Suatu pagi rekan sejawat saya menunjukkan komentar warganet di instagram terkait pelayanan swab test di suatu rumah sakit swasta. Singkat cerita rumah sakit tersebut tengah mempromosikan fasilitas rapid test dan pcr/swab test disertai dengan mahar yang harus dibayar.Â
Dari postingan tersebut rupanya tidak ada satupun komentar positif dari netizen, semua komentar tersebut bernada sinis dan sarkas yang membuat saya mengernyitkan dahi. Kurang lebih komentarnya seperti ini.
      "Edan jadi ladang bisnis baru ujung-ujungnya."
      "Padahal Penyakit yang bisa sembuh tanpa obat."
      "Dadi proyek." (emote ketawa dengan air mata)
      "Antara wabah, takdir dan bisnis."
      "Kemurahen lurr melas wong sugih duite ora kelong." artinya: "terlalu murah saudara, kasihan orang kaya duitnya nggak berkurang."
Dahi saya tambah mengernyit dengan adanya isu pembuatan Surat Keterangan Dokter (SKD) untuk para perantau yang dianggap sebagian masyarakat sebagai lahan bisnis bagi Rumah Sakit. Tentu saja perlu diketahui bahwa pembuatan SKD memang tidak mungkin diklaim oleh BPJS.
Pada kesempatan kali ini izinkan saya bercerita. Bahwasanya kondisi keuangan Rumah Sakit atau klinik di Indonesia tengah dalam kondisi tidak baik-baik saja. Namun Rumah Sakit harus tetap membuka pelayanannya 24 jam tanpa mengenal libur walau sehari.
Salah satu yang menjadi sorotan bagi kaum pekerja yang hendak kembali ke perantauan adalah Mahalnya tarif swab test yang menjadi syarat untuk bisa melakukan perjalanan jauh.
Setidaknya ada 2 faktor yang menyebabkan tarif PCR/swab test Jauh lebih mahal daripada UMK Buruh di Jogja.