Mohon tunggu...
Dhita Mutiara Nabella
Dhita Mutiara Nabella Mohon Tunggu... Konsultan - Program Officer Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia - Pendiri Komunitas Cerita Iklim

I am a dedicated sustainability professional with a Master’s degree in Environment and Sustainable Development from University College London and a background from the Faculty of Mathematics and Natural Sciences at the University of Indonesia. In my current role as Senior Consultant for Net Zero Sustainability Transition at Equatorise, an international advisory firm based in London, I collaborate with institutions and governments to support Indonesian corporates and family offices in exploring opportunities within the UK and EU markets. I also help UK and EU-based entities unlock value and thrive in Indonesia, a growing hub in the Indo-Pacific region. My previous experience includes founding Climate Stories (Cerita Iklim), a youth community focused on climate change awareness, and working at the Research Center for Climate Change at the University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konferensi Iklim PBB COP29 Sepakati Pendanaan Tiga Kali Lipat untuk Negara Berkembang: Apa Dampaknya bagi Indonesia?

24 November 2024   21:05 Diperbarui: 24 November 2024   21:08 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.thehindu.com/

Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, telah mencatatkan sejarah dengan pencapaian ambisius di bidang pendanaan iklim. New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) yang disepakati kali ini menjanjikan peningkatan pendanaan iklim hingga tiga kali lipat dari USD 100 miliar menjadi USD 300 miliar per tahun pada 2035. Selain itu, pendanaan dari sumber publik dan swasta ditargetkan mencapai USD 1,3 triliun setiap tahun. Kesepakatan ini dianggap sebagai landasan penting untuk mendukung negara berkembang dalam menghadapi bencana iklim dan memanfaatkan ledakan energi bersih global.

Namun, apakah janji ini realistis dan dapat dilaksanakan? Akankah ini menjadi solusi nyata, atau hanya janji yang kembali tertunda? Melihat sejarah pemenuhan janji pendanaan iklim sebelumnya, masih banyak tantangan yang harus diatasi.

Pendanaan Iklim: Janji yang Perlu Dibuktikan

Komitmen pendanaan sebesar USD 300 miliar per tahun pada 2035 menjadi tonggak utama dalam COP29. Ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan target sebelumnya, yaitu USD 100 miliar per tahun, yang sebenarnya telah dijanjikan sejak 2020 tetapi sering kali tidak terpenuhi.

Pendanaan ini dirancang untuk mendukung negara berkembang dalam berbagai aspek:

  1. Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir, kekeringan, dan naiknya permukaan laut.
  2. Transisi energi bersih melalui pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
  3. Perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati, termasuk program pengurangan deforestasi seperti REDD+.

Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UN Climate Change, menyebut pendanaan ini sebagai "polis asuransi bagi umat manusia." Namun, ia juga mengingatkan bahwa polis ini hanya berlaku jika premi---pendanaan yang dijanjikan---dibayarkan secara penuh dan tepat waktu. Sejarah menunjukkan bahwa janji pendanaan sering kali tidak diikuti oleh realisasi. Misalnya, laporan terakhir dari OECD menyebutkan bahwa pendanaan USD 100 miliar per tahun sejak 2020 hanya terpenuhi sebagian besar dalam bentuk pinjaman, bukan hibah.

Triple Target: Harapan untuk Energi Bersih

Komitmen ini tidak hanya tentang dana, tetapi juga tentang peluang untuk mendorong ledakan energi bersih secara global. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan investasi energi bersih global akan melampaui USD 2 triliun pada 2024. Dengan pendanaan iklim yang lebih besar, negara berkembang diharapkan mampu berpartisipasi dalam transformasi energi global ini.

Namun, ada tantangan struktural yang perlu diatasi:

  1. Ketergantungan pada energi fosil: Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih bergantung pada energi fosil sebagai tulang punggung ekonomi.
  2. Hambatan birokrasi: Pendanaan global sering kali tersendat oleh proses administratif dan ketidakmampuan negara penerima untuk memenuhi persyaratan.

Di sisi lain, pasar karbon yang kini disepakati di bawah Article 6 Paris Agreement juga menawarkan potensi besar bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan dana tambahan melalui perdagangan karbon. Hal ini membuka peluang pendanaan inovatif yang dapat membantu negara-negara seperti Indonesia mencapai target iklimnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun