Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menahan Hawa Dingin dan Kerinduan Dieng Culture Festival

4 Agustus 2020   22:46 Diperbarui: 4 Agustus 2020   23:03 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, sebagian besar netizen di jagat twitter mengeluhkan tentang kedinginan yang memaksanya untuk berlindung di balik selimut. Hawa dingin ini pun seakan menjadi siksaan sendiri bagi para jomblo yang krisis akan pelukan.

Ya pelukan nyatanya akan membuat serangan hawa dingin tidak terlalu buruk, setidaknya pelukan mampu menyelamatkan manusia dari ancaman hipotermia seperti yang ada di salah satu adegan di film 5 cm.

Saya lahir di sebuah kota dengan hawa dingin yang hampir setiap hari saya rasakan. Kebiasaan dalam merasakan hawa dingin ini menjadikan saya tidak pernah tidur berselimut ketika saya merantau di Purwokerto yang memiliki suhu lebih panas.

Suhu dingin di Wonosobo tepatnya di daerah Dieng terkadang mencapai suhu minus sehingga embun bisa berubah menjadi es seperti bunga es di dalam frezzer.

Saking dinginnya pada tahun 2018 lalu Gugun Blues Shelter tidak bisa menyelesaikan permainan gitarnya ketika manggung di acara Dieng Culture Festival. Di tengah permainan melody-nya, sesekali blio menahan sakit karena tak kuasa menahan perih ketika jemarinya menekan senar pada fret gitar listriknya.

Saya pun pernah mencoba bermain gitar di pagi hari, pada jam setengah 7 pagi. Memang benar jari-jari terasa sangat sakit seperti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Jadi benar kiranya, bahwa suhu dingin di bulan Agustus bukanlah sebuah konspirasi, tapi nyata dialami oleh sebagian besar masyarakat.

Namun ada yang berbeda dari dinginnya bulan ini, yakni tidak adanya event kelas nasional seperti Dieng Culture Festival. Sebuah event yang digadang-gadang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di dieng dan sekitarnya, khususnya bisnis penginapan, kuliner hingga souvenir.

Dieng Culture Festival juga menjadi event budaya sekaligus event yang menjadikan anak muda mendadak bucin ketika menerbangkan lampion, tak heran jika setelah event ini berlanjut, maka feed di instagram akan marak video penerbangan lampion dengan backsound puisi roman. Tapi sejak pandemi, feed ini akan sulit untuk ditemui kecuali repost dari tahun lalu.

Animo masyarakat terhadap DCF terbukti dari tiketnya yang selalu ludes terjual, bahkan ada beberapa hostel yang over capacity hingga membuat tamu terpaksa tidur di sofa hostel.

Datang ke DCF secara munfarid alias sendirian tentu harus bersiap-siap dengan beragam tantangan, mulai dari kemacetan, hawa dingin yang membuat hipotermia, hingga perasaaan kesepian ketika melihat muda-mudi bergandengan saling menghangatkan.

Pada 2018 lalu, tercatat ada 9 pengunjung DCF yang mengalami Hipotermia. Pertolongan pertama pada hipotermia sendiri adalah pelukan skin to skin agar orang yang mengalami hipotermia bisa langsung merasa hangat. Hal ini semakin menegaskan makruh hukumnya datang ke DCF sendirian. Karena menahan hawa dingin di malam romantis seorang diri adalah siksaan yang cukup berat.

Tetapi rupanya yang harus ditahan tidak hanya hawa dingin dalam kesendirian. Pecandu DCF juga harus menahan kerinduannya dimana pada tahun ini DCF terpaksa ditiadakan. Untungnya panitia belum melakukan banyak persiapan sehingga tidak rugi bandar. Namun sektor perekonomian pun terdampak sangat signifikan, utamanya pengusaha penginapan, kuliner, hingga tukang parkir unoficial yang kerap menarik biaya parkir diatas normal.

Musim DCF di Dieng sudah seperti musim Haji di Arab, sehingga ketika aktivitas di tempat tersebut terhenti, maka perekonomian masyarakat juga akan mengalami penyusutan terutama yang memang mengandalkan sektor pariwisata.

Meski demikian, ketiadaan DCF ini tentu memberikan ruang jeda bagi masyarakat dan panitia DCF itu untuk merefleksikan event nasional tersebut. Karena setiap kali ada keramaian, maka pasti akan ada masalah yang menyertainya. Seperti kemacetan, keamanan hingga biaya parkir yang terkadang tidak masuk akal.

Di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa Dieng Culture Festival adalah event kebudayaan yang bertujuan untuk pelestarian budaya, seperti ruwat cukur rambut gimbal yang kerap menyedot perhatian banyak fotografer.

Demi apapun, event ini memang harus dilaksanakan, mungkin tahun depan atau entah kapan. Dengan harapan tak ada lagi masyarakat yang ingin nonton DCF namun justru terjebak macet dan tidak bisa menikmati rangkaian acara secara paripurna. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun