Pada 2018 lalu, tercatat ada 9 pengunjung DCF yang mengalami Hipotermia. Pertolongan pertama pada hipotermia sendiri adalah pelukan skin to skin agar orang yang mengalami hipotermia bisa langsung merasa hangat. Hal ini semakin menegaskan makruh hukumnya datang ke DCF sendirian. Karena menahan hawa dingin di malam romantis seorang diri adalah siksaan yang cukup berat.
Tetapi rupanya yang harus ditahan tidak hanya hawa dingin dalam kesendirian. Pecandu DCF juga harus menahan kerinduannya dimana pada tahun ini DCF terpaksa ditiadakan. Untungnya panitia belum melakukan banyak persiapan sehingga tidak rugi bandar. Namun sektor perekonomian pun terdampak sangat signifikan, utamanya pengusaha penginapan, kuliner, hingga tukang parkir unoficial yang kerap menarik biaya parkir diatas normal.
Musim DCF di Dieng sudah seperti musim Haji di Arab, sehingga ketika aktivitas di tempat tersebut terhenti, maka perekonomian masyarakat juga akan mengalami penyusutan terutama yang memang mengandalkan sektor pariwisata.
Meski demikian, ketiadaan DCF ini tentu memberikan ruang jeda bagi masyarakat dan panitia DCF itu untuk merefleksikan event nasional tersebut. Karena setiap kali ada keramaian, maka pasti akan ada masalah yang menyertainya. Seperti kemacetan, keamanan hingga biaya parkir yang terkadang tidak masuk akal.
Di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa Dieng Culture Festival adalah event kebudayaan yang bertujuan untuk pelestarian budaya, seperti ruwat cukur rambut gimbal yang kerap menyedot perhatian banyak fotografer.
Demi apapun, event ini memang harus dilaksanakan, mungkin tahun depan atau entah kapan. Dengan harapan tak ada lagi masyarakat yang ingin nonton DCF namun justru terjebak macet dan tidak bisa menikmati rangkaian acara secara paripurna.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H