Beberapa teman sejawat saya juga mencoba mengkampanyekan diri untuk disebut dengan panggilan Ners, sebuah kata yang diserap dari bahasa inggris Nurse lalu di-Indonesiakan sebagai Ners. Sebutan ini juga ditujukan kepada Sarjana Keperawatan yang telah menamatkan pendidikan profesi Ners.
Namun lagi-lagi, kampanye ini tidak ngena di benak masyarakat Indonesia yang masih mengonsumsi sinetron dan liga dangdut. Tetap saja masih banyak masyarakat yang menyebut perawat perempuan sebagai suster dan perawat laki-laki dengan sebutan yang cenderung asal bunyi, mulai dari dok, mas suster, atau hanya mas-mas.
Pernah suatu kali setelah saya menyelesaikan tindakan jahit luka, ada salah satu keluarga pasien yang menanyai saya, kurang lebih seperti ini obrolannya.
      "Dokter jaga setiap hari apa?"
      "Maaf, Bu.. Saya perawat bukan dokter, saya jaga sesuai jadwal, Bu, kadang shift pagi kadang shift malam," jawab saya sembari menutup luka pasien.
      "Oh maap, kalau boleh tahu namanya dokter siapa?"
      "Maaf, Bu, panggil saya perawat, nggih, saya Perawat Dhimas," saya masih sedikit bersabar sambil membuang kassa yang penuh dengan darah.
Setelah tindakan selesai, saya pun memberikan resep yang sudah diberikan oleh dokter yang sebelumnya memeriksa pasien dan melimpahkan tindakan bedah minor tersebut kepada saya.
      "Ini, Bu, resepnya, silakan antre di apotek."
Lalu ibu-ibu dengan tampilan layaknya mama-mama hits PKK tersebut menjawab, "terima kasih, Dok".
Oke fix, sosialisasi personal terkait profesi perawat yang saya lakukan gagal. Saya memprediksi sampai kapanpun masyarakat Indonesia tipe seperti ini akan tetap ada, apalagi jika para sutradara sinetron striping jarang mengekspos perawat laki-laki.