Mohon tunggu...
Dhita Mutiara Nabella
Dhita Mutiara Nabella Mohon Tunggu... Program Officer Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia - Pendiri Komunitas Cerita Iklim

I am a dedicated sustainability professional with a Master’s degree in Environment and Sustainable Development from University College London and a background from the Faculty of Mathematics and Natural Sciences at the University of Indonesia. In my current role as Senior Consultant for Net Zero Sustainability Transition at Equatorise, an international advisory firm based in London, I collaborate with institutions and governments to support Indonesian corporates and family offices in exploring opportunities within the UK and EU markets. I also help UK and EU-based entities unlock value and thrive in Indonesia, a growing hub in the Indo-Pacific region. My previous experience includes founding Climate Stories (Cerita Iklim), a youth community focused on climate change awareness, and working at the Research Center for Climate Change at the University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bisakah Program Prioritas Prabowo-Gibran Mencapai Target Net Zero Emission Indonesia?

26 September 2024   14:33 Diperbarui: 26 September 2024   14:37 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di bulan Oktober mendatang, harapan besar muncul terkait realisasi Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dengan tantangan infrastruktur energi dan regulasi yang kompleks, beberapa inisiatif penting mereka, seperti pembentukan Badan Karbon, bisa memberikan arah yang positif. Badan ini, yang sedang dirancang oleh tim ekonomi Prabowo-Gibran bersama Kantor Staf Presiden (KSP), bertujuan untuk mengelola perdagangan karbon, membantu pengurangan emisi di berbagai sektor, dan memperkuat mekanisme pasar karbon.

Transisi Energi: Ambisi Besar, Tantangan Nyata

Salah satu fokus utama Prabowo-Gibran adalah transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Pemerintah menargetkan peningkatan kontribusi energi terbarukan dari 13,9% pada 2020 menjadi 23% pada 2025. Langkah ini melibatkan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya, air, dan angin. Meski kebijakan ini merupakan langkah besar, Indonesia masih menghadapi masalah infrastruktur yang belum memadai, serta kurangnya investasi. Tantangan keuangan dan teknologi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur hijau juga belum sepenuhnya teratasi.

Dalam konteks ini, Prabowo-Gibran diharapkan mendorong percepatan investasi swasta melalui insentif fiskal dan memperkuat kerjasama dengan negara-negara yang memiliki teknologi energi terbarukan maju. Dengan total kapasitas pembangkit listrik yang diharapkan mencapai 21 GW pada 2025, potensi ini perlu dioptimalkan dengan perencanaan kebijakan yang matang.

Kendaraan Listrik: Solusi Emisi Transportasi

Sektor transportasi yang menyumbang sekitar 25% dari total emisi Indonesia juga menjadi fokus penting Prabowo-Gibran. Mereka mendorong adopsi kendaraan listrik sebagai bagian dari strategi mengurangi emisi. Namun, tantangan utamanya adalah infrastruktur, khususnya stasiun pengisian daya yang sangat terbatas. Untuk mengatasi hambatan ini, pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung dan memberikan insentif seperti pembebasan pajak kendaraan listrik.

Meskipun angka penjualan kendaraan listrik masih rendah, sekitar 15.000 unit pada tahun 2022, pemerintah menargetkan penetrasi yang lebih tinggi dengan target 2 juta kendaraan listrik pada tahun 2030. Namun, target ini hanya akan tercapai jika kebijakan dilaksanakan secara konsisten dan melibatkan sektor swasta.

Perdagangan Karbon: Membangun Mekanisme yang Efektif

Pembentukan Badan Karbon menjadi salah satu langkah strategis Prabowo-Gibran. Badan ini dirancang untuk mengelola dan mengatur perdagangan karbon di Indonesia, memberikan mekanisme yang lebih jelas dalam mengurangi emisi. Dengan nilai perdagangan karbon global yang mencapai $851 miliar pada tahun 2021, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di kawasan Asia Tenggara. Badan Karbon akan membantu menyempurnakan regulasi perdagangan karbon, serta memperkuat mekanisme pasar di Bursa Efek Indonesia.

Namun, keberhasilan perdagangan karbon sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang ketat. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa perusahaan-perusahaan besar berpartisipasi aktif dalam upaya ini, bukan hanya untuk mematuhi regulasi, tetapi juga untuk berkontribusi pada pengurangan emisi secara nyata.

Optimisme dalam Tantangan Besar

Program prioritas Prabowo-Gibran menuju Net Zero Emission (NZE) membawa harapan besar, tetapi tantangannya tidak bisa diabaikan. Langkah-langkah penting seperti transisi energi, adopsi kendaraan listrik, dan pembentukan Badan Karbon memerlukan penerapan yang konsisten serta komitmen jangka panjang. Dukungan sektor swasta, kebijakan yang tegas, dan kerja sama internasional akan menjadi kunci. Tanpa eksekusi yang tepat, upaya ambisius ini berisiko terhambat.

Indonesia memiliki potensi besar sebagai pemimpin regional dalam transisi energi bersih. Dengan sumber daya alam yang kaya untuk pengembangan energi terbarukan---seperti tenaga surya, angin, dan hidro---negara ini memiliki fondasi kuat untuk mengembangkan ekonomi hijau yang bisa membawa keuntungan jangka panjang.

Namun, kesuksesan ini memerlukan aksi nyata yang lebih dari sekadar janji kebijakan. Hambatan seperti birokrasi yang rumit, minimnya infrastruktur, serta kurangnya koordinasi lintas sektor harus segera diatasi. Di sisi lain, sektor swasta perlu dilibatkan secara lebih intensif, dengan insentif yang jelas dan kepastian regulasi yang bisa mendorong investasi pada energi terbarukan.

Program-program ini juga harus dipadukan dengan pendekatan yang memperhatikan just transition, yaitu transisi yang adil. Isu ini krusial, mengingat pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8% tidak hanya berfokus pada keuntungan bagi sektor industri besar atau investor asing, tetapi juga harus memperhatikan dampaknya bagi kelompok-kelompok rentan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan sosial dan mencegah ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.

Dengan menghadapi tantangan ini secara strategis dan inklusif, Indonesia tidak hanya bisa menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi semua lapisan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun