Transjakarta atau yang biasa kerap disapa penggunanya dengan sebutan Tije ini, punya ikatan serta tempat istimewa tersendiri di dalam kehidupanku. Tak hanya sekedar sebuah armada yang memudahkan akses orang-orang untuk bermobilitas, ada banyak hal-hal yang cukup filosofis yang bisa aku dapatkan ketika menaiki Tije ini.
Awalnya aku mengira aku sangat suka menaiki Tije karena di daerah asal tempat aku tinggal tidak ada mode transportasi yang akses, rute, dan jumlah armadanya tidak sebanyak dan semudah Tije. Tetapi setelah menelaah lebih dalam, ada banyak hal-hal yang aku pelajari dan yang aku dapatkan selama berpergian dengan Tije.
Awal mula aku suka berpergian dengan Tije ini karena aksesnya yang cukup terjangkau dan tarifnya yang murah, sangat membantu diriku sebagai anak rantau yang harus bijak menggunakan uang. Tije juga membantuku untuk terbiasa berpergian dengan mengandalkan transportasi yang dimiliki manusia alias kaki (berjalan) saat berpergian.
Dan baiknya pun aku jadi terbiasa berjalan kaki kemana-mana, dan tidak menyangka sekarang jika jarak satu atau dua kilometer juga terbilang jarak yang cukup dekat bagiku jika ingin melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sehabis dari halte pemberhentian terdekat.
Entahlah rasanya seru saja melihat aktivitas orang-orang yang berlalu lalang saat berpergian dengan Tije.
Mulai dari ada yang menyempatkan untuk melakukan sesuatu atau hal-hal yang disukai atau menyenangkan di tengah hiruk-pikuk jalanan seperti tidur, mengerjakan tugas sekolah, kuliah, atau pekerjaan, mendengarkan lagu atau podcast, menonton serial drama atau film, membaca buku. Bahkan tak jarang juga aku menemukan orang-orang yang menyempatkan waktunya untuk membaca serta mempelajari kalam (firman) Sang Pencipta Alam Semesta.
Tak hanya membantuku untuk berlatih memanfaatkan waktu sebaik dan semaksimal mungkin, saat berpergian dengan Tije juga aku jadi belajar untuk memupuk kesabaran dan ketahanan diri dalam menghadapi persoalan kehidupan.
Mulai dari belajar bertahan dan bersabar saat terpaksa harus berdempet-dempetan dengan penumpang lain kala menghadapi kemacetan jalanan Ibukota. Bagaimana aku melihat gambaran langsung betapa kerasnya kehidupan terlebih di Ibukota yang sepertinya tidak mengenal kata lelah dan berhenti. Melihat mata yang penuh lelah dan kantuk dari para pekerja Ibukota, pemulung yang mendorong gerobak, hingga orang-orang yang membawa dagangannya saat menaiki Tije.
Pernah juga beberapa kali aku menemui pemandangan orang-orang yang terpaksa mendorong motornya yang mogok di tengah hiruk-pikuk kemacetan di jalanan, dan tentunya membuatku lagi-lagi bersyukur, di saat aku mengeluh karena terpaksa berdiri lama saat menaiki Tije, aku tak perlu bersusah payah mendorong kendaraan saat berpergian.
Tak hanya itu aku pun jadi belajar bagaimana membangun empati dan kepekaan dengan lingkungan sekitar seperti mengalah memberikan bangku kepada penumpang prioritas seperti ibu hamil, lansia, dan teman-teman disabilitas. Menciptakan ruang aman dan nyaman antar sesama penumpang.
Melihat bagaimana teman-teman Pramusapa Tije dan penumpang lain yang membantu mengarahkan atau menuntun teman-teman tunanetra atau teman-teman disabilitas lainnya saat menaiki Tije. Pun juga sesederhana membantu memberikan petunjuk saat ada penumpang lain seperti Ibu-ibu atau pendatang baru Ibukota yang kebingungan arah rute perjalanannya, rasanya sudah cukup bahagia sekali.
Entah karena aku pun pernah mengalami posisi serupa jadi rasanya ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri saat bisa membantu orang-orang yang saat kebingungan mengenai arah atau rute tujuannya.
Ya, tanpa sadar juga hal tersebut membantuku melatih kemampuan kognitifku dengan menghafal beberapa koridor dan rute tertentu. Dan jujur sampai sekarang aku masih enggak nyangka dulu yang awalnya aku ragu bisa mengingat beberapa rute dan koridor saat akan pergi ke suatu tempat, sekarang aku malah bisa menghafal beberapa rute dan koridor dari Tije huwa.
Saking sukanya dengan Tije ini, bahkan jika teman-teman aku mengajakku berpergian untuk mengeksplor kota Jakarta, aku selalu memberikan syarat untuk mau diajak berjalan kaki dan menaiki transportasi umum, terlebih Tije. Karena aku juga ingin orang-orang atau teman-temanku juga merasakan keseruan yang kurasakan saat menaiki Tije.
Memang beberapa ada yang mengeluh, tapi beberapa juga ada yang akhirnya bisa merasakan keseruan yang kurasakan saat menaiki Tije. Memang naik Tije belum cukup efisien secara waktu mengingat juga beberapa rute tidak ada koridor atau jalur khusus sendiri untuk melewati kerumunan kendaraan bermotor.
Tetapi ternyata hal tersebut tanpa aku sadari bisa membantuku untuk melatih kemampuan memanajemen waktu dengan mengatur jam bepergian agar bisa tepat sampai di lokasi tujuan.
Dan tentunya juga membantuku untuk memanfaatkan waktu sebaik dan semaksimal mungkin saat terjebak di tengah hiruk-pikuk kemacetan, entah untuk membaca buku, mendengarkan lagu-lagu kesukaanku, atau bahkan merehatkan sejenak pikiran dari segala padatnya dan riuhnya kehidupan yang aku jalani.
Ya, selain jadi teman perjalanan saat bepergian, bisa dibilang juga Tije teman yang menjadi saksi bagaimana aku menerima, memahami, meresapi, merenungi, dan merefleksikan berbagai hal atau persoalan yang menghampiri kehidupanku.
Bagaimana ia menjadi saksi kala aku menemukan ide atau inspirasi, kegembiraan yang aku rasakan saat kabar baik datang menghampiri, juga menjadi teman aku berbagi meluapkan tangis dan emosi saat aku mengalami patah hati (jiakhh wkwk), juga badai masalah dan cobaan yang membuatku berada di titik terendah dalam kehidupanku. Dan tentunya membantuku menemukan secercah harapan dan asa untuk terus bertahan dan berjalan menjalani lika-liku kehidupan.
Mengajarkanku untuk mengambil jeda sejenak untuk menikmati sepi dan senyap yang tercipta di alam pikiranku supaya masih tetap waras di tengah hiruk-pikuk keramaian penumpang juga riuhnya jalanan Ibukota.
Begitulah bagaimana pertemuan, perjalanan, juga petualanganku bersama Tije yang punya tempat istimewa tersendiri juga menjadi saksi serta teman perjuangan yang menemani suka duka kala kumenjalani lika-liku kehidupan.
___
Tulisan blog ini merupakan penulisan ulang dari tulisan lama pada 10 Desember 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H