Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Perawat Bukan Malaikat

7 Juni 2020   00:30 Diperbarui: 8 Juni 2020   00:53 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada dalam benak kita ketika masuk ke dalam fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit ataupun klinik? Bau karbol desinfektan, bau obat dari ruang farmasi atau mungkin pasien yang mengerang dengan tubuh berdarah karena baru saja terserempet kendaraan bermotor?

Abaikan kalimat diatas, saya pribadi adalah penulis yang masih susah merangkai awal kalimat dengan baik. Semoga saja tulisan ini terus membaik, jika tidak kunjung membaik, semata -- mata itu karena kekurangan saya.

Begini, saya hanya ingin bercerita bahwasanya Perawat merupakan profesi yang didambakan dan juga disesalkan oleh sebagian orang. Tak sedikit perawat yang tidak ingin anaknya kelak masuk kuliah di Jurusan Keperawatan. 

Hal tersebut tentu bukan tanpa alasan, seperti gaji yang kecil (Classic reason menurut saya), ribet ngurus STR pasca wisuda, harus lulus Uji Kompetensi dan persaingan lowongan kerja yang semakin sengit.

Oke tentu akan ada yang membantah bahwa gaji perawat tidaklah kecil, hal tersebut sangatlah situasional. Wajar bila seorang perawat yang menjadi tenaga honorer di puskesmas gajinya kecil, bahkan harus legowo ketika rekan kerja yang sudah ASN menerima gaji ke-13nya, sedangkan Perawat yang berstatus honorer masih mencoba tetap tersenyum dalam tangisnya.

Saat pandemi corona jempol tak sedikit jempol netizen yang menganggap bahwa gara-gara corona perawat mendapatkan insentif. Hey justru sebagian Perawat mengalami pengurangan gaji dan tidak mendapatkan THR. Hal tersebut terjadi lantaran kunjungan pasien yang menurun dan kebutuhan APD yang meningkat.

Tentu tidak bijak kiranya menuduh bahwa gaji perawat itu kecil, hal ini karena perawat yang gajinya besar cenderung diem -- diem bae (Ya iyalah karena dompetnya isi). 

Berbeda dengan yang gajinya kecil dengan status yang tidak tetap tersebut, meski awalnya merasa sabar dengan gaji ala kadarnya, sebagian dari mereka mungkin akan berjuang (dengan demo misalnya), agar mendapatkan upah layak syukur jadi ASN.

Anggapan perawat adalah malaikat akan ditepis dengan kenyataan yang ada. Nyatanya perawat juga manusia yang memiliki nafsu duniawi, minimal ingin merasakan upgrade gadget, atau membeli tas branded atau bahkan ingin memiliki sepatu yang kekinian dengan harga sedikit mahal. Keinginan itu mungkin ada, namun keadaanlah yang terkadang membuat keinginan itu tidak menjadi ada.

Lalu, jika ada yang berpikir bahwa lapangan kerja di dunia perawat tidak banyak, nah menanggapi hal ini tentu membutuhkan berbagai sudut pandang dan diskusi minimal 4 cangkir kopi. 

Jika lulusan perawat mencari kerja di kota kecil saja, maka wajar jika dirinya merasa bahwa menjadi Perawat di Rumah Sakit maupun Puskesmas sangatlah sulit, bayangkan saja dari 10 lowongan yang dibutuhkan, yang mendaftar sampai ratusan pelamar (termasuk yang memiliki rekom orang dalam :P).

Lalu kenapa masih ada yang ingin menjadi perawat, seperti saya yang alhamdulillah sudah menjadi perawat yang sangat profesional (dibuktikan dengan lulus ukom dan punya STR :p).

Saya pribadi awalnya tidak ingin menjalani profesi yang identik dengan instink keibuan ini. Bahkan dulu saya pernah menempuh pendidikan di SMK jurusan Teknik Komputer Jaringan, jurusan yang tidak ada hubungannya dengan dunia medis. (Eh ada sih, minimal bisa bantuin instal printer kalau ada komputer di RS atau Puskesmas :P)

Kiranya butuh waktu 2 tahun untuk meyakinkan diri saya pribadi untuk menjadi seorang perawat. Perjalanan pendidikan keperawatan yang saya tempuh juga dibilang memalukan. Saya menyelesaikan pendidikan D3 selama 4 tahun, dan menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Keperawatan selama 5 semester (normal 3 semester tanpa Profesi Ners).

Semua kelalaian itu disebabkan karena 1 hal, yaitu tugas akhir saya (red : KTI dan Skripsi) yang tidak saya kerjakan secara serius hingga akhirnya saya pernah merasa sendu ketika lihat di beranda facebook berisi teman yang mengenakan toga, sedangkan saya masih pakai celana kolor di kos sambil ngerjain Skripsi.

Akhirnya ritual konsul dan revisi selesai, setelah lulus S1 Keperawatan, saya memutuskan untuk mencoba melamar kerja di RS, tentunya dengan menggunakan ijazah D3. Kala itu saya juga memaksakan diri untuk mengurus STR ke MTKP Jateng. Pokoknya pelan perlahan segala amunisi dokumen saya lengkapi untuk melamar pekerjaan di 2 Rumah Sakit.

RS yang pertama saya kirimi ternyata tidak memanggil saya, bahkan tidak ada kabar terkait pengumuman. Barulah pada RS kedua saya mendapatkan pemberitahuan dan bisa menyelesaikan 3 tahapan seleksi : tes tertulis, wawancara dan psikotes dengan mulus. Lulus D3 pada tahun 2014 dan mulai mantap menjadi Perawat di awal tahun 2019. Saat itu teman -- teman saya sudah banyak yang mendapatkan posisi keren, ada yang jadi kepala ruang, bahkan ada pula adik kelas saya yang menjadi kabid keperawatan. Sedangkan saya masih berada di posisi terbawah.

3 bulan training saya jalani dengan menempati ruang rawat jalan selama 1 bulan dan rumg IGD selama 2 bulan. Di IGD inilah saya mulai merasa "jadi perawat itu keren". Hal ini karena IGD merupakan ladang Ilmu yang tak bisa disia -- siakan.

Di IGD seorang perawat akan berhadapan dengan pasien dengan bermacam -- macam kasus. Ada yang teriak -- teriak karena nyeri perut, ada yang sesak nafas, ada yang berdarah -- darah bahkan ada pula yang periksa di jam tahajud karena mengeluh tenggorokan sakit.

Warna -- warni itulah yang membuat profesi yang saya jalani saat ini makin berwarna, mungkin saya pun pernah mengeluhkan akan adanya biaya pengurusan SIPP (Surat Izin Praktek Perawat) yang cukup menguras gaji di awal ketika saya bekerja, hingga dampaknya saya pernah makan nasi tabur garam di akhir bulan.

Terlepas dari tagihan iuran, gaji yang belum 3x UMP (versi Ketum PPNI Harif Fadilah) dan sebagainya, saya mulai merasakan ada kepuasan bathin ketika berhasil menstabilkan kondisi pasien di IGD. Hal itu saya rasakan ketika saya berhasil melakukan tindakan infus pada pasien dehidrasi.

Tak hanya itu, menjadi perawat juga semacam kegiatan spiritual bagi saya, tentu jika hanya ngomongin soal gaji, yang ada hanya keluhan dan keluhan saja. Sampai pada suatu ketika ada rekan sejawat yang bilang "Jadi Perawat Mah Untuk Ibadah, kalau pengen duit ya bisnis," teman sejawat tersebut memang memiliki usaha sablon, dan saya paham bahwa dia menjadikan profesi perawat sebagai lahan ibadah dan bisnis sablon untuk mengais rupiah.

Oke, bisa dibilang Perawat adalah profesi yang tidak semua orang bisa melakukannya, tapi ketika kita menemukan "asyiknya" menjadi perawat, maka semuanya akan enjoy.

Yang jelas bagi yang berpikiran, ingin jadi perawat agar menjadi orang kaya, mending pikir -- pikir lagi deh, karena menjadi Perawat merupakan pilihan yang harus melibatkan spiritualitas cukup dalam. Bayangkan saja orang yang sakit bisa kita tolong sampai sembuh, meski hal ini bersifat kolaborasi dengan tenaga medis lain, namun kenyataannya Perawat adalah profesi yang paling sering bersentuhan langsung dengan pasien.

Sudah saatnya bekerja tidak menjadi beban, bekerja adalah salah satu cara menikmati hidup. Dengan menjadi perawat saya jadi tahu nikmatnya makan ketika masih sehat, selama menjadi perawat saya kerap menemukan pasien yang makan enak saja mual dan muntah sehingga harus opname di rumah sakit. 

Tapi sadarkah kita yang masih sehat, tubuh ciptaan Tuhan ini masih bisa menyerap makanan dengan baik sekalipun hanya makan nasi garam. Bagi saya ini membutuhkan pemikiran spiritualitas yang cukup dalam.

Dengan menjadi Perawat, maka sisi empati saya terinstal secara otomatis, disinilah saya merasa bahwa nikmat sehat merupakan sesuatu yang jarang kita syukuri, kita mungkin masih bisa bernafas tanpa selang oksigen di hidung, tidak seperti pasien yang mengeluh sesak, riwayat sakit jantung dan lain -- lain. 

Ya selama menjadi perawat, saya menemukan hakikat dalam menjalani hidup. Bahwa manusia terkadang lupa atas pemberian Tuhan, yaitu nikmat sehat.

Saya juga sering melihat keluarga pasien yang berusaha mencari darah untuk melanjutkan kehidupan sanak saudaranya. Sedangkan kita masih diberikan kesempatan sehat yang tak ternilai harganya.

Disinilah empati saya muncul kepada mereka para dialysis warior (sebutan untuk orang yang rutin cuci darah). Atas dasar ini saya-pun berusaha menjaga kesehatan agar dapat mendonorkan darah setiap 3 bulan.

Dalam beberapa kesempatan, saya juga merasa menjadi bagian rencana Tuhan untuk menyembuhkan orang sakit. Ketika pasien datang dengan keluhan sesak nafas, saya pasangkan selang oksigen ke hidung pasien tersebut. 

Jika masalah sesak nafas tersebut teratasi, sayapun mulai berpikir bukankah hal ini merupakan rencana Tuhan untuk memberikan pertolongan bagi hambaNya yang sakit.

Ya bagi saya menjadi perawat adalah tugas spiritual alias bathiniah, wujud kita menolong sesama manusia ciptaan Tuhan tanpa memandang Agama, Ras dan status sosial.

Namun sekali lagi, perawat Bukan malaikat, karena dalam kehidupan yang lain perawat juga memiliki keinginan seperti upgrade kendaraan, menyekolahkan anak ke sekolah favorit, membeli tupperware limited edition atau yang paling simpel adalah tidak merasa berat jika iuran organisasi telah tiba saatnya untuk dibayar.

Akhir kata, Are You The Next to become a Profesional Nurse?

artikel ini pernah tayang di blog pribadi saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun