Mohon tunggu...
Terra Lemuria
Terra Lemuria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

spiritualist, artist, environmentalist, keeping my head in the clouds

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal sosok ibu di masa senja

21 Februari 2021   17:27 Diperbarui: 22 Februari 2021   07:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menginjak tahun ini, ibuku sudah berumur 70 tahun. Perjuangan beliau lumayan panjang membesarkan dua anak perempuan tanpa bantuan ayah kami. Saat itu ayah seringkali bertugas ke luar kota berminggu-minggu bahkan sampai hitungan bulan. Kalau ditanya dia hanya menjawab singkat "Lagi ada proyek" tanpa menanyakan keadaan kami ataupun perkembangan di sekolah.  Jadi kami memang sudah terbiasa di rumah tanpa kehadiran seorang ayah. Kalaupun dia pulang untuk beberapa hari biasanya hanya untuk "numpang" makan dan tidur, tidak jarang mengambil barang-barang di rumah untuk digadaikan karena "proyek"nya macet. Dari pesawat televisi, radio, speaker, bahkan tunpukan koleksi buku bacaanku Tintin dan Lima Sekawan juga diangkutnya untuk digadaikan di pasar loak. Untuk anak umur 10 tahun saat itu koleksi buku bacaan adalah sesuatu yang istimewa.  Saya tidak berani membantah. 

Saat itu kami sudah menyadari kalau ibu bekerja keras seorang diri membanting tulang tanpa bantuan siapapun. Beliau bangun pagi-pagi buta jam 4 untuk memanggang chicken pie atau roti untuk dijual di toko-toko langganannya. Menjelang hari raya, bisa 2 hari berturut-turut tanpa tidur beliau sibuk membuat pesanan aneka cookies. Padahal di masa mudanya dulu, ibu bekerja di perusahaan minyak asing di daerah Thamrin di Jakarta. Saya ingat sewaktu masih kecil, aku dan adikku sering bermain role-play dengan high heels, tas rantai berlapis perak dan baju-baju kerja ibuku.

Dari segi finansial, walaupun jatuh-bangun, beliau cukup bisa membiayai pendidikan dan kebutuhan sehari-hari kami. Tapi lebih dari itu kami harus berhemat. Kami diajarkan untuk menghargai kerja keras dan berusaha pantang menyerah. Kami berdua anak-anaknya adalah segalanya bagi dia. Beliau sudah memberikan tenaganya, cintanya, umurnya, karirnya dan pernikahannya untuk kami berdua.  

Ibu menderita diabetes turunan sejak umur 30 tahun. Menjelang berumur 65 tahun, kesehatannya semakin menurun. Diabetes mulai mengambil bagian tubuhnya sedikit demi sedikit. Sering sakit-sakitan, matanya mulai mengalami katarak, tekanan darah naik turun, ditambah penyakit dimensia dini. Kami berdua menyadari kepribadian beliau ikut terpengaruh, sangat berbeda dengan ibu yang kami kenal. Beliau sering berkata-kata kasar, merasa kesal luar biasa, tanpa sebab, dan seringkali berhalusinasi bercerita tentang kejadian yang sebetulnya tidak  pernah terjadi. Karakternya menjadi sangat keras kepala, sangat sukar diajak kompromi dan bertindak semaunya sendiri seperti anak kecil. Sepertinya kemampuan bernalar dan common sense menjadi terganggu. 

Dimensia yang diidap ibu membuat beliau tidak bisa mengingat kejadian yang baru saja terjadi. 

Di kalangan masyarakat kami sering mendengar  komentar miring "Punya orang tua loe urus sendiri dong, jangan ditaro di panti jompo. Kasian lah"
Dulu kami masih sepemikiran dan mencap orang-orang yang menitipkan orang tuanya sendiri di panti jompo adalah orang-orang yang tidak punya hati dan tidak tahu terimakasih kepada orang tuanya. Tega banget sih!

Tapi sekarang? Kami menyadari bahwa tinggal serumah dengan orang tua yang menjalani masa senjanya dibutuhkan dedikasi tinggi dan kesabaran tanpa batas.  Tidak setiap keluarga memiliki dua hal itu, atau punya waktu untuk itu. 

Dari sisi psikologi mereka ingin merasa dihargai dan masih menjadi bagian dari keluarga. Tetapi karena kapasitas mereka sudah jauh berkurang dan karena rasa kasihan supaya mereka tidak terlalu capek, pembantu rumah tangga dikerahkan untuk urusan masak-memasak. Problem solved? Pasti tidak, itu baru permulaan. Setiap hari ada-ada saja masalah dan ketidak-cocokan antara ibu dengan si mbak. Lama kelamaan meningkat ke tuduhan barang-barang hilang mulai dari hp hilang, ipad, earphone, kaos kaki, sampai baju daster. Benda-benda yang dilaporkan hilang biasanya ditemukan lagi, entah terselip di belakang bantal atau di kamar mandi. Karena selalu hilang dan kejadiannya berkali-kali, kami berkeyakinan ingatan ibu yang mulai melemah. Si mbak pun sudah silih berganti beberapa kali dari si mbak A, mbak B sampai mbak F.  Mereka semua, menurut ibu, selalu mencuri barang miliknya. 

Penyakit dimensia yang diidap ibu juga membuat keadaan bertambah parah, bukan saja beliau tidak ingat kejadian pagi ini, kemarin sore atau minggu lalu, tapi setiap beliau merasa sedih atau marah karena suatu hal, salah satu dari kami memberikan penjelasan/hiburan sampai beliau merasa baikan, 5 menit kemudian ibu kembali merasa sedih/marah lagi karena hal yang sama. Penyakit dimensia itu penyakit yang progresive, semakin lama semakin parah. Menurut literasi yang kami pelajari, akan ada tahapan dimana penderita akan mengalami blank, dimana mereka kehilangan train of thought, atau kehilangan kemampuan untuk memakai nalar dalam hal-hal yang paling sederhana pun. Misalnya tahapan untuk mempersiapkan roti selai. Untuk orang normal tahapan prosesnya adalah ambil piringnya, ambil rotinya, ambil pisau roti, ambil selainya, lalu oleskan selai ke atas roti. Namun untuk orang yang demensia, proses pemikiran ini terkadang hilang begitu saja, sehingga seringkali mereka hanya duduk seperti orang kebingungan. Kalau ditanya pun mereka sudah lupa apa yang tadi ingin mereka lakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun