Negara Indonesia mengkategorikan korupsi merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang menjadi bagian tindak pidana khusus. Disebut kejahatan luar biasa karena daya rusaknya yang besar, korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat yang sangat mempengaruhi sendi-sendi sektor kehidupan suatu negara dan masyarakat sehingga menghambat pembangunan bangsa.Â
Banyak studi dan berbagai literatur yang secara masif mengkampanyekan anti korupsi, tetapi tetap saja korupsi seakan menjadi 'budaya' di Indonesia. Gagasan anti korupsi dari 'luar' tidak akan berpengaruh atau berlaku jika tidak diikuti dari 'dalam' diri. Artinya bahwa kesadaran diri untuk mengatakan tidak kepada korupsi akan lebih dibutuhkan. Perubahan perilaku melawan korupsi dimulai dari individi melalui kesadaran tinggi dan vibrasi yang positif.
Self awareness atau kesadaran diri merupakan kemampuan sesorang dalam memahami pikiran, perasaan dan tingkah laku diri serta mampu mengidentifikasi perilakunya sendiri. Kesadaran diri akan hukum korupsi dan dampaknya terhadap sosial masyarakat akan mempengaruhi keputusan-keputusan dalam hidupnya. Memahami diri sendiri dan membangun integritas moral adalah pondasi dalam melawan korupsi. Ketika seseorang menyadari bagaimana korupsi merusak masyarakat, menghambat pembangunan, dan memperburuk ketidaksetaraan, mereka lebih mungkin tergerak untuk bertindak melawannya. Jika seseorang memiliki standar moral dan etika yang kuat, mereka cenderung merasa terganggu dan terdorong untuk menentang praktik korup. Pentingnya kesadaran yang dimulai dari diri akan membentuk kesadaran kolektif untuk melawan korupsi.
Dr. David R. Hawkins dalam bukunya Power vs Force: The Hidden Determinants of Human Behaviour mengidentifikasi peta kesadaran manusia. Peta Kesadaran David Hawkins adalah skala yang mengukur tingkat kesadaran manusia berdasarkan emosi, pikiran, dan perilaku mulai dari 0 hingga 1000. Setiap manusia memancarkan energi dan vibrasi/getaran tertentu tergantung kesadarannya. Hal ini menarik jika melihat pencegahan korupsi dari perspektif energi dan vibrasi yang dipancarkan oleh manusia.
Secara sederhana power merupakan energi positif dan force adalah energi negatif. Jika melihat peta kesadaran diatas, tindakan korupsi merupakan force yang berada di level keinginan dan ketakutan. Dalam hierarki kesadaran yang dijelaskan Hawkins, energi force selalu berasal dari ego. Ini adalah energi yang mencoba mengendalikan dan memanipulasi orang lain untuk keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan kebenaran, integritas, atau kesejahteraan orang banyak. Adanya kemelekatan terhadap uang, jabatan, dan hasrat yang mendorong tindakan korup yang mementingkan keuntungan pribadi dan golongannya.  Mereka yang terlibat dalam korupsi sering kali merasa terdorong oleh rasa takut kehilangan kekuasaan, takut akan ketidakcukupan, atau ketakutan terhadap ancaman dari luar. Energi ini memicu perilaku manipulatif dan eksploitatif, yang mencoba memaksakan kehendak pribadi atas orang lain atau sistem tanpa peduli pada dampak jangka panjangnya. Sebaliknya, power adalah energi positif yang berasal dari kesadaran yang lebih tinggi. Energi yang berasal dari cinta kasih, kebenaran, dan ketulusan.Â
Level kesadaran power merupakan fondasi bagi terciptanya keadilan, integritas, dan kesejahteraan yang hakiki. Dengan memilih energi power, seseorang tidak hanya menghindari korupsi, tetapi juga berkontribusi pada kehidupan yang lebih harmonis, seimbang, dan penuh makna, baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.Kita perlu menyadari bahwa setiap tindakan, pikiran, dan perasaan kita memancarkan energi baik power maupun force dapat mempengaruhi lingkungan di sekitar kita. Dengan meningkatkan kesadaran diri, kita berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, adil, dan berintegritas. Energi power yang kita pancarkan akan menjadi kekuatan yang mampu menyembuhkan lingkungan sekitar kita, mencegah praktik-praktik korupsi dan curang. Korupsi tidak akan memiliki ruang untuk tumbuh di lingkungan yang dipenuhi oleh kesadaran yang tinggi.
Sejalan dengan konsep power dan force, kita perlu menerapkan stoikisme sebagai panduan moral dan etika dalam menjalankan kehidupan. Power dalam konteks ini merujuk pada kekuatan batin yang lahir dari integritas, keteguhan hati, dan prinsip yang tidak tergoyahkan oleh godaan eksternal. Sebaliknya, force adalah upaya memaksakan kehendak dengan cara yang tidak etis, yang sering kali menjadi dasar bagi tindakan korupsi. Stoikisme mengajarkan bahwa kita harus fokus pada apa yang bisa kendalikan dalam diri, hal-hal diluar diri adalah keadaan yang tidak bisa kendalikan. Yang bisa kendalikan adalah emosi, perasaan dan tindakan kita serta bagaimana kita bereaksi terhadap lingkungan. Dengan melepaskan ego dan godaan materi dari luar diri akan menjadi pondasi kuat dalam membangun budaya anti korupsi di mana integritas adalah nilai utama yang menuntun setiap individu untuk bertindak berdasarkan kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Pentingnya pendekatan holistik dalam upaya pengendalian korupsi. Tidak hanya kita bangun dalam perspektif hukum yang sudah sangat jelas ancaman yang menakutkan, tetapi juga perlu meningkatkan kesadaran pribadi. Dimulai dari diri sendiri sebagai bagian dari upaya kolektif dalam memerangi korupsi. Dengan mengubah perilaku di tingkat pribadi, kita turut memperkuat budaya antikorupsi yang berdampak pada sistem pemerintahan yang lebih bersih, adil dan berintegritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H