"Bonekanya lucu-lucu ya? Enaknya beli yang mana?"
"Ehm, suka wana pink, kan? Tuh ada yang babi, gemesin!"
"Lho, kok babi, sih? Kan haram!"
Wait, wait. Apa? Haram? Emang bonekanya mau dimakan?
Percakapan tersebut terjadi beberapa watu yang lalu, ketika saya menemani teman yang mau beli boneka untuk adik perempuannya. Rasa nggak sukanya sama babi sih, sah-sah saja. Yang menurut saya aneh, kenapa boneka harus diharam-haramin sih? Kan bukan buat nyantet. Terus, itu mbak-mbak yang jualan boneka jadi kafir, gitu?
Kawan-kawan, Islam memang mengharamkan umatnya makan babi. Garis bawahi kata makan, ya. Cuma karena mereka nggak bisa di makan, lantas mereka pantas dimusnahkan dari muka bumi gitu? Kan, nggak juga.
Kalau dipikir-pikir, sentimen publik terhadap babi ini sebenarnya juga terlihat dari lumrahnya penggunaan kata babi sebagai kata makian. Enggak tahu gimana sejarahnya, pokoknya babi adalah kata yang yahud buat ngata-ngatain orang.
Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, babi memiliki pengertian sebagai “(1) binatang menyusui yang bermoncong panjang, berkulit tebal, dan berbulu kasar; (2) kas umpatan yang sangat kasar; (3) nama kartu kecil (kartu ceki)”
Dilihat dari makna leksikalnya, babi memang sudah sah jadi kata umpatan. Sebegitu besar, kah kebencian masyarakat kita terhadap babi? Sampai-sampai Pusat Bahasa sebagai penyusun KBBI merasa perlu menyematkan definisi itu. Ini bahkan tidak terjadi pada anjing yang rasa-rasanya lebih sering dipakai untuk mengumpat.
Tapi, ya udahlah. Saya nggak bakal demo ke Pusat Bahasa juga kok. Nasi sudah menjadi bubur. Dan babi tetaplah babi. Maka dari itu, buat kalian yang menganggap babi itu nggak guna, saya punya beberapa informasi menarik.