Mohon tunggu...
Dhinar S. Kusumadwi
Dhinar S. Kusumadwi Mohon Tunggu... Lainnya - .

Pembaca yang menulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buku Bekas adalah Warisan Berharga Keluarga Kami

23 Agustus 2020   18:11 Diperbarui: 23 Agustus 2020   18:17 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku bekas. Kedengarannya sepele untuk sebagian orang, apalagi yang terbiasa keluar masuk toko semacam Gramedia untuk membeli buku best seller terbaru. Tapi untuk sebagian yang lain, boro-boro untuk beli buku baru, bisa beli bekas saja sudah alhamdulillah. Yang penting punya dan masih bisa dibaca, titik.

Sejak kecil saya sangat akrab dengan barang-barang bekas pakai, terutama buku. Bagi keluarga kami, buku adalah barang mewah dan susah didapat. Jelas saja, jangankan untuk beli buku, beli kebutuhan pokok saja harus diperhitungkan baik-baik, atau bisa-bisa dapur kami berhenti mengepul.

Bapak, sejauh pengetahuan saya, adalah petani yang paling banyak membaca di lingkungan kami, atau mungkin seluruh desa. Baca apa saja, koran bekas, selebaran kajian dari masjid, dan selebaran-selebaran lain yang saya nggak paham juga apa gunanya. Dengan kesadaran akan pentingnya literasi, Bapak berupaya menyediakan bahan bacaan bagi kedua putrinya yang mulai memasuki usia sekolah. Apapun bentuknya.

Saya menggolongkan bacaan bekas ini ke dalam beberapa tingkatan kasta, jenis yang paling saya ingat yaitu:

1. Komik Donal Bebek

Di tempat pertama, ada komik terbitan M&C Comics yang hadir dalam ukuran majalah. Isinya bercerita tentang petualangan seru tokoh utamanya, Donald Bebek, dan tokoh-tokoh Disney lainnya, seperti Miki Tikus, Paman Gober, serta trio Kwak, Kwik, dan Kwek yang gemesin. Ceritanya bervariasi, unik, dan antimainstrem. Kalau biasanya cerita anak-anak mengajarkan teladan yang baik, komik ini lebih mengedepankan kisah yang imajinatif.

2. Majalah Bobo

Ini adalah majalah legendaris untuk anak-anak tahun 90-an.  Maskot majalah ini, Bobo si Kelinci akan menemani anak-anak dalam berkelana ke dunianya. Mempelajari banyak hal, mulai dari pengetahuan tentang hewan dan tumbuhan, hingga topik terkini seperti film dan buku. Banyak juga tokoh cergam lain yang tak boleh dilewatkan, misalnya Nirmala si Peri, Bona si Gajah Kecil, hingga Paman Kikuk dan kawan-kawannya.

3. Majalah bekas

Kategori ini berada satu kasta diatas koran bekas. Tentunya karena memuat banyak gambar dan lebih berwarna. Majalah pun beragam jenisnya. Dari Trubus yang membikin saya berandai-andai punya taman di rumah, lalu Bola yang dari sana saya mulai mengenal Juventus. Terakhir, yang paling unik, majalah ponsel. Sebenarnya saya nggak yakin apa manfaatnya buat saya. Isinya hanya daftar handphone beserta harganya yang pastinya nggak bakalan kebeli dan info-info macam 'Tips Menjaga Baterai Handphone Awet' - padahal waktu itu kami belum punya handphone, jadi gimana mau jagain baterainya?

4. Koran bekas

Mulai dari JawaPos, Kompas, Surya, dan beragam merk lain. Pokoknya masih bisa dibaca, pasti Bapak bawa pulang. Ini memang cuma koran bekas, tapi bagi saya, membacanya terasa tidak kalah mengasyikkan. Rubrik yang paling sering saya santroni adalah bagian hiburan seperti cerpen, komik, puisi hingga teka-teki yang tak jua berhasil diisi sampai tuntas.

5. Lainnya

Buku cerita anak masuk kejajaran kasta terendah dalam daftar, bukannya saya nggak suka ceritanya, biasanya buku jenis ini penampilannya yang paling nggak menarik. Juga buku-buku jenis lain, misalnya RPUL yang jadi bacaan wajib anak SD jaman dulu, atau buku Ensiklopedia Kebudayaan Indonesia yang masih sebelas-duabelas isinya.

Well, prinsip keluarga kami memang sederhana. Luarnya boleh burik, yang penting isinya bermanfaat.

Prinsip ini yang sekarang saya coba wariskan kepada para keponakan. Mereka masih usia PAUD dan TK, tapi saya yakin bahwa kebiasaan membaca harus dipupuk sejak kecil. Akses buku di desa memang susah dan sekolah pun hanya punya buku yang terbatas. Kalau punya sendiri, walaupun bekas, ada ilmu yang bisa diambil dan kebiasaan yang semoga membawa kebaikan.

Saya rasa ini juga semacam balas dendam. Dulu tidak banyak orang, terutama keluarga, yang peduli dengan kualitas pendidikan anak-anak. Pikir mereka, anak-anak masuk sekolah, pulang mengerjakan PR, naik kelas, lalu sudah. Cukup itu saja. Padahal, pendidikan tidak efektif jika hanya melalui guru dan dilakukan di kelas. Keluarga punya andil yang besar dalam membentuk kepribadian dan kebiasaan anak. Mereka ingin anak punya nilai akademis yang baik, tapi tidak turut serta mengupayakan hal tersebut. Tentu saja, kondisi ekonomi, budaya, dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah berpengaruh pada hal ini. Seringkali, mereka bukannya tidak mau, tapi tidak mampu.

Saya beruntung punya Bapak yang mendukung putri-putrinya sepenuhnya. Bapak mengupayakan banyak hal untuk kami. Dan mungkin ini memang saatnya saya mengambil peran itu untuk para keponakan tersayang. Saya menyadari ada beberapa hal yang tidak bisa diberikan orang tua mereka, mungkin saya bisa menambal kekosongan itu sedikit - berbekal buku-buku bekas murahan dan semangat literasi yang semoga nggak murahan juga. Bagi saya, penting bagi anak-anak untuk mengetahui, bahwa diluar desa kecil kami, ada dunia luas yang menanti untuk dijelajahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun