Hari ini kurs rupiah kembali tertekan setelah sebelumnya empat pekan berturut-turut ditutup dengan lemah. Menurut Staf Presiden dalam bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, di harian Bisnis 22 September 2014, menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah merupakan gejala global sebagai imbas keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed mengurangi likuiditas global melalui pengurangan stimulus sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai Quantitative Easing (QE) edisi III.
Sedangkan data dari Bloomberg, Senin 22 september 2014, menunjukkan bahwa kurs rupiah melemah 0,11 persen ke level 11.980/USD, di perdagangan pukul 11:16 WIB, hingga menjelang siang pun kurs rupiah masih berkutat dikisaran 11.958 - 11.993 / USD. Masih menurut data dari Bloomberg, kurs rupiah terus menurun 4,6 % dalam waktu 6 bulan terkahir, hal tersebut menjadikan rupiah sendiri sebagai mata uang yang berkinerja paling buruk dibandingkan mata uang Asia lainya.
Menguatnya USD sendiri tidak luput dari pengaruh The Fed yang berencana menaikan suku bunganya di bulan Oktober ini, karena efek kenaikan suku bunga The Fed tersebutlah, aliran dana asing/hot money mulai mengalir keluar dari pasar modal dalam negri (capital outflow).
Seperti yang dikatakan juga oleh Mentri Keuangan Chatib Basri ketika menghadiri pertemuan G20 di Cairns, Autralia, beliau menyebutkan bahwa dalam jangka pendek, beberapa negara berkembang (emerging market) harus lebih memprioritaskan stabilitasi dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Karena Indonesia tidak mungkin bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi saat tengah bergelut dengan isu kenaikan suku bunga The Fed tersebut.
Mari kita kita ulas kembali kronologi hot money tersebut sejak dari awal, di tahun 2010 para investor masuk ke instrumen keuangan, tentu saja masuknya ke negara emerging market termasuk Indonesia, hal itulah yang membuat rupiah bisa menguat hingga di level Rp 9xxx, dan interset rate BI turun hingga 5,xx %, yang selanjutnya The Fed mengeluarkan lagi program stimulusnya (QE jilid 3). Ditahun 2011-2012 isu yang berkembang adalah masalah harga minyak dunia dan krisis-krisis besar yang menghantam negara-negara Eropa (PIIGS), Lantas di tahun 2013 banyak pelaku di industri keuangan yang mulai menilai ekonomi US mulai bangkit, maka QE (quantitive easing) pun mulai dianjurkan dikurangi atau tappering off, karena adanya 'isu' yang berkembang seperti demikian, maka para pelaku industri keuangan pun menilai US lebih menjanjikan market-nya daripada negara-negara emerging market (Indonesia, dll), sehingga arus uang pun banyak yang mulai keluar dari Indonesia, akhirnya rupiah pun melemah. Untuk merespon hal tersebut, BI pun menaikan suku bunganya, sambil melihat trend impor agar bisa ditekan.
Nah The Fed dengan isu tappering off-nya yang akan menjadi patokan mata seluruh dunia, di akhir 2013 kemarin FMOC The Fed memutuskan bahwa baru akan menaikan suku bunganya di 2015 nanti, nah dari hal tersebut jelas sekali bisa di baca bahwa aliran QE tersebut tidak akan melakukan capital outflow (arus keluar) di sepanjang 2014 ini, jadi dana tersebut akan melakukan volatilitas atau bergerak untuk mencari keuntungan dari instrumen keuangan yang di pegang saja, maka Indonesia akan mengalami tekanan biaya bunga efektif (modal kerja dan ekonomi rill) sehingga orang pun akan condong menyimpan US Dollar dan kurs rupiah akan cenderung melemah terhadap US Dollar (tekanan komoditi impor)
Seperti kondisi yang sudah kita ketahui bersama dewasa ini, Investasi fiskal ekonomi Indonesia masih belum berjalan dengan maksimal, sehingga komoditi modal, komoditi bahan baku dan komoditi konsumsi masih saja mayoritas di dapat dari impor. Dengan keadaan defisit balance of payment seperti ini, fluktuatifnya kurs rupiah sangat berbahaya sekali bagi perekonomian Indonesia. Dalam hal ini terlihat sekali pemerintah tidak bisa maksimal menancapkan investasi di sektor riil negara ini (investasi fiskal), sehingga uang tersebut hanya menjadi keseimbangan fiskal yang malah akan melemahkan ekonomi Indonesia sendiri.
Perlu kita ketahui di awal, bahwa 70% lebih investor di pasar modal Indonesia adalah permodalan asing, jadi ketika investasi tersebut tidak menjadi investasi fiskal yang menguatkan fundamental ekonomi, maka kita “hanya” akan bergantung kepada keputusan “bandar” pemilik modal besar tersebut. Padahal dana asing yang masuk ke Indonesia tersebut sudah jelas dari aliran hot money (money printing) yang diciptakan dengan “tujuan” mengambil untung di pengolahan devisa negara-negara emerging market. Nah dengan inilah fokus kita sekarang hanya menjadi bertahan dari keputusan-keputusan Bank Central negara lain.
Trend seperti ini harus dihadapi Indonesia di sela menyongsong hajat besar Indonesia sendiri, yaitu persiapan menghadapi CAFTA 2015, sedangkan aliran dana tersebut sudah pasti akan keluar (capital outflow) dari Indonesia di tahun 2015, mengingat 2015 The Fed sudah memastikan akan menaikan suku bunganya, dan hal itu pasti akan diikuti kenaikan harga minyak dunia serta komoditi dunia lainya, jika kita mau melihat lagi data terdahulu tentang trend kenaikan suku bunga global yang selalu diikuti kenaikan komoditi tersebut.
Sebenarnya Amerika dengan program stimulus moneter (QE) ini bisa diartikan hanya berusaha untuk “membeli waktu” menjaga kepercayaan-kepercayaan negara lain pengguna USD sendiri.Maka lahirlah Quantitive easing sebagai upaya memulihkan ekonomi Amerika dari krisis 2008 lalu, program cetak uang modern dengan menurunkan suku bunga inilah yang kemudian menjadi alat untuk mencari keuntungan di seluruh pasar keuangan dunia terutama negara Emerging Market seperti Indonesia ini. Dalam perjalananya aliran uang QE tersebut banyak sekali di serap oleh SUN (surat hutang) Indonesia, sehingga ketika masa-masa injury penarikan dana tersebut, akan kelihatan sekali kecenderungan melemahnya rupiah terhadap US Dollar, itu terjadi karena mereka lah yang memegang”barang” sehingga mereka pun yang menggerakan harga.
Inilah faktor yang membuat Amerika ini terlihat sangat luar biasa sekali kehebatanya. Walaupun terhantam badai krisis yang berat sejak tahun 2008 dengan hancurnya Wall Street, pengaruh mereka masih demikian kuat terhadap perekonomian Indonesia. Setelah dikatakan secara terus menerus bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat danIndonesia menjadi darling-nya investor asing, US Dollar masuk dengan deras, IHSG meningkat dan rupiah menguat, hal itu berbalik 180 derajat ketika “hanya” seorang “Yellen” berpidato bahwa ekonomi Amerika mulai bangkit.
Dalam permasalahan ini terlihat sekali betapa kita “dipaksa” menerima saja begitu fluktuasinya nilai tukar mata uang “kita sendiri” dan terus terkurasnya cadangan devisa hasil dari game theory yang dilakukan negara maju untuk membiayai krisis-nya, dengan jalan “tanam paksa” portopolio di negara dengan literasi finansial rendah seperti di Indonesia ini, yang hanya mempunyai 0,27% penduduk ada di pasar keuangan, sedangkan sisanya tidak “menikmati” hasil nyata dari investasi fiskal tersebut. Ini semua hanya terlihat semu kalau kita mau lebih jujur, karena kita “tidak pernah mau belajar” dari pengalaman, dengan meregulasi yang lebih baik lagi UU pasar modal atas nama demi “stabilitas sistem keuangan” Indonesia sendiri.
Setelah semuanya ini terjadi, pemerintah memang sudah melihat ancaman-ancaman tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk menghadapinya, salah satunya dengan melakukan swap dengan BOJ Jepang yang bisa diartikan meminimalisasikan gejolak rupiah di tahun depan. Tetapi itu masih akan menjadi pe-er berat bagi rezim pemerintah di periode selanjutnya, dimana ada “tantangan” tersendiri di dunia keuangan Indonesia, yaitu “berani” untuk lebih menasionalisasikan market.
Karena di sektor inilah pintu sebenarnya dari yang namanya aliran modal Investasi, tinggal Indonesia sendiri mau mengambil itu dan menancapkan untuk sektor rill (insfratuktur, dll) atau hanya “terlarut” dengan uang murah sesaat yang “nyatanya” tidak memberi efek yang banyak bagi sektor riil Indonesia sendiri. Semua sudah terjadi dan seharusnya menjadi satu lagi pelajaran penting bagi pemerintah dan otoritas finansial selanjutnya, tentang bagaimana berfikir agar terjadi keseimbangan atau intermediasi keuntungan dari pasar finansial kepada pembangunan ekonomi sektor riil yang lebih produktif.
Indonesia tidak bisa terus-terusan “hanya” membanggakan pertumbuhan pasar modal yang pesat, jika harga yang harus dibayar adalah lumpuhnya produktifitas ekonomi nasional sendiri, itu sangatlah mahal sekali, bagaimanapun produktivitas “sejati” itu dihasilkan karena kerja, bukan mimpi dan melihat angka-angka mengkilat semata, defisit neraca pembayaran inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama negara ini kedepanya. Semoga pemerintah selanjutnya lebih baik lagi menghadapi permasalahan ini.
Dhita A
22 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H