Mohon tunggu...
Dhini Oktavianti
Dhini Oktavianti Mohon Tunggu... Freelancer -

Jalan-jalan, Belanja, Kuliner, Belanjaa.. ^_^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FFA] Angga dan Ayah

21 Oktober 2013   12:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:14 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dhini Oktavianti

Nomor: 260

“Angga.. Angga.. Angga, main yuk!” teriak Rendi, Randy, dan Anggi bersamaan di depan rumah berpagar hijau nomor 44.

Mendengar teriakan teman-temannya, Angga berlari kecil menghampiri ketiga sahabatnya keluar pagar. “Sebentar yaa.” Setelah Angga merespons ajakan temannya, ia melihat jam dinding. Pukul 3 sore. Angga berpikir sejenak, ia ingat betul bahwa pukul 3 sore ia harus pergi ngaji di masjid kompleks rumahnya.

Angga adalah anak satu-satunya di keluarga Manggala, berusia 10 tahun. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri. Berasal dari keluarga sederhana, Angga dididik dengan ketat dan disiplin oleh sang ayah.

Angga sempat tergoda untuk ikut bermain dengan teman-temannya tetapi saat ia ingat wajah ayahnya yang marah, ia mengurungkan niatnya. Angga memutuskan untuk tidak ikut bermain dengan teman-temannya. Ia pun menghampiri teman-temannya di depan rumah sambil membawa tas plastik hitam berisi buku tulis, Iqro, dan pensil kayu. Ia mengunci pintu rumah dan pintu gerbang lalu menyelipkan kunci di saku celana panjang berwarna cokelat.

“Aku ga ikut main ya. Mau ngaji dulu.” ujar Angga sambil menatap ketiga temannya bergantian.

Ada kekecewaan dibalik raut wajah ketiga sahabatnya. Ada perasaan tidak enak merayap di hati Angga. Cepat-cepat ia menambahkan, “pulang ngaji, aku langsung menyusul kalian ya.”

Randy dan Rendi mengangguk mantap sambil tersenyum.

“Kalau begitu kita antarin kamu ke masjid ya. Kita jalan bersama.” Ujar Anggi, sahabat terdekat Angga.

Mereka berempat pun berjalan beriringan menuju masjid mengantarkan Angga ke masjid kompleks.

***

Satu jam pun berlalu, Angga mencium tangan ustadz Arif, sang guru ngaji, menandakan bahwa kegiatan mengaji sudah selesai. Ia pun berlari-lari kecil, memakai sandal berwarna biru dan berlari menghampiri teman-temannya yang bermain di kali belakang kompleks.

“Anggi! Rendi! Randy!” teriak Angga sambil berlari dan melambaikan tangan kanan ke arah sahabatnya. Ketiga sahabat Angga itu pun menoleh dan tersenyum kepada Angga. Anggi yang sedang duduk di tepi kali bersorak-sorak sambil loncat-loncat kesenangan melihat Angga. Rendi dan Randy yang berada di sungai sedalam 35 cm tidak kalah hebohnya menyambut kedatangan Angga.

“Kalian lagi apa?” tanya Angga sesampainya di sebelah Anggi sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

“Lagi nangkap ikan cere. Banyak lhoo.” Jawab Anggi sambil membuka tas plastik putih yang ia pegang dan menunjukannya ke Angga. “Banyak kan?”

Bola mata Angga membulat melihat banyaknya ikan cere yang berenang-renang di tas plastik putih. Ia pun mengangguk sumringah ke arah Anggi. Cepat-cepat ia membuka sandal kesayangannya dan mencemplungkan kakinya satu per satu ke kali.

Saking senangnya, Angga lupa bahwa ia sangat dilarang keras oleh sang ayah. Bayangan Ayahnya yang marah jika tahu Angga pergi bermain di sungai tidak dipedulikannya. Yang ia tahu bahwa ia sangat senang kalau bermain air bersama para sahabat. Ia pun menangkap ikan-ikan cere dan memasukannya ke tas plastic putih yang dipegang Anggi. Sekujur tubuhnya basah kuyup.

Anggi yang mengetahui bahwa Angga dilarang keras oleh ayahnya bermain di kali mengingatkannya, “Angga, bajumu basah. Nanti ayahmu marah kalau tahu kamu main di kali.”

“Tidak akan. Kan ayahku ga tau” jawab Angga enteng tanpa menatap Anggi. Anggi terbengong melihat kelakuan sahabatnya yang kesenangan bermain air di sungai.

***

Tanpa Angga, Anggi, Rendi, dan Randy sadari, Agung, salah satu teman satu komplek mereka melihat dengan sedih keakraban mereka berempat. Ada rasa sedih karena ia merasa tersisihkan. Ia pun cemberut dan berjalan pulang ke rumahnya.

Saat diperjalanan pulang, Agung melihat mobil kijang hitam berjalan dari arah kejauhan. Agung tahu bahwa itu adalah mobil Pak Manggala, ayah Angga. Agung pun mengurungkan niatnya untuk pulang dan berlari menuju sungai tempat Angga dan kawan-kawan bermain.

Angga yang sudah mengenakan sandal biru kesayangannya dan bersiap pulang, melihat sosok Agung berlari kencang ke arah mereka berempat. Agung yang menyadari bahwa Angga melihat ke arahnya, langsung teriak.”Angga, ayahmu pulang!”

Walau Angga tidak mendengar jelas perkataan Agung, ia menyadari gerak bibir dan mimic wajah Agung yang panik bahwa sang Ayah sudah hampir sampai rumah. Ia buru-buru berlari menuju rumahnya yang berbeda dua blok dari rumahnya. Sempat terlihat hidung mobil ayahnya yang muncul di ujung blok. Ia semakin panic dan berlari semakin kencang dengan membawa tas plastic hitam berisi perlengkapan ngajinya. Sesampai di rumah, langsung ia membuka pintu gerbang dan pintu rumah dengan kecepatan maksimal kemudian mengambil handuk dan mandi.

***

Pak Manggala yang sedang menyetir keheranan melihat Agung, salah satu teman anaknya berlari dengan kencang dan menuju pinggir sungai berloncat-loncat. Tidak lama ia melihat sosok anaknya yang berlari dengan kencang dengan baju basah. Walau jarak diantara mereka masih jauh tapi Pak Manggala bisa mengenali sosok anak satu-satunya itu. Tanpa diceritakan, pun ia tahu bahwa Angga habis bermain di sungai.

Ada rasa geram, khawatir, dan lucu melihat kelakuan anaknya yang diam-diam bermain di sungai. Lucu karena ia melihat bagaimana usaha anaknya mendahului dirinya sampai ke rumah. Pak Manggala dengan bijak memutuskan untuk memperlambat laju mobilnya untuk memberikan kesempatan kepada sang anak membersihkan tubuhnya di rumah dengan tenang.

***

Kaos lengan pendek berwarna ungu dan celana pendek berwarna cokelat sudah Angga pakai. Baju yang ia kenakan bermain di sungai pun sudah dimasukan ke dalam keranjang cucian. Ia mendengar mobil ayahnya memasuki garasi, cepat-cepat ia keluar kamar dan menyambut ayahnya yang sudah di depan pintu rumah. Angga menyalami tangan sang ayah dengan hormat. Angga masih mengira sang ayah tidak tahu bahwa ia habis bermain di sungai.

Tidak sempat Angga berbalik, ayah berdehem dan melihat ke arahnya tajam. Angga ketakutan tapi berusaha tenang dan bertanya, “Ada apa, Yah?”

“Kamu habis bermain di sungai ya?” tanya Pak Manggala kepada anak kesayangannya itu.

Angga yang menyadari bahwa sang ayah mengetahui kelakuannya hanya bisa diam dan menunduk menatap ibu jari kakinya. “Iya.” Jawab Angga lemah.

“Kenapa? Kan ayah sudah larang kenapa kamu masih main di sungai?” tanya sang Ayah dengan nada marah.

Anak umur 10 tahun ini makin terdiam dan ketakutan mendengar nada bicara ayahnya yang meninggi. “Angga.. seneng….main… di sungai. Tapi….Angga mainnya pulang ngaji.” jawabnya terbata-bata dan lemah.

Mendengar jawaban anaknya yang jujur, Pak Manggala sedikit menurunkan nada bicaranya. “Besok dan selanjutnya, kamu di rumah saja. Tidak usah main lagi.” Ucap pak Manggala tegas dan dingin sambil berlalu dari hadapan anaknya.

Angga yang mendengar keputusan ayahnya sedih dan menangis terisak. Ia menyesal kenapa melupakan larangan ayahnya begitu saja. Ia tidak menyangka bahwa sang ayah akan melarangnya bermain lagi. Ia merasa kakinya lemas dan langsung jongkok di tempat ia berdiri sambil menangis diam-diam dan mengusap air matanya yang mengalir.

***

Seusai makan malam, Angga dipanggil Pak Manggala ke ruang tamu. Pak Manggala duduk di sofa panjang berwarna hijau. “Angga, duduk sebelah ayah.” Angga masih ketakutan dan sedih segera duduk di samping kiri sang ayah, masih menunduk dan tidak berani menatap wajah ayahnya.

“Angga, angkat kepalamu dan lihat ayah.” Ujar Pak Manggala. Angga menatap wajah ayahnya sambil ketakutan. Pak Manggala menatap wajah anaknya lekat-lekat. “Angga, kamu tahu kenapa Ayah tadi marah dan melarangmu main?”

“Tau, Yah. Karena Angga ga dengerin perkataan ayah. Ayah ngelarang Angga main di Sungai.”

“Iya. Tapi kamu tahu apa alasan utama ayah marah?”

Angga memutar matanya dan kembali menatap wajah sang ayah, menggeleng.

“Ayah kuatir sama kamu. Ayah takut kamu hanyut di sungai. Apalagi kamu mainnya sama teman-teman seumuran kamu dan tidak ada yang mengawasi. Kalau kamu hanyut di sungai, nanti ayah gimana? Kamu kan anak satu-satunya ayah. Ayah kuatir sama kamu.”

Angga masih menatap wajah sang ayah dan melihat sosok lembut di balik galaknya sang ayah.

“Ayah sayang sama kamu. Kamu paham maksud ayah sekarang, Ga?” tanya Pak Manggala sambil mengelus rambut sang anak.

“Paham Yah. Angga minta maaf. Angga ga akan ngulangin lagi.”

“Iya. Kamu tetap boleh main sama teman-teman kamu. Tapi tidak boleh ke kali. Kamu bisa janji?”

“Bisa, Yah. Angga janji.” Ujar Angga sambil mengangguk mantao.

Pak Manggala tersenyum mendengar perkataan anaknya dan memeluk erat-erat. Angga kini tidak lagi melihat sosok galak sang Ayah. Ia hanya melihat sosok ayahnya yang sebenarnya lembut dan penyayang.

NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Festival Fiksi Anak!

Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun