Tanggal 9 Desember selalu diperingati sebagai " Hari Antikorupsi Sedunia". Bagi Indonesia, Hatta dikeknal sebagai sosok atau tokoh yang sangat tegas melawan perilaku korupsi. Dalam buku berjudul "Mengenang Bung Hatta" karya Iding Wangsa Widjaja (terbit 1988), dikisahkan pada tahun 1970, Hatta melakukan kunjungan ke Tanah Merah, Irian Jaya. Meskipun sudah bukan lagi pejabat pemerintah, pihak yang mensponsori perjalanan Hatta ke Papua masih memperlakukan Hatta layaknya pejabat tinggi Negara. Setiba di Irian Jaya, seorang pejabat pemerintahan pada masa itu menyodori amplop tebal berisi uang saku.
Seketika pada saat itu juga secara sepontan Hatta menolak amplop tersebut. Menurutnya, dia sudah merasa sangat bersyukur mendapat kesempatan ke daerah tempat dia pernah dibuang oleh Belanda. Bagi dia, amplop berisi uang tersebut milik rakyat dan harus dikembalikan kepada rakyat. Saat mengunjungi wilayah Digul, Hatta meminta pejabat yang akan memberinya amplop tersebut untuk membagikan uang di Digul. Hatta prihatin dengan kondisi masyarakat disana pada saat itu.
Iding Wangsa Widjaja penulis buku Mengenang Bung Hatta tersebut, selama puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi Hatta. Dia mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditegur Hatta karena menggunakan tiga helai kertas dari kantor Sekretariat Wakil Presiden. Iding Wangsa Widjaja dianggap bersalah karena menggunakan asset Negara berupa 3 helai kertas tersebut untuk membalas surat yang bersifat pribadi. Hatta kemudian mengganti kertas tersebut dengan uang pribadinya.
Hatta dikenal rigid dan detil memisahkan mana keperluan yang bersifat pribadi dan mana keperluan yang bersifat dinas Negara. Atas kesederhanaan, kejujuran, dan integritas yang dimilikinya, sejumlah tokoh  menjadikan Hatta sebagai tokoh panutan menegakkan perilaku antikorupsi. Sejak 9 April 2003, perkumpulan BHACA (Bung Hatta Anti-Corruption Award) dihimbau oleh Theodore Pemadi Rachmat dan Teten Masduki menyelenggarakan pesta penganugerahan Bung Hatta Award yang diserahkan kepada para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi yang dinilai memiliki komitmen antikorupsi. Beberapa tokoh yang pernah menerima penghargaan tersebut, antara lain, Tri Risma Harini (Walikota Surabaya), Basuki Tjahaja Prunama (Gubernur DKI Jakarta), dan Joko Widodo (Presiden RI), Putri Bung Hatta, Meutia Hatta, menyerahkan penghargaan Bung Hatta Anti-corruption Award (BHACA) 2017 kepada Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah di Jakarta.
Lily Gamar Sutantio, dalam buku Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan tokoh Perjuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan karya Rohisan Anwar yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2010), menjadi saksi keberhasilan Hatta menghidupkan koperasi di Banda Neira selama masa pengasingannya pada 1930-an. Menurut putra asli Banda yang pernah dididik langsung oleh Hatta itu, ada dua orang lagi yang ikut membantu Hatta membangun koperasi di Banda, yakni Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri
Awalnya mereka menggagas sebuah organisasi social dan pendidikan yang bergerak dibidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Dinamakan perkumpulan Banda Muda (Perbamoe), ketiganya menjadi donator tetap. Hatta dipercaya mengurus bidang koperasi Perbamboe. Dari sinilah dia mencontohkan model urundaya masyarakat untuk kesejahteraan bersama. Hatta dan Pebamoe memiliki cara sendiri dalam menarik minat masyarakat Banda terhadap koperasi. Bila ada perahu datang, muatannya diambil langsung oleh koperasi Perbamoe untuk dijual kembali ke penduduk. Dengan memotong rentetan jalur distribusi ini, harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya.
Alhasil, penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah, petani maupun nelayan tidak rugi, dan koperasi tetap memperoleh keuntungan yang cukup untuk kas perkumpulan. Dari kas itulah Perbamoe mendapat modal untuk menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk secretariat. Kas itu pula yang digunakan Hatta, Sjahrir, dan Iwa untuk membangun perpustakaan yang koleksi dan bacaannya bisa dinikmati oleh semua orang.
Hatta sendiri mempelajari ilmu koperasi di Skandinavia. Saat sedang menempuh pendidikan di sekolah ekonomi di Rotterdam, Belanda, pada 1925 dia mengunjungi Denmark, Swedia untuk belajar tentang koperasi. Menurutnya, koperasi cocok diterapkan di Negara-negara yang sedang merintis perekonomian rakyat. Pasca-kemerdekaan, Indonesia berusaha membangkitkan perekonomiannya yang nyaris nol. Pemerintahan Soekarno-Hatta menjadikan koperasi salah satu andalan. Meurut Patta Rapanna dalam menembus kesulita Ekonomi, koperasi jadi usaha bersama untuk memperbaiki kesetabilan ekonomi masyarakat setelah terlepas dari kurungan penjajah. Lewat jabatan koperasi, Kementerian Kemakmuran mendistribusikan keperluan sehari-hari dengan harga terjangkau.
Hatta melalui pidatonya juga terus menyuarakan pentingnya koperasi untuk membangun perekonomian rakyat yang baik. Keseriusan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan koperasi pun terbukti  dari terselenggaranya Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1947. Bedasarkan kongres tersebut, tanggal 12 Juli ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Bagi Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar sebuah atau nonpasar dalam masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam system pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.
Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani nonanggota dengan maksud menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan mandaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah system koperasi akan mentransformasikan system ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi system yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.