Tentang Kampanye Anti-Tembakau WHO
Sebenarnya data yang diumumkan oleh WHO mengenai jumlah korban dan kerugian akibat rokok ini masih banyak dipertentangkan oleh peneliti-peneliti dunia. berikut ini saya kutip beberapa pihak yang kontra terhadap data kampanye tersebut,
1. Dimulai dari  Hamilton dengan bukunya Nicotine War (Yogyakarta: INSIST Press, 2010), yang secara singkat menjelaskan bahwa Kampanye anti rokok ini merupakan satu bagian dari upaya marketing Industri Farmasi, Tujuanya adalah orang berhenti merokok dengan melakukan treatment (perawatan dan penanganan) terhadap ketagihan nikotin dengan obat-obat. Nah Treatment tersebut adalah kunci marketing dari Industri Farmasi untuk memasarkan produk-produknya dan memperoleh keuntungan yang besar.
2. Menurut  Angell M dalam tulisanya di New England Journal of Medicine, 22 juni 2000 yang berjudul 'The Pharmaceutical Industry : To Whom Is It Accountable ? ', menyebutkan bahwa sepulu perusahaan Industri farmasi terbesar Amerika dilaporkan menghasilkan laba yang sangat besar selama beberapa tahun ini semenjak kampanye Anti-Rokok disuarakan oleh WHO, secara keseluruhan sejauh ini Industri Farmasi merupakan industri yang paling menjanjikan di Amerika Serikat.
3. Menurut David Earnshaw, mantan direktur urusan pemerintah Eropa untuk  Smith Kline Beecham, yang kini menjadi ketua kampanye Oxfam untuk akses terhadap obat-obatan, dalam tulisanya yang berjudul 'Public Citizen Report, Rx R&D Myths : The Case Againts the Drug Industry’s R&D ‘Scare Card,' di 23 Juli 2001. bahwa sejak tahun 1992 menurut peringkat majalah Fortune, besarnya keuntungan perusahaan Farmasi selalu meningkat secara tajam atau bisa di rata-rata sebesar tiga kali keuntungan rata-rata semua industri lain yang tercantum dalam Fortune 500. Yang jika ditotal kapitalisasi pasar dari empat perusahaan Farmasi terbesar Amerika itu jumlahnya bisa melebihi perekonomian India.
4. Menurut  Robert A Levy dan Rosalind B Marimont dalam makalah yang berjudul  'Lies, 'Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (1998)', menjelaskan bahwa kampanye anti tembakau telah berubah menjadi monster kebohongan dan kerakusan yang banyak dimanfaatkan oleh banyak kepentingan, Ilmu pengetahuan yang benar telah berganti Ilmu pengetahuan yang keliru, dan yang menjadi korban dalam kampanye tersebut adalah kebenaran.
Masih menurut Levy dan Marimont, Angka 400 ribu kematian akibat rokok di Amerika merupakan data yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan, karena menggunakan progam komputer dalam pengambilan data yaitu Smoking Associated Mortality, Morbidity and Econimic Cost (SAMMEC), mereka melakukan metode pengambilan data yang salah, dan terlelu dini mengambil kesimpulan kematian karena rokok. Contohnya : Jika si A yang berbadan gemuk serta mempunyai kadar kolesterol yang tinggi, punya diabetes serta punya riwayat penyakit jantung dalam keturunan, tidak pernah melakukan olahraga dan dia merokok, terus meninggal karena penyakit jantung, maka SAMMEC akan membuat kesimpulan bahwa rokok adalah penyebab kematian si A tersebut, inilah yang disebut terlalu dini dalam mengambil kesimpulan oleh Levy dan Marimont, karena faktor penyakit jantung itu banyak penyebabnya.
Industri Rokok Indonesia Ke Depanya
Berdasarkan data statistik, sebenarnya rokok kretek ini adalah produk yang minim sekali terhadap muatan impor, karena 95% bahan bakunya sudah ada di Indonesia sendiri, karakter Industri yang seperti inilah yang di butuhkan Indonesia dalam rangka mengurangi angka impor, dan karena karakter ini jugalah yang menyebabkan perusahaan rokok Indonesia relatif aman dari badai krisis ekonomi 1998 kemarin, dan tentunya produk seperti ini akan mempunyai daya saing yang sangat tinggi terhadap era globalisasi.
Dari hulu ke hilir Industri rokok ini juga mempunyai nilai tambah lebih tinggi daripada komoditi seperti coklat, tambang, dll, yang hanya mengekspor bahan mentah sehingga nilai plusnya dimiliki negara lain. Kalau rokok mulai dari petani tembakau sudah ada yang menerima langsung yaitu Industri rokok tanpa harus dijual dalam bentuk mentah, dalam rantai ekonomi tersebut terdapat puluhan juta orang yang menjadikanya sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Jika regulasi pemerintah tentang tembakau lebih diketatkan lagi dan lebih lebih pemerintah sampai menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dapat dipastikan ini akan membunuh industri rokok menengah dan kecil, apakah pemerintah sudah siap dengan bertambahnya angka pengangguran ketika itu terjadi ? disini seharusnya jadi pertimbangan lebih pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini, jangan hanya terkesan menuruti kepentingan pihak lain terutama asing yang datanya juga harus tetap dipertanyakan kebenaranya.