Pernah juga ketika saya bertugas dengan dokter perempuan yang baru saja lulus koas. Masih saja ada pasien yang memanggil dokter perempuan tersebut sebagai suster dan perawat laki-laki sebagai dokter.
Sebutan seperti ini tentu saja cukup menguji kesabaran saya untuk menjelaskan kepada pasien dan keluarganya, bahwa saya adalah perawat dan mbak-mbak yang memeriksa pasien tersebut adalah dokter yang akan memeriksa.
Sebagai perawat di IGD, bukan sekali saya mendapatkan 4 pasien sekaligus dalam 1 waktu. Bayangkan Bed 1 berisi pasien dewasa yang mengeluh pusing-pusing, Bed 2 berisi pasien wanita yang pingsan, bed 3 berisi anak-anak yang kejang-kejang, sedangkan bed 4 berisi pasien suspect stroke yang harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas CT-Scan dan dokter spesialis syaraf.
Dengan beragam kasus tersebut, saya hanya memiliki 2 tangan, 2 kaki dan 2 belahan otak kanan dan otak kiri untuk mengerjakan semuanya. keadaan ini akan semakin crowded ketika ada keluarga pasien yang panik dan yang tidak sabar untuk segera masuk ruang rawat inap.
Emosi ini semakin diuji ketika dokter memberikan instruksi kepada saya untuk menginjeksi suntikan analgesik kepada pasien yang mengeluh nyeri hebat, namun pasien tersebut menolak disuntik karena takut jarum, di sisi lain keluarga pasien semakin menuntut saya agar rasa nyeri anggota keluarga yang sakit bisa segera hilang, kalau sudah begini saya merasa pengen nyanyi lagunya geisha, mengapa kau benar, dan aku selalu salah.
Dalam keadaan crowded dan pikiran burnout, jangan harap saya akan mengeluarkan senyum manis ala kasir di alfamart atau indomaret. Karena yang ada di pikiran saya saat itu hanyalah kondisi pasien, therapi yang resepkan oleh dokter dan urusan administrasi yang berkaitan asuhan keperawatan.
Suasana akan semakin runyam ketika ada salah satu keluarga pasien yang bertanya "mas, pasien sudah boleh masuk ruangan rawat inap?" padahal saya masih mempersiapkan set infus untuk pasien anak-anak yang sedang dehidrasi dan membutuhkan resusitasi cairan segera.
Dalam hati ini kadang ingin berkata kasar, namun perkataan itu cukup bertahan sampai kerongkongan tanpa bisa saya lafalkan layaknya Lord Jerinx yang meminta alamat email.
Ketika kunjungan pasien sepi, kami yang bertugas di UGD mungkin masih bisa menikmati bekal makanan atau sekedar membuat video tiktok. Namun ketika bed terisi penuh dengan berbagai kasus kegawatan, maka perawat yang bertugas-pun kerap mengalami burnout. Disinilah kesabaran, kejernihan berpikir dan ketahanan fisik diuji.
Burnout-pun akan semakin menjadi ketika ada pasien yang membutuhkan tindakan jahit luka dengan perdarahan/bleeding yang tidak kunjung berhenti. Dalam keadaan ini perawat dan dokter akan berusaha mencari pembuluh arteri untuk diikat sesegera mungkin agar perdarahan tidak semakin parah.
Pada waktu yang bersamaan, terdapat pasien di bed lain dengan keluhan nyeri dada yang teriak-teriak meminta pertolongan segera.Â