Mohon tunggu...
Andhita Sitompul
Andhita Sitompul Mohon Tunggu... -

mau baca apapun...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mawar dalam Genggaman (Sekilas Kekerasan dalam Berpacaran)

20 Mei 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku Kumala. Aku berdiri di atap gedung rumah sakit yang menjulang bak mencakar langit. Malam ini langit sunyi mencekam. Seakan siap menerkam dan menenggelamkanku dalam pekatnya. Aku hanya ditemani setangkai bunga mawar merah yang selalu kugenggam sejak berada di sini. Ya, hanya mawar itu yang menemaniku. Aku terbiasa dengan bunga mawar dan selalu ingin memegangnya. Padahal bahkan sebelumnya aku tak pernah punya kemelekatan pada bunga mawar merah. Bagaslah perantara perkenalanku dengan bunga mawar merah. Mawar itu memutar rekaman kisah lalu... "Mala, selama ini aku suka sama kamu. Maukah kamu jadi pacarku?" tiba-tiba Bagas menembakku di keramaian kantin kampus. Mendadak pula semua orang yang hilir mudik menghentikan aktivitasnya dan menatap tajam kami berdua. Alin, sahabatku, sampai tersedak ketika sedang menenggak jus jeruk ketika mendengar pernyataan cinta Bagas. Tapi Bagas tak peduli. Dia hanya menatapku, memasang mimik lugu. Berkonsentrasi penuh pada kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Aku diam terpaku menatapnya dengan perasaan campur aduk, ya bingung, ya terkejut, ya seneng, ya malu, semua jadi satu. Dia pun mendadak jadi ganteng. "La, Mala! Jawab tuh, kok diem sih?" hentak Alin menyadarkanku kekagetan yang luar biasa. "Iya, Gas. Iya, aku mau jadi pacar kamu." Jawabku lembut dan pasti menatap Bagas yang langsung mengembangkan senyumnya, manis sekali. Memang dari dulu di antara kami sudah ada flirting. Bagas mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dari balik punggunggnya, "Ini mawar merah untukmu, Mala. Sebagai rasa cintaku padamu." Kuterima mawar merah pertama pemberiannya itu dengan senyum penuh kebahagiaan. Sontak semua orang di kantin bertepuk tangan, bahkan ada siulan renyah dari mereka. Sejak hari itu, kami resmi pacaran. Hari-hari kulalui dengan indah bersama Bagas, pacarku. Tiap pagi dia sudah siap di ruang tamu, menungguku turun dari kamar sambil berbincang pagi dengan orangtuaku. Mereka cepat akrab, Bagas cepat beradaptasi dengan orangtuaku, dia pun dianggap seperti anak sendiri. Begitu pula hubunganku dengan orangtuanya yang berjalan baik. Sebulan sudah kami menjalin kasih. Kami selalu bersama. Walau aku di fakultas sastra dan Bagas di fakultas teknik, kami bertemu di kantin dan setelah itu pergi berdua. Kadang nonton film di bioskop, ke toko buku, atau mengantarkan ibunya belanja. Bagas orang yang romantis. Berbagai kejutan dihadiahkan untukku di tiap malam minggu. Ya, Bagas lebih sering memberiku bunga mawar merah. Semuanya berjalan begitu indah dan sangat memabukkan. Kami makin tak terpisahkan. Aku selalu mencari Bagas. Aku menjadi tergantung padanya. Mengerjakan tugas, liburan, belanja, dan melakukan kegiatan lain hanya bersamanya. Dari proses kedekatanku, mulai tampak wujud asli kekasihku itu. Wujud asli seorang Bagas Adiguna. Dia mulai menarikku dari pergaulan dan teman-teman tercintaku. "Kamu nggak perlu lagi jalan sama temen-temenmu yang nggak bener itu." Ucap Bagas suatu kali ketika aku pertama kali pamit keluar bersama teman-temanku sejak pacaran. "Nggak bener kenapa? Aku bersahabat dengan mereka sudah lima tahun dan hubungan kami baik-baik saja. " aku penasaran dengan pernyataannya itu. Tapi Bagas tak menggubrisnya, kemudian mencengkram lenganku dengan kasar dan menamparku sambil berkata, "Sialan, dikasih tahu malah protes! Kamu tahu, mereka nggak berguna buat kita, ngapain kamu membela mereka, hah??" ia membentakku, lalu meninggalkanku. Malam itu, untuk pertama kalinya dia menyakitiku. Aku menangis kesakitan semalaman. Tak menyangka bahwa orang yang selalu bersikap lembut, perhatian dan sabar menyakitiku. Hatiku terluka. Malam ini, langit kelam menemani hingga kutertidur. Aku tahu dia sangat mencintaiku dan menyesali sikapnya tadi malam, karena pagi ini aku mendapat bunga mawar merah sebagai permintaan maafnya. Dia berlutut di depanku dan berkata, "Maafkan aku Mala sayang! Aku nggak bermaksud menyakitimu karena aku menyayangimu, sayang." Kuterima bunga darinya, dan kita berdamai. Sayangnya itu bukan akhir, tapi awal dari malapetaka bagi hubungan kami. Suatu malam, dia mengajakku ke pesta pernikahan Niko, sepupunya. Aku yang sedari pagi sibuk kuliah dan mengantarkan ibu ke rumah temannya, merasa lelah dan ingin istirahat. Aku pun menolak ajakannya. Kukira dia mengerti. Tapi dengan tangan kokohnya, dia mencengkeram lenganku. Cengkramannya kuat, membuat lenganku sakit dan tubuhku lemas. "Kenapa sih, kamu menolak datang ke pernikahan Niko? Kamu nggak menghormati keluargaku, ya?" suaranya menggelegar memenuhi ruang tamu. Waktu itu ayah juga belum pulang kerja, di rumah hanya ada aku dan Bagas. "Aduh, bukan begitu, Gas. Aku..aku..aku capek habis nganterin ibu. Aku ingin istirahat." Ucapku terbata, merintih menahan sakit. Memasang wajah memelas, memohon agar Bagas mau melepaskan cengkramannya. "Ah, alasan!!!" Bagas menamparku berkali-kali dan membanting tubuhku ketempat tidur. Aku ngilu. Dia pergi meninggalkanku tergeletak kesakitan. Aku menangis kesakitan semalaman. Tak menyangka bahwa orang yang selalu bersikap lembut, perhatian dan sabar menyakitiku. Hatiku terluka. Malam ini, langit kelam menemani hingga kutertidur. Aku tahu dia sangat mencintaiku dan menyesali sikapnya tadi malam, karena pagi ini aku mendapat bunga mawar merah sebagai permintaan maafnya. Dia berlutut di depanku dan berkata, "Maafkan aku Mala sayang! Aku nggak bermaksud menyakitimu karena aku menyayangimu, sayang.". Kuterima bunga darinya, dan kita berdamai lagi. Aku takut meninggalkannya. Aku tak punya teman lagi selain dia. Aku terasing, aku sendiri, aku sepi. Bagiku, hanya ada Bagas tercinta. Bergulirnya hari, Bagas semakin menggila. Kadang dia memukulku, kadang menendangku, membanting tubuhku ke dinding hingga tulangku serasa remuk, bahkan mencekikku. Tapi aku tahu dia sangat mencintaiku dan menyesali sikapnya tadi malam, karena pagi ini aku mendapat bunga mawar merah sebagai permintaan maafnya. Dia berlutut di depanku dan berkata, "Maafkan aku Mala sayang! Aku nggak bermaksud menyakitimu karena aku menyayangimu, sayang." Kuterima bunga darinya, dan kita berdamai lagi. Tak ada yang tahu pertengkaran kami. Semua terkunci rapat dalam kamarku. Sampai akhirnya kulihat ibu menemukanku tergeletak setengah sadar di lantai kamar dan menjerit, "Kumala!!!" Semua tampak putih, seperti berada pada ruang yang kukenal. Ya, aku berada di rumah sakit. Ibu mencoba menolongku. Tapi terlambat. Kali ini dia memberiku bunga mawar merah, seperti hari-hari sebelumnya. Bukan saja untuk mengungkapkan rasa cintanya padaku. Bukan saja meminta maaf padaku lagi, lagi, dan lagi. Melainkan hari ini adalah hari istimewaku. Hari ini hari pemakamanku. Ah, seandainya aku mampu dan berani meninggalkannya. Mungkin hari ini aku tak akan mendapat bunga mawar merah yang indah lagi dari kekasihku, Bagas. Kini aku masih berdiri di atap gedung rumah sakit yang menjulang bagai mencakar langit. Malam ini sunyi mencekam. Aku sendirian. Sendiri menunggu jemputan Sang Malaikat dari tempat tinggi menjulang dan dingin ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun