Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, tentu sudah banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi, dari masa orde lama, orde Baru hingga kini disebut dengan masa reformasi. Pembaharuan dalam segala aspek diantaranya dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya telah dilakukan oleh Bangsa Indonesia. Tentu tujuan dari reformasi sendiri adalah mengharapkan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Namun apakah reformasi ini sudah mendapatkan tujuan yang hendak dicapai?
Tidak dapat sepenuhnya kita jawab sudah tercapai, karena masih banyak hal-hal yang terjadi pada masa-masa sebelumnya masih terbawa hingga masa kini, diantaranya kasus korupsi yang semakin menjadi-jadi, bahkan sudah dianggap sebagai tradisi yang turun-menurun, selain itu kasus penyelewengan Narkoba, banyak generasi penerus yang justru terjangkit dalam masalah ini. Sungguh, masih banyak contoh kasus lainnya yang masih menyeleweng dari tujuan reformasi.
Disaat kita semua telah mengetahui bahwa masih banyak hal-hal yang dapat menghambat kemajuan bangsa ini, kita seharusnya melakukan kembali pembaharuan. Salah satunya dengan Revolusi Mental, sebagaimana yang telah Presiden Jokowi katakan semasa awal menjabat sebagai Presiden kepada jajaran kabinetnya. Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno pada tahun 1957, “Ia adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia yang baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.” kata Bung Karno.
Tidak berlebihan apabila kita menyebut suatu pembaharuan dengan revolusi, karena arti revolusi sendiri itu menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah perubahan yang cukup mendasar disuatu bidang. Kita membutuhkan perubahan secara mendasar, terutama perubahan mental dan pola pikir (mindset) Bangsa Indonesia.
Sedangkan mental menurut Karyadi (Master Sugesti Indonesia) mental diartikan sebagai rangkaian sistem abstrak yang hidup dalam pikiran dan perasaan mengenai respon apa yang harus dianggap penting dalam hidup, dan dengan mental mampu bertahan dari terpaan aral yang melintang serta mental mempunyai nilai hidup yang positif jika mempunyai mental yang kuat. Sedangkan mental yang kuat adalah suatu kemungkinan yang akan terjadi pada diri seseorang sehingga mempunyai konsepsi atau perilaku yang muncul dari jiwanya sebagai reaksi atau respon atas situasi yang mempengaruhinya. Diharapkan mental positif itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari, mulai kedisiplinan kemampuan, keterampilan dan kreatifitas.
Secara harfiah menurut Homby dan Pamwell (1972) karakter merupakan kualitas mental atau moral (kekuatan moral) nama atau reputasi. Sedangkan menurut Dali Gulo (1992) karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya mempunyai sifat-sifat relatif tetap. Lalu menurut Buya Hamka karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain.
Definisi yang telah dijabarkan oleh beberapa ahli, dapat kita simpulkan bahwa mental adalah unsur dari sebuah karakter. Sehingga pendidikan karakter adalah pembangunan dan pengembangan suatu mental yang berdasarkan pendidikan, baik secara personal maupun secara institusional dan tercermin dari perilaku, akhlak dan budi pekerti yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, dimulai dari segi manakah revolusi mental itu dapat kita mulai? Pedidikan. Ya, Pendidikan adalah hal yang paling mendasar. Dengan pendidikan kita dapat berubah ke arah yang lebih baik. Pendidikan tidak hanya dilakukan secara formal saja, namun juga dilakukan secara non-formal. Pendidikan yang pertama kali kita dapatkan adalah dari keluarga.
Oleh sebab itu, penting bagi keluarga untuk menciptakan lingkungan yang baik di dalamnya. Disinilah awal mula karakter dibentuk. Sebagai contoh, apabila ayah dalam keluarga tersebut memiliki sifat yang disiplin, maka anak dalam keluarga tersebut perlahan-lahan juga akan memiliki sifat tersebut. Disinilah mengapa peran keluarga dianggap sangat penting. Hal sebaliknya juga dapat saja terjadi, apabila sang ayah tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya, maka anak pun akan tidak bertanggung jawab terhadap tugas yang dimilikinya. Oleh karena sangat pentingnya peran keluarga, perlu untuk adanya pendidikan bagaimana menjadi orang tua yang baik, bagaimana cara membentuk karakter anak, dan sebagainya. Mulailah tanamkan kebiasaan-kebiasaan baik di dalam rumah, di dalam lingkungan terdekat kepada anak.
Karena pada masa anak-anak lah karakter dapat dengan mudah kita bentuk. Namun, kalau kita melihat realita yang terjadi saat ini banyak orang tua masih belum memahami bagaimana cara seharusnya mendidik anak. Berikut merupakan ilustrasi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari:
Seorang anak kecil sekitar 7 tahun pada saat Bulan Ramadhan, malam hari seusai shalat Maghrib merengek-rengek kepada orang tua untuk dibelikan petasan. Awalnya memang sang ibu tidak memperbolehkan untuk membeli petasan tersebut, karena sang ibu telah mengetaui bahwa lebih banyak kerugiannya dibandingkan drngan keuntungan yang di dapat dengan membeli petasan. Dengan tidak dibelikannya petasan, sang anak menangis semakin menjadi-jadi, tak lama kemudian akhirnya sang anak pun mendapatkan benda yang diinginkannya, yaitu petasan.