Mohon tunggu...
Langit Jingga
Langit Jingga Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bernama Pena Langit Jingga. Bungsu kelahiran Bogor, 13 Oktober. Mencintai dunia penulisan, anak-anak dan pendidikan. Addict dengan Coklat dan Es Krim *yang biasa jadi teman menulis*. Lulusan D3 Komunikasi ini bermimpi untuk bisa mengajar anak-anak pedalaman, membangun sekolah untuk anak-anak tidak mampu dan MIMPI 1000 BUKU :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelakiku & Lelaki-lelaki Tangguh

8 Februari 2012   16:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gak semua orang mau kerja kayak aku. Kalau semuanya gak mau kerja kayak gini, siapa yang urusin tower? Siapa yang ngurusin jaringan telepon? Kita suka telponan kan? Kalo gak ada yang kerja kayak aku, nanti kita gak bisa telponan lho…” ujarnya sambil diiringi nada canda.

Aku hanya terdiam saat pesan singkat itu singgah di ponselku siang itu. Lunglai. Lelakiku pamit pergi *lagi* keluar kota untuk segenap tugasnya. Bukannya aku tak tahu resiko ini dari awal komitmen, tapi aku fikir mungkin seiring berjalannya waktu aku mampu mengimbanginya. Dialah lelakiku. Calon imamku *amin* yang sedang menata diri dan kondisi untuk niat mulia kami. Dia bukanlah eksekutif muda yangmondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain. Lelaki lempeng *pendiem banget orangnya,simple, gak neko-neko :p* yang manis itu *ehem* adalah pria bertanggung jawab yang bekerja banting tulang untuk keluarganya. Dia seorang pekerja Lapangan yang tangguh. Pindah dari satu kota ke kota lain, demi lancarnya telekomunikasi orang-orang. Bukannya ia betah, bukannya tak melelahkan. Sekali lagi, apapun itu semua demi tanggung jawabnya. Ah, ini yang buatku jatuh cinta.

Siang itu ia pamit, besok rencananya akan terbang menuju pulau yang nampak seperti huruf “K” di peta itu. Hanya seminggu, kemudian terbang lagi menuju pulau paling barat di Indonesia. Begitulah pamitnya. Hmmm, aku merutuk, aku bergumam, menumpahkan kesal dalam kertas-kertas kosong yang akhirnya berserak di lantai. Belum menikah saja rasanya berat kalau harus jauh terus menerus *karena komunikasi pun ikut-ikutan tersendat* apalagi nanti setelah menikah? Bukankah akan lebih gundah rasanya bila rumah kecil kami hanya ku isi seorang diri, sedang dia selalu dalam mobilitas kerja yang tinggi? Aduh Rabb, boleh ku bilang aku tak sanggup? Tapi aku sedemikian mencintainya. Ia begitu sabar, teduh dan menerimaku apa adanya. Ia begitu bertanggung jawab. Lalu dimana kurangnya? Pekerjaannya? Ah, sempit rasanya kalau ku penggal semua perjalanan panjang kita hanya karena pekerjaan. Bukankah semestinya kita saling mendukung?

Aku menangis. Rasanya lelah. Tapi lelakiku datang di satu ketika dengan mengusap bahu sembari menggenggam jemariku erat-erat.

“Sabar-sabar ya Nda…” Ia biasa menyapaku Dinda *so sweet kan? :p*

[caption id="attachment_161461" align="alignright" width="300" caption="Gak semua orang kan bisa *dan mau* kerja kayak begini?"]

1328717020812620042
1328717020812620042
[/caption]

“Gak semua orang mau kerja kayak aku. Kalau semuanya gak mau kerja kayak gini, siapa yang urusin tower? Siapa yang ngurusin jaringan telepon? Kita suka telponan kan? Kalo gak ada yang kerja kayak aku, nanti kita gak bisa telponan loh…” ujarnya sambil diiringi nada canda.

Aku masih diam. Masih menunduk.

“Ah, kamu kan enak mondar-mandir. Gak berasa sepinya. Kamu gak ngerasain jadi aku sih…” Sanggahku dalam hati. Sembari menggigit bibir. Menahan tangis tepatnya.

Nda, kamu bayangin deh. Kalo semua orang kerjanya kayak orang kantoran yang sabtu minggu libur, nanti siapa yang jaga loket tempat liburan? Kalo gitu, tempat liburannya kosong dong, terus kita gak bisa liburan. Ya kan? Jadi kita hargain aja ya tiap kerjaan yang ada.” Ia masih konsen meyakinkanku. Masih menggenggam jemariku, kuat. Menguatkan.

Hari-hari pun bergulir. Hatiku masih labil. Kadang terima, tapi kadang emosi jiwa kalau sudah dipamiti ke luar kota. Hingga akhirnya di suatu pagi yang masih sendu, ketika aku beranjak menuju kantor, dari balik jendela bus ku liat sejumlah pemuda dan lelaki separuh baya ke atas sudah bergumul dengan cangkul dan baju belepotan tanah. Merekalah pekerja proyek pelebaran jalan tol. Pagi kulihat, bahkan sesore ketika ku pulang mereka masih saja bekerja. Tak pulang, hingga proyek memang benar-benar selesai. Aku menangis dalam hati, mengingat ayah dan lelakiku. Kali lain aku menangkap kesenduan pekerja bangunan yang sedang istirahat di bangunan *yang mereka bangun* yang belum jadi sambil menatapkosong cakrawala, seperti merindu keluarga nun jauh di sana.

[caption id="attachment_161462" align="aligncenter" width="300" caption="Merekapun merindu rumah yang teduh, merekalah lelaki tangguh"]

1328717111498768635
1328717111498768635
[/caption]

Illahi Rabbi, betapa sungguh beban kepala keluarga itu berat. Betapa bertanggung jawabnya lelaki-lelaki tangguh itu. Aku menangis lagi. Egoisnya aku hanya memikir rasa sepiku. Padahal lelaki-lelaki itu pun tak kurang-kurangnya menahan beban dan segenap rindu bila jauh dari rumah. Bukankah wanita-wanita pendamping lelaki-lelaki hebat itu sedemikian kuat mendamping pasangannya? Kenapa aku tidak? Kenapa memikirkan meyerah, padahal ia tengah berjuang sekuat yang ia bisa? Rabb, sekali lagi ku mohon ampun. Ampun karena tak mampu menata kesabaran, keluasan hati. Lelakiku, maafkan aku yang masih sering tak menguatkanmu. Aku mencintaimu, lelakiku….

Didedikasikan untuk Lelakiku, Hilman….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun