Unit Gawat Darurat bisa dikatakakan sebagai ruangan paling misterius, baik di Rumah Sakit ataupun Klinik Rawat Inap. Ruangan yang selalu stand by 24 jam tersebut harus selalu siap siaga jika mendapati pasien dalam keadaan apapun, mulai dari kasus serius seperti kegawatan jantung, perdarahan akibat trauma benda tajam dan dehidrasi berat hingga kasus sepele seperti sariawan yang konon bisa diobati dengan larutan penyegar cap badaq.
Saya berprofesi sebagai perawat yang bertugas di Ruang UGD, entah mengapa ruang UGD selalu menjadi tempat saya mencari nafkah dari awal saya memulai karier sampai saya menulis artikel ini.
Padahal sewaktu kuliah di Akper dulu, saya mendapatkan nilai C untuk mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Tentu saja secara de jure kompetensi saya sebagai perawat UGD saja patut dipertanyakan.
Namun secara de facto, bisa dikata 8 jam hidup saya berurusan dengan beragam kasus pasien kasus yang ada di UGD. Mulai dari anak yang kejang-kejang, bapak-bapak yang terkena sabitan clurit hingga mbak-mbak yang jatuh dari motor karena lebih fokus bikin Ig story daripada fokus berkendara.
Saat ini saya bekerja di Klinik Utama yang membuka pelayanan IGD 24 jam, fasilitas kesehatan ini bisa dikata bertempat agak jauh dari peradaban modern, hal ini disebabkan karena saya masih kerap melihat pasien atau keluarga pasien yang tidak memiliki nomor handphone.
Bahkan pernah suatu ketika saya meminta keluarga pasien untuk menuliskan nomor handphone sebagai syarat pendaftaran claim BPJS, tidak ada satupun penunggu pasien yang memilikinya, hingga akhirnya salah satu anggota keluarga pulang dengan ojek pangkalan untuk meminta nomor hp saudaranya.
30 menit kemudian keluarga pasien tersebut-pun datang dengan selembar kertas bertuliskan nomor hp. Sungguh demi mendapatkan nomor hape saja sebagian warga disini butuh perjuangan extra untuk mendapatkannya.
Di ruang UGD tempat saya bekerj, terdapat 4 bed dan 1 bed untuk tindakan bedah minor. Sedangkan saya berjaga seorang diri di ruangan tersebut. Apabila terdapat pasien yang datang maka saya akan menelpon dokter dan memintanya untuk segera datang ke UGD.
Jika dokter tidak kunjung datang, terkadang saya mendapatkan komplain dari keluarga pasien, "dok, ini pasien belum diresepin". Lah padahal saya perawat bukan dokter.
Tentu saja masyarakat disini cenderung menganggap semua perawat laki-laki adalah dokter, dan seluruh petugas perempuan yang ada di klinik adalah suster, entah dia petugas pendaftaran, ahli gizi, apoteker atau cleaning service sekalipun.