"Bola dipegang Roy Keane, dioper ke Paul Scholes, dengan visinya Sang Pangeran Jahe melihat celah kosong di sebelah kanan, bola dioper kesana lalu berlari dari sektor kanan seorang David Beckham, dengan teknik mengumpan bola yang tinggi diarahkan ke kotak penalty, lalu bola disambar oleh Dwight Yorke, GOOOLLL!"
Mungkin, fans Manchester United (baca : MU) rindu dengan permainan energik, atraktif, visioner dan menyerang tanpa ampun dan bertahan kokoh. Perkenalanku dengan MU terjadi pada tahun 1999. Setelah event World Cup 1998, aku mengikuti Premier League.Â
Saat itu belum suka klub tertentu, semua tim aku tonton. Namun, ketika melihat MU aku langsung jatuh cinta. Jatuh cinta dengan permainan dan passion untuk menang. Puncak kenikmatan menjadi fans awal MU adalah juara Liga Champion 1999 dengan meraih treble winners.
Tahun silih berganti tetapi masih ingat betapa bengis dan ganasnya Rooney muda. Cristiano Ronaldo yang suka pamer skill menjelma menjadi megabintang sepakbola dunia. Kokohnya duet Rio Ferdinand dan Nemanja Vidic bak tembok yang sulit digempur. Visi dari seorang Paul Scholes yang menjadi kreator lini tengah, David Beckham yang flamboyant dengan operan jitu dan tendangan pisangnya. Ruud Van Nistelrooy yang kejam di area kotak penalty.Â
Dan tidak lupa ada sosok 'ayah' bagi mereka, Sir Alex Ferguson, sang pelatih yang membawa, membangun dan menciptakan sejarah bagi MU selama 26,5 tahun. Ah, nostalgia apa ini.
Tahun 2014 menjadi new beginning, new era, new chapter MU dengan pelatih David Moyes, the chosen one yang dipilih Sir Alex sebagai suksesornya. Nahas, karir beliau hanya bertahan 8 bulan saja di MU.Â
Kemudian datang Lous Van Gaal yang selama 2 tahun menangani MU mempersembahkan 1 trofi Piala FA. Era Jose Mourinho (2016-2018) sedikit mentereng dengan memborong 3 piala 'skala kecil'. Dan tahun 2018 di era Jose Mourinho adalah terakhir MU memperoleh trofi piala.
Era Ole Gunnar Solksjaer menandai MU mulai menjadi bahan meme dan bulliyan  di media sosial, walau eranya tidak telalu buruk. Tapi MU tampil sebagai tim medioker. Yang ujungnya adalah 'pisah ranjang, pisah rumah' dengan Ole di tahun ketiganya menjabat sebagai pelatih MU.Â
Harapan muncul kembali ketika MU menunjuk Ralf Ragnick sebagai sukseso Ole. Julukan 'Bapak Gegenpressing' tersemat dibenak Ralf yang juga 'guru' dari Thomas Tuchel (pelatih Chlesea) dan Juergen Klop (pelatih Liverpool). Sangar. Tapi, sama saja. MU tidak makin sangar, tapi makin ambyar walaupun kedatangan Cristiano Ronaldo di awal musim.
Apakah semua ini karena salah pelatih? Tentu saja tidak. Banyak faktor yang mempengaruhi. Tengoklah tetangga sebelah Manchester City yang membangun tim nya sedari dini dengan filosofi pelatih yang kuat, visi yang jelas dan pemain yang mumpuni menjadikan saat ini 'raja' Premier League Inggris. Atau Liverpool yang sudah bangun dari tidur panjangnya, yang dibangun Juergen Klop dengan waktu yang tidak sebentar yang saat ini menjadi tim yang menakutkan.