Akhir-akhir ini, sebagian besar netizen di jagat twitter mengeluhkan tentang kedinginan yang memaksanya untuk berlindung di balik selimut. Hawa dingin ini pun seakan menjadi siksaan sendiri bagi para jomblo yang krisis akan pelukan.
Ya pelukan nyatanya akan membuat serangan hawa dingin tidak terlalu buruk, setidaknya pelukan mampu menyelamatkan manusia dari ancaman hipotermia seperti yang ada di salah satu adegan di film 5 cm.
Saya lahir di sebuah kota dengan hawa dingin yang hampir setiap hari saya rasakan. Kebiasaan dalam merasakan hawa dingin ini menjadikan saya tidak pernah tidur berselimut ketika saya merantau di Purwokerto yang memiliki suhu lebih panas.
Suhu dingin di Wonosobo tepatnya di daerah Dieng terkadang mencapai suhu minus sehingga embun bisa berubah menjadi es seperti bunga es di dalam frezzer.
Saking dinginnya pada tahun 2018 lalu Gugun Blues Shelter tidak bisa menyelesaikan permainan gitarnya ketika manggung di acara Dieng Culture Festival. Di tengah permainan melody-nya, sesekali blio menahan sakit karena tak kuasa menahan perih ketika jemarinya menekan senar pada fret gitar listriknya.
Saya pun pernah mencoba bermain gitar di pagi hari, pada jam setengah 7 pagi. Memang benar jari-jari terasa sangat sakit seperti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
Jadi benar kiranya, bahwa suhu dingin di bulan Agustus bukanlah sebuah konspirasi, tapi nyata dialami oleh sebagian besar masyarakat.
Namun ada yang berbeda dari dinginnya bulan ini, yakni tidak adanya event kelas nasional seperti Dieng Culture Festival. Sebuah event yang digadang-gadang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat di dieng dan sekitarnya, khususnya bisnis penginapan, kuliner hingga souvenir.
Dieng Culture Festival juga menjadi event budaya sekaligus event yang menjadikan anak muda mendadak bucin ketika menerbangkan lampion, tak heran jika setelah event ini berlanjut, maka feed di instagram akan marak video penerbangan lampion dengan backsound puisi roman. Tapi sejak pandemi, feed ini akan sulit untuk ditemui kecuali repost dari tahun lalu.
Animo masyarakat terhadap DCF terbukti dari tiketnya yang selalu ludes terjual, bahkan ada beberapa hostel yang over capacity hingga membuat tamu terpaksa tidur di sofa hostel.
Datang ke DCF secara munfarid alias sendirian tentu harus bersiap-siap dengan beragam tantangan, mulai dari kemacetan, hawa dingin yang membuat hipotermia, hingga perasaaan kesepian ketika melihat muda-mudi bergandengan saling menghangatkan.