Dialah Kang Abi. Bukan Jend, bukan aku hendak mencari penggantimu. Aku hanya ingin mengorek informasi tentang pendidikan Pasca sarjana ku. Hanya itu saat itu. Tapi ternyata ia bermaksud lain. Ia tertarik padaku Jend. Pesan singkatnya yang semula berisi informasi Pasca Sarjana, kini nyaris menyiratkan hasratnya meng-khitbah ku. Illahi Rabbi, tentu tak ada yang salah pada rasanya. Jujur aku pun mengaguminya. Agamanya, jauh lebih tinggi dari aku. Tapi aku masih menunggumu, Jend. Aku menyampaikan hal itu padanya dengan harap ia mampu memahami dan beringsut mencari sosok lain selain aku. Tapi dugaanku salah. Ia tetap menungguku, Jend. Ia yakin, akulah jodohnya. Salahkah aku, Jend?

Rabb, apa ini jawabanMu atas doa-doaku? Is He not the right one for me? Atau semua sebatas cobaan untuk hubungan kami? Tapi hingga detik ini pun kau tak mampu berucap, kapan hendak meminangku. Padahal itu yang aku tunggu. AKU MENANTI PINANGANMU.

Airmataku jatuh di atas sajadah, malam itu. Kupanjatkan lagi, doa yang sama. Berharap tanya itu gamblang terjawab. Ustadz Abi, sekilas lewat menggurat perih di hati. Rabb, bahkan aku belum menatapnya langsung, tapi rasa ini begitu dilematis. Jahatkah aku yang kini telah merasa sebegitu asing dengan Jendral, memintanya untuk belajar saling melupakan demi RidhoNya? Jend, aku paham kau sedang susah payah meneguhkan hati demi menyelami ilmuNYA, tapi maaf, sungguh hati ini semakin bimbang setelah sikapmu pun ikut berubah menjauh, seperti bersalah tak mampu segera meminangku. Jendral, Ustadz beri aku ruang demi mengikuti Petunjuk Sang Pemilik Segala.

Drrttt… Si imut kembali bergetar membuyar tangis dan hening yang ku resapi. Jendral? Pesan singkat ini darimu Jend? Alhamdulillah, desisku mengurai senyum dan menjangkau ponselku. Ku baca perlahan bait demi bait pesanmu, aku terdiam, mematung.

“Sungguh tiada kewajiban atas kamu untuk terus berharap sama aku, de. Aku masih seorang Santri yang masih akan terus menekuni ilmu di sini. Menikah itu untuk saling membahagiakan dan menenangkan kan? Kalau kamu merasa tidak tenang dan belum bahagia sama aku, aku rela kamu lupain aku, jika itu adalah yang terbaik.”

14 Februari 2012, Untuk Seorang Sahabat –Kucukupkan Penantian

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun