Dalam permasalahan ini terlihat sekali betapa kita “dipaksa” menerima saja begitu fluktuasinya nilai tukar mata uang “kita sendiri” dan terus terkurasnya cadangan devisa hasil dari game theory yang dilakukan negara maju untuk membiayai krisis-nya, dengan jalan “tanam paksa” portopolio di negara dengan literasi finansial rendah seperti di Indonesia ini, yang hanya mempunyai 0,27% penduduk ada di pasar keuangan, sedangkan sisanya tidak “menikmati” hasil nyata dari investasi fiskal tersebut. Ini semua hanya terlihat semu kalau kita mau lebih jujur, karena kita “tidak pernah mau belajar” dari pengalaman, dengan meregulasi yang lebih baik lagi UU pasar modal atas nama demi “stabilitas sistem keuangan” Indonesia sendiri.
Setelah semuanya ini terjadi, pemerintah memang sudah melihat ancaman-ancaman tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk menghadapinya, salah satunya dengan melakukan swap dengan BOJ Jepang yang bisa diartikan meminimalisasikan gejolak rupiah di tahun depan. Tetapi itu masih akan menjadi pe-er berat bagi rezim pemerintah di periode selanjutnya, dimana ada “tantangan” tersendiri di dunia keuangan Indonesia, yaitu “berani” untuk lebih menasionalisasikan market.
Karena di sektor inilah pintu sebenarnya dari yang namanya aliran modal Investasi, tinggal Indonesia sendiri mau mengambil itu dan menancapkan untuk sektor rill (insfratuktur, dll) atau hanya “terlarut” dengan uang murah sesaat yang “nyatanya” tidak memberi efek yang banyak bagi sektor riil Indonesia sendiri. Semua sudah terjadi dan seharusnya menjadi satu lagi pelajaran penting bagi pemerintah dan otoritas finansial selanjutnya, tentang bagaimana berfikir agar terjadi keseimbangan atau intermediasi keuntungan dari pasar finansial kepada pembangunan ekonomi sektor riil yang lebih produktif.
Indonesia tidak bisa terus-terusan “hanya” membanggakan pertumbuhan pasar modal yang pesat, jika harga yang harus dibayar adalah lumpuhnya produktifitas ekonomi nasional sendiri, itu sangatlah mahal sekali, bagaimanapun produktivitas “sejati” itu dihasilkan karena kerja, bukan mimpi dan melihat angka-angka mengkilat semata, defisit neraca pembayaran inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama negara ini kedepanya. Semoga pemerintah selanjutnya lebih baik lagi menghadapi permasalahan ini.
Dhita A
22 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H