Mohon tunggu...
Dhita Mutiara Nabella
Dhita Mutiara Nabella Mohon Tunggu... Ilmuwan - Program Officer Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia - Pendiri Komunitas Cerita Iklim

Dhita Mutiara Nabella merupakan pemuda berusia 23 tahun yang memiliki ketertarikan untuk mendalami isu tentang krisis iklim dan pembangunan berkelanjutan. Saat ini, ia bekerja sebagai Program Officer di Pusat Riset Perubahan Iklim, Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga mendirikan komunitas Cerita Iklim yang menjadi tempat bagi para pemuda untuk berdiskusi dan belajar bersama tentang krisis iklim.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Porsi APBN untuk Mengatasi Krisis Iklim Hanya 4,1%, Bagaimana Solusinya?

13 Juni 2021   21:01 Diperbarui: 13 Juni 2021   21:07 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkapan Layar Saat Webinar Climate Change Challenge yang Diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (11/06/2021)

Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani, dalam forum webinar yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia (11/6) menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dana sebesar 3.779,6 triliun rupiah untuk mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia hingga tahun 2030. 

Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan dana sebesar 343,6 triliun per tahun untuk untuk menurunkan emisi sebesar 29-41% melalui program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Apabila kita melihat data tiga tahun terakhir, porsi APBN mengatasi krisis iklim terus menyusut. Pada tahun 2018, alokasi anggaran perubahan iklim sebesar 132,47 triliun rupiah dengan realisasinya sebesar Rp 126,04 triliun. 

Kemudian di 2019 alokasi anggarannya turun menjadi Rp 97,66 triliun dengan realisasinya Rp 83,54 triliun. Lalu di 2020 alokasi anggarannya kembali turun menjadi Rp 77,71 triliun (Grafik 1).

Grafik 1. Alokasi APBN Untuk Perubahan Iklim 2018-2021 (Sumber: Kemenkeu RI -- diolah oleh penulis)
Grafik 1. Alokasi APBN Untuk Perubahan Iklim 2018-2021 (Sumber: Kemenkeu RI -- diolah oleh penulis)

Dana yang dibutuhkan untuk menangani krisis iklim tersebut sangat besar, dan disisi lainnya, Indonesia saat ini juga sedang dihadapi oleh pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang juga membutuhkan alokasi APBN hingga 699 triliun, naik 21% dari tahun sebelumnya. Dana tersebut digunakan antara lain untuk penanganan Covid-19, bantuan sosial masyarakat (PKH, sembako, dst), dan insentif untuk UMKM dan korporasi.

Oleh karena itu, dalam APBN saat ini, anggaran yang berkaitan dengan perubahan iklim dialokasikan hanya sebesar 4,1% dati total APBN, yaitu sekitar 86,7 triliun/tahun. 

Meskipun sedikit meningkat dari alokasi anggaran tahun lalu, masih ada celah sebesar 256,9 triliun/tahun, dana yang perlu dipenuhi untuk Indonesia mampu mencapai target NDC di tahun 2030 (Grafik 2).

Grafik 2: Proporsi APBN Untuk Penanganan Krisis Iklim (Sumber: Kemenkeu RI -- diolah oleh penulis)
Grafik 2: Proporsi APBN Untuk Penanganan Krisis Iklim (Sumber: Kemenkeu RI -- diolah oleh penulis)

Dengan demikian, Ibu Sri Mulyani menyatakan bahwa anggaran dari APBN saja tidak cukup untuk mengatasi perubahan iklim, perlu gotong royong dari berbagai pihak untuk turut terlibat dan berkontribusi dalam penanganan krisis iklim ini. Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah yaitu melalui mekanisme Budget Tagging sebagai bentuk transparansi penggunaan dana APBN untuk penanganan krisis iklim di Indonesia. 

Saat ini, Kemekeu juga sudah memfasilitasi 7 provinsi, 3 kabupaten, dan 1 kota untuk program Regional Budget Climate Tagging dan akan disusul oleh 6 wilayah lainnya. 

Ibu Menteri juga menekankan perlu adanya usaha dari pemerintah daerah untuk menjadikan penanganan krisis iklim ini menjadi prioritas pembangunan sehingga akan ada double power untuk pendanaan iklim tersebut.

Upaya lainnya yang telah dilakukan melaui APBN yaitu dengan adanya pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang bertujuan untuk menarik dana dari berbagai sumber untuk merealisasikan berbagai project penanganan perubahan iklim, seperti pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Merefleksikan dari data tersebut, penanganan krisis iklim tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak, baik melalui bantuan internasional, pihak swasta, maupun masyarakat secara umum. 

Dengan demikian, diharapkan seluruh pembangunan di Indonesia saat ini mengarah kepada pembangunan hijau rendah karbon yang berkelanjutan.

    

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun