Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke negara-negara Amerika Latin, khususnya Peru dan Brazil, membawa semangat baru dalam memperkuat hubungan bilateral Indonesia dengan kawasan tersebut. Dalam pidato-pidatonya, Presiden menyampaikan ambisi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang mandiri secara energi, tangguh dalam ketahanan pangan, dan kompetitif dalam industrialisasi. Namun, di balik optimisme yang ditawarkan, terdapat tantangan nyata yang perlu diatasi, terutama dari perspektif kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Â
Ambisi Energi Terbarukan: Potensi dan Realitas
Presiden Prabowo menyoroti kekayaan panas bumi Indonesia, yang memang mencapai 23.9 gigawatt atau 40% dari potensi global berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2023). Potensi energi surya yang dapat dikembangkan juga sangat besar, mencapai 3.294 gigawatt, meskipun kapasitas terpasang saat ini baru 0,27 gigawatt. Â
Namun, perhatian besar masih tertuju pada biodiesel berbasis kelapa sawit, yang diandalkan sebagai tulang punggung transisi energi hijau. Dalam konteks ini, Indonesia adalah produsen utama minyak kelapa sawit dunia, dengan produksi mencapai 46,73 juta ton pada 2022 (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Meskipun penting secara ekonomi, industri ini menyumbang 16% dari deforestasi global antara 2001 dan 2020 menurut laporan Global Forest Watch. Â
Tantangan besar adalah bagaimana menjaga keberlanjutan. Indonesia memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), tetapi implementasinya sering dikritik karena kurang transparan dan tegas dibandingkan standar internasional seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Untuk memastikan keberlanjutan, kebijakan yang lebih ketat diperlukan, termasuk perlindungan hutan primer dan peningkatan pengawasan rantai pasok. Â
Kerjasama dengan Brazil dalam teknologi bioenergi menjadi langkah strategis. Brazil telah sukses mengembangkan etanol berbasis tebu, yang menyumbang 83% bahan bakar kendaraan mereka. Transfer teknologi ini dapat mempercepat diversifikasi energi terbarukan di Indonesia, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pada kelapa sawit. Â
Ketahanan Pangan: Inspirasi dari Brazil Â
Presiden Prabowo menekankan bahwa setiap negara harus mampu memberi makan rakyatnya, mengingat 9,3% populasi Indonesia atau sekitar 25 juta orang masih mengalami kelaparan (Global Hunger Index 2023). Komitmen untuk menyediakan makanan gratis bagi anak-anak sekolah adalah langkah yang sangat positif, terutama dengan mencontoh program National School Feeding Program di Brazil, yang telah menjangkau lebih dari 40 juta anak sekolah setiap hari. Â
Namun, tantangan di Indonesia berbeda. Ketergantungan pada konversi lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapat berdampak pada kerusakan lingkungan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan per tahun akibat ekspansi lahan pertanian. Oleh karena itu, pendekatan berbasis agroforestri dan teknologi pertanian presisi yang diterapkan di Brazil dapat menjadi solusi. Pendekatan ini mampu meningkatkan hasil panen tanpa memperluas lahan secara signifikan, sejalan dengan tujuan keberlanjutan. Â
Hilirisasi Sumber Daya Alam: Mengurangi Dampak LingkunganÂ
Visi Prabowo untuk mengolah 26 komoditas strategis mencerminkan tekad untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi. Namun, fokus besar pada mineral kritis seperti nikel, yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik, menghadirkan tantangan lingkungan. Indonesia saat ini adalah produsen nikel terbesar di dunia, dengan output 1,6 juta ton pada 2022 (Statista). Â
Proses penambangan nikel sering memicu degradasi tanah dan pencemaran air. Di Morowali, Sulawesi Tengah, eksploitasi nikel telah menyebabkan konflik sosial dan degradasi lingkungan, termasuk pencemaran sungai yang memengaruhi kehidupan masyarakat lokal. Pemerintah perlu memberlakukan regulasi yang lebih ketat terkait penambangan dan memastikan bahwa perusahaan tambang memenuhi standar lingkungan internasional. Â
Investasi dalam teknologi green mining harus menjadi prioritas, seperti teknologi tailing kering yang diterapkan di beberapa negara maju untuk meminimalkan dampak limbah tambang. Selain itu, pengelolaan limbah tambang yang transparan harus diwajibkan, dan pemerintah dapat menjalin kemitraan dengan Brazil untuk meningkatkan kapasitas teknologi ini. Â